Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Pojokan

Sandiaga Uno Memang Ulama Kok, Memang Masalahnya Apa?

Ahmad Khadafi oleh Ahmad Khadafi
18 September 2018
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Secara terminologi, penyematan status ulama ke Sandiaga Uno tidak salah sama sekali. Akan tetapi kenapa masih banyak yang protes ya?

Geger penyebutan “ulama” untuk calon wakil presiden (cawapres) Sandiaga Salahuddin Uno muncul. Gara-garanya Wakil Ketua Majelis Syuro PKS, Hidayat Nut Wahid, melihat mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta ini sebagai sosok ulama meski tidak menyandang gelar “Kiai Haji” seperti pada umumnya.

“Karena memang beliau tidak belajar di komunitas tradisional keulamaan,” kata Hidayat.

Penyebutan untuk Sandiaga ini bukan yang pertama. Kalau netizen yang dirahmati Allah ingat, Sohibul Iman, yang Presiden PKS, juga menyebut Sandiaga sebagai seorang santri.

“Saya bisa katakan saudara Sandiaga Uno sebagai sosok santri di era post-islamisme,” kata Sohibul.

Melekatnya status “ulama” dan “santri” untuk Sandiaga ini segera diprotes oleh netizen. Hedeh, dasar netizen kagak pernah belajar apa-apa. Masa sosok sekaliber Hidayat Nur Wahid sama Sohibul Iman kalian protes sih? Padahal kan memang Sandiaga itu betulan ulama.

Sebelum membahas mengenai pelekatan status “ulama” kepada Sandiaga, kalau netizen juga pernah ingat, dulu Tommy Soeharto juga pernah mendapatkan gelar “gus” juga lho. Mau yang lebih sangar lagi? Oh, ada. Setya Novanto, iya sosok sakti yang bisa sulapan melebihi kemampuan Pak Tarno dan sukses bikin penjara jadi sekelas hotel berbintang, pernah juga disematkan status “kiai”.

Semat-menyematkan gelar status keagamaan ini memang lumrah di Indonesia. Apalagi kalau yang disematkan itu seorang pejabat dan kebetulan sebentar lagi mau naik panggung ke pemilihan umum. Kalau dulu, dalam kasus Gus Tommy dan Kiai Setnov, keduanya emang lagi mau ancang-ancang untuk Pileg 2019 besok. Gus Tommy akhirnya lewat jalur Partai Berkarya, sedangkan Kiai Setnov lewat jalur KPK.

Kembali ke soal Sandiaga. Secara terminologi sederhana, penyematan “ulama” ke Sandiaga nggak salah-salah amat sih. Ya sebabnya, seperti yang netizen juga sudah tahu, kata tunggal dari “ulama” adalah kata “alim” yang di Indonesia punya beda makna dengan asal-usul kata ‘alim dari Bahasa Arab. Nah, biar gampang, kita bisa menyandarkan argumentasi ini dari kata alim (Bahasa Indonesia) dengan ‘alim (Bahasa Arab) lebih dulu supaya lebih terang.

Alim di Indonesia memang kadung dimaknai sama seperti saleh, alias sosok yang dipercaya punya kedekatan spiritual dengan Tuhan. Sedangkan ‘alim yang kalau diambil dari kata dasar ‘alima punya arti mengetahui.

Kalau mau memahami dari linguistiknya Bahasa Arab, kata ini nanti jadi punya beberapa turunan (baca: tasrif) yang beberapa punya makna sama antara Bahasa Arab dengan Bahasa Indonesia. Contohnya seperti dari ‘alima jadi alim, ilmu, allamah, ta’lim.

Karena saya tidak sedang buka kelas ilmu shorof (ilmu untuk mengetahi perubahan pola frasa dalam Bahasa Arab) dan saya juga bukan “ulama” di bidang shorof, maka cuma jelaskan sepintas saja biar dasar penyebutan ulama untuk Sandiaga ini bisa dilihat ya nggak salah-salah amat.

