MOJOK.CO – Hanya di Indonesia, seorang Calon Presiden dalam masa kampanyenya diteriakin “jancuk” berkali-kali oleh pendukungnya sendiri. Itulah yang dialami Jokowi di Surabaya.
Jokowi mungkin tidak menduga kalau sepulang dari kampanyenya di Tugu Pahlawan, Surabaya, bakal membawa pulang “gelar” baru, yakni: Presiden Jancuk. Wah, maaf ya Presiden Jancukers Sudjiwo Tedjo, sampeyan mendadak dikudeta sepihak nih.
Awalnya Jokowi mendapatkan panggilan “Cak”. Sebuah panggilan akrab untuk orang yang lebih tua atau lebih dihormati bagi masyarakat Jawa Timur. Sambil diberi sebuah jaket denim warna biru terang, di bagian punggung tertulis “Cak Jokowi”.
Oke, masih aman.
Karena panggilan Cak Jokowi dirasa kurang mantep, akhirnya pembawa acara memberi lagi ungkapan familiar bagi masyarakat Jawa Timur, yakni “jancuk”.
“Kalau sudah Cak-nya, maka ndak komplet kalau tidak ada Jancuk-nya. Maka Jokowi adalah Jancuk. Apa itu Jancuk? Jantan, cakap ulet, dan komitmen, Saudara-saudara,” kata pembaca acara.
Kalau kamu pikir itu sudah cukup gila, maka kamu perlu mendengar teriakan pendukung Jokowi yang terpancing oleh provokasi si pembaca acara, lalu mereka beramai-ramai berteriak, “Jokowi Jancuk, Jokowi Jancuk.”
Ebuset muke gile. Ngatain presiden jancuk secara langsung, Coeeegh.
Meski dikