MOJOK.CO – Secara terminologi, penyematan status ulama ke Sandiaga Uno tidak salah sama sekali. Akan tetapi kenapa masih banyak yang protes ya?
Geger penyebutan “ulama” untuk calon wakil presiden (cawapres) Sandiaga Salahuddin Uno muncul. Gara-garanya Wakil Ketua Majelis Syuro PKS, Hidayat Nut Wahid, melihat mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta ini sebagai sosok ulama meski tidak menyandang gelar “Kiai Haji” seperti pada umumnya.
“Karena memang beliau tidak belajar di komunitas tradisional keulamaan,” kata Hidayat.
Penyebutan untuk Sandiaga ini bukan yang pertama. Kalau netizen yang dirahmati Allah ingat, Sohibul Iman, yang Presiden PKS, juga menyebut Sandiaga sebagai seorang santri.
“Saya bisa katakan saudara Sandiaga Uno sebagai sosok santri di era post-islamisme,” kata Sohibul.
Melekatnya status “ulama” dan “santri” untuk Sandiaga ini segera diprotes oleh netizen. Hedeh, dasar netizen kagak pernah belajar apa-apa. Masa sosok sekaliber Hidayat Nur Wahid sama Sohibul Iman kalian protes sih? Padahal kan memang Sandiaga itu betulan ulama.
Sebelum membahas mengenai pelekatan status “ulama” kepada Sandiaga, kalau netizen juga pernah ingat, dulu Tommy Soeharto juga pernah mendapatkan gelar “gus” juga lho. Mau yang lebih sangar lagi? Oh, ada. Setya Novanto, iya sosok sakti yang bisa sulapan melebihi kemampuan Pak Tarno dan sukses bikin penjara jadi sekelas hotel berbintang, pernah juga disematkan status “kiai”.
Semat-menyematkan gelar status keagamaan ini memang lumrah di Indonesia. Apalagi kalau yang disematkan itu seorang pejabat dan kebetulan sebentar lagi mau naik panggung ke pemilihan umum. Kalau dulu, dalam kasus Gus Tommy dan Kiai Setnov, keduanya emang lagi mau ancang-ancang untuk Pileg 2019 besok. Gus Tommy akhirnya lewat jalur Partai Berkarya, sedangkan Kiai Setnov lewat jalur KPK.
Kembali ke soal Sandiaga. Secara terminologi sederhana, penyematan “ulama” ke Sandiaga nggak salah-salah amat sih. Ya sebabnya, seperti yang netizen juga sudah tahu, kata tunggal dari “ulama” adalah kata “alim” yang di Indonesia punya beda makna dengan asal-usul kata ‘alim dari Bahasa Arab. Nah, biar gampang, kita bisa menyandarkan argumentasi ini dari kata alim (Bahasa Indonesia) dengan ‘alim (Bahasa Arab) lebih dulu supaya lebih terang.
Alim di Indonesia memang kadung dimaknai sama seperti saleh, alias sosok yang dipercaya punya kedekatan spiritual dengan Tuhan. Sedangkan ‘alim yang kalau diambil dari kata dasar ‘alima punya arti mengetahui.
Kalau mau memahami dari linguistiknya Bahasa Arab, kata ini nanti jadi punya beberapa turunan (baca: tasrif) yang beberapa punya makna sama antara Bahasa Arab dengan Bahasa Indonesia. Contohnya seperti dari ‘alima jadi alim, ilmu, allamah, ta’lim.
Karena saya tidak sedang buka kelas ilmu shorof (ilmu untuk mengetahi perubahan pola frasa dalam Bahasa Arab) dan saya juga bukan “ulama” di bidang shorof, maka cuma jelaskan sepintas saja biar dasar penyebutan ulama untuk Sandiaga ini bisa dilihat ya nggak salah-salah amat.
Jadi ketika ‘alim dimaknai sebagai sosok yang tahu atau mengetahui, maka menyebut Sandiaga sebagai ‘ulama jelas bukan sebuah kesalahan. Karena memang Sandiaga adalah ahli atau ilmuwan dalam bidang yang dia kuasai. Misalnya dalam bidang ekonomi, Sandiaga adalah ‘ulama ekonomi, alias ilmuwan ekonomi. Sandiaga itu ‘alim alias mengetahui mengenai persoalan tersebut.
Nah, kalau secara terminologi, beres sudah, Hidayat Nur Wahid memang nggak salah sama sekali.
Masalahnya, geger soal sematan ini tetap terjadi. Padahal netizen Indonesia yang sudah jago banget dalam berbahasa Arab belakangan ini, tahu betul bahwa ‘ulama yang disebutkan untuk Sandiaga ini tidak salah.