Jadi ketika ‘alim dimaknai sebagai sosok yang tahu atau mengetahui, maka menyebut Sandiaga sebagai ‘ulama jelas bukan sebuah kesalahan. Karena memang Sandiaga adalah ahli atau ilmuwan dalam bidang yang dia kuasai. Misalnya dalam bidang ekonomi, Sandiaga adalah ‘ulama ekonomi, alias ilmuwan ekonomi. Sandiaga itu ‘alim alias mengetahui mengenai persoalan tersebut.

Nah, kalau secara terminologi, beres sudah, Hidayat Nur Wahid memang nggak salah sama sekali.

Iklan

Masalahnya, geger soal sematan ini tetap terjadi. Padahal netizen Indonesia yang sudah jago banget dalam berbahasa Arab belakangan ini, tahu betul bahwa ‘ulama yang disebutkan untuk Sandiaga ini tidak salah.

Lalu apa masalahnya?

Ya karena dari antropologis, ‘ulama di Arab dengan ulama di Indonesia itu beda. Sesederhana itu.

Perubahan dan perbedaan makna secara antropologis ini tidak dipandang penting oleh Hidayat Nur Wahid, sehingga bikin netizen jadi terbelah. Antara yang sepakat dengan sematan ini, dengan yang kontra dengan sematan ini.

Meski sekilas alim dan ulama punya makna yang sama secara terminologi antara Bahasa Indonesia dengan Bahasa Arab, akan tetapi pernyataan ini jadi penuh perdebatan kalau arah bacaannya pakai kacamata antropologis. Apalagi kalau mau ditarik sedikit ke sejarah bagaimana tradisi pesantren di Nusantara berkembang.

Berbeda dengan ‘ulama yang di kebudayaan Arab untuk menyebut seorang yang berilmu di berbagai bidang, di Indonesia penyebutan ulama disematkan hanya untuk orang yang berilmu pada satu spektrum saja, yakni agama. Lah, kenapa hal itu bisa terjadi?

Ya tak lain dan tak bukan karena pada zaman dulu, seorang ulama dan keturunannya lebih punya akses pengetahuan yang tidak bisa didapatkan oleh rakyat jelata. Pada era itu, pendidikan hanya dimiliki oleh para tuan tanah-tuan tanah atau sosok yang berpengaruh. Yah, katakanlah orang berpengaruh bisa dibagi jadi dua, karena politik (keturunan raja dan sebagainya) karena agama (keturunan kiai dan sebagainya).

Nah, karena pada zaman segitu belum ada pembagian antara ilmu agama dengan ilmu umum—tidak seperti sekarang yang ada macam universitas islam dan universitas negeri, maka semua pengetahuan dianggap sebagai satu kesatuan yang tidak dipisahkan satu sama lain. Seorang ‘alim dianggap tahu semua hal, tidak hanya soal akhirat tapi juga dunia.

Seorang ulama, akan didatangi oleh masyarakat dan ditanyai berbagai macam persoalan. Tidak hanya persoalan fikih atau permasalahan agama, tapi juga soal masa tanam, masa panen, urusan ternak, tanya tanggal menikah, bahkan sampai perihal nama anak.

Hal ini sebenarnya sejalan dengan pemikiran Quraish Shihab dalam bukunya Ulama Pewaris Nabi mengenai keberadaan diksi ‘ulama dalam Al-Quran yang disebut secara eksplisit dua kali. Yang pertama menyebut bahwa ulama disebut karena pemahamannya akan ayat-ayat Allah atau punya ilmu bersifat qur’aniyah, di sisi lain juga punya kemampuan keilmuan bersifat kauniyah alias mampu membaca fenomena alam.

Oke, sampai titik ini, peran ‘ulama di Arab dengan ulama di Nusantara kelihatan masih sama. Sama-sama pakar di banyak bidang. Lalu apa yang bikin keduanya beda dan berubah? Ya karena ada kolonialisme.

Orang-orang Eropa yang datang ke Nusantara sedikit banyak ikut “mengajari” nalar-nalar rasional ala barat ke masyarakat. Berangsur-angsur masyarakat Nusantara jadi mengerti ada perbedaan pengetahuan yang tidak semua bisa dijawab oleh para “ulama” mereka. Atau kalau pun bisa dijawab oleh para ulama, pengetahuan barat lebih terasa dekat dengan penguasa (Pemerintah Kolonial).

Pengetahuan modern ini ujug-ujug mengubah cara berpikir masyarakat. Ulama tidak lagi dikultuskan tahu semua hal lagi. Beberapa ada yang masih bertahan yang kita kenal sebagai “santri”, beberapa ada yang tertarik memahami standar modern yang dibawa para imigran-imigran Eropa itu.

Lalu lambat laun para ulama tidak lagi dipandang punya segala hal yang bisa menjawab problematika hidup. Kemampuan ulama akhirnya menyempit jadi pada persoalan agama saja, khususnya Islam, ya karena kolonialisme nggak bisa ngajar soal Islam. Pemaknaan ulama pun akhirnya dikenali hanya pada “ahli dalam agama Islam” saja seperti yang sekarang kita pahami pada umumnya.

Lalu jika ada yang tanya, memang salahnya Hidayat Nur Wahid nyebut Sandiaga sebagai ulama itu apa? Ya karena beliau tidak pakai kata ‘ulama tapi malah pakai kata ulama.

Seolah-olah antropologi Islam di Nusantara ini sama seperti yang ada di Arab sana.

Terakhir diperbarui pada 18 September 2018 oleh

Tags: alimatropologisbahasa arabbahasa indonesiahidayat nur wahidkiaiKolonialismePKSSandiaga Unosantrishoroftasrifterminologisulama
Ahmad Khadafi

Ahmad Khadafi

Redaktur Mojok. Santri. Penulis buku "Dari Bilik Pesantren" dan "Islam Kita Nggak ke Mana-mana kok Disuruh Kembali".

Artikel Terkait

Tayangan Trans7 tentang pesantren memang salah kaprah. Tapi santri juga tetap perlu berbenah MOJOK.CO
Aktual

Trans7 Memang Salah Kaprah, Tapi Polemik Ini Bisa Jadi Momentum Santri untuk “Berbenah”

17 Oktober 2025
Ilustrasi Pesantren Lirboyo diserang framing TransTV yang kelewatan - MOJOK.CO
Esai

Framing Busuk Trans7 ke Pesantren Lirboyo dengan Citra Perbudakan adalah Kebodohan yang Tidak Bisa Dimaafkan Begitu Saja

14 Oktober 2025
Etika santri di pondok pesantren bukan pengkultusan pada kiai MOJOK.CO
Ragam

Dari Sungkem hingga Minum Bekas Kiai, Dasar Etika Para Santri di Pondok Pesantren yang Dituding Perbudakan

14 Oktober 2025
Sisi Gelap Sebuah Pesantren di Tasikmalaya: Kelam & Bikin Malu MOJOK.CO
Esai

Sisi Gelap Sebuah Pesantren di Tasikmalaya: Mulai dari Pelecehan Seksual Sesama Jenis, Senioritas, Kekerasan, Hingga Senior Memaksa Junior Jadi Kriminal

9 September 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Gowes Ke-Bike-An Maybank Indonesia Mojok.co

Maybank Indonesia Perkuat Komitmen Keberlanjutan Lewat Program Gowes Ke-BIKE-an

29 November 2025
Kuliah Jurusan Pendidikan Bahasa Mandarin di Unesa. MOJOK.CO

Sulitnya Masuk Jurusan Bahasa Mandarin Unesa, Terbayar usai Lulus dan Kerja di Perusahaan Tiongkok

3 Desember 2025
Lulus S2 dari UI, resign jadi dosen di Jakarta. MOJOK.CO

Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar

5 Desember 2025
Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

30 November 2025
Dari Jogja ke Solo naik KRL pakai layanan Gotransit dari Gojek yang terintegrasi dengan GoCar. MOJOK.CO

Sulitnya Tugas Seorang Influencer di Jogja Jika Harus “Ngonten” ke Solo, Terselamatkan karena Layanan Ojol

1 Desember 2025
Menanti kabar dari keluarga, korban bencana banjir dan longsor di Sumatera. MOJOK.CO

‘Kami Sedih dan Waswas, Mereka seperti Tinggal di Kota Mati’ – Kata Keluarga Korban Bencana di Sumatera

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.