Lalu apa masalahnya?
Ya karena dari antropologis, ‘ulama di Arab dengan ulama di Indonesia itu beda. Sesederhana itu.
Perubahan dan perbedaan makna secara antropologis ini tidak dipandang penting oleh Hidayat Nur Wahid, sehingga bikin netizen jadi terbelah. Antara yang sepakat dengan sematan ini, dengan yang kontra dengan sematan ini.
Meski sekilas alim dan ulama punya makna yang sama secara terminologi antara Bahasa Indonesia dengan Bahasa Arab, akan tetapi pernyataan ini jadi penuh perdebatan kalau arah bacaannya pakai kacamata antropologis. Apalagi kalau mau ditarik sedikit ke sejarah bagaimana tradisi pesantren di Nusantara berkembang.
Berbeda dengan ‘ulama yang di kebudayaan Arab untuk menyebut seorang yang berilmu di berbagai bidang, di Indonesia penyebutan ulama disematkan hanya untuk orang yang berilmu pada satu spektrum saja, yakni agama. Lah, kenapa hal itu bisa terjadi?
Ya tak lain dan tak bukan karena pada zaman dulu, seorang ulama dan keturunannya lebih punya akses pengetahuan yang tidak bisa didapatkan oleh rakyat jelata. Pada era itu, pendidikan hanya dimiliki oleh para tuan tanah-tuan tanah atau sosok yang berpengaruh. Yah, katakanlah orang berpengaruh bisa dibagi jadi dua, karena politik (keturunan raja dan sebagainya) karena agama (keturunan kiai dan sebagainya).
Nah, karena pada zaman segitu belum ada pembagian antara ilmu agama dengan ilmu umum—tidak seperti sekarang yang ada macam universitas islam dan universitas negeri, maka semua pengetahuan dianggap sebagai satu kesatuan yang tidak dipisahkan satu sama lain. Seorang ‘alim dianggap tahu semua hal, tidak hanya soal akhirat tapi juga dunia.
Seorang ulama, akan didatangi oleh masyarakat dan ditanyai berbagai macam persoalan. Tidak hanya persoalan fikih atau permasalahan agama, tapi juga soal masa tanam, masa panen, urusan ternak, tanya tanggal menikah, bahkan sampai perihal nama anak.
Hal ini sebenarnya sejalan dengan pemikiran Quraish Shihab dalam bukunya Ulama Pewaris Nabi mengenai keberadaan diksi ‘ulama dalam Al-Quran yang disebut secara eksplisit dua kali. Yang pertama menyebut bahwa ulama disebut karena pemahamannya akan ayat-ayat Allah atau punya ilmu bersifat qur’aniyah, di sisi lain juga punya kemampuan keilmuan bersifat kauniyah alias mampu membaca fenomena alam.
Oke, sampai titik ini, peran ‘ulama di Arab dengan ulama di Nusantara kelihatan masih sama. Sama-sama pakar di banyak bidang. Lalu apa yang bikin keduanya beda dan berubah? Ya karena ada kolonialisme.
Orang-orang Eropa yang datang ke Nusantara sedikit banyak ikut “mengajari” nalar-nalar rasional ala barat ke masyarakat. Berangsur-angsur masyarakat Nusantara jadi mengerti ada perbedaan pengetahuan yang tidak semua bisa dijawab oleh para “ulama” mereka. Atau kalau pun bisa dijawab oleh para ulama, pengetahuan barat lebih terasa dekat dengan penguasa (Pemerintah Kolonial).
Pengetahuan modern ini ujug-ujug mengubah cara berpikir masyarakat. Ulama tidak lagi dikultuskan tahu semua hal lagi. Beberapa ada yang masih bertahan yang kita kenal sebagai “santri”, beberapa ada yang tertarik memahami standar modern yang dibawa para imigran-imigran Eropa itu.
Lalu lambat laun para ulama tidak lagi dipandang punya segala hal yang bisa menjawab problematika hidup. Kemampuan ulama akhirnya menyempit jadi pada persoalan agama saja, khususnya Islam, ya karena kolonialisme nggak bisa ngajar soal Islam. Pemaknaan ulama pun akhirnya dikenali hanya pada “ahli dalam agama Islam” saja seperti yang sekarang kita pahami pada umumnya.
Lalu jika ada yang tanya, memang salahnya Hidayat Nur Wahid nyebut Sandiaga sebagai ulama itu apa? Ya karena beliau tidak pakai kata ‘ulama tapi malah pakai kata ulama.
Seolah-olah antropologi Islam di Nusantara ini sama seperti yang ada di Arab sana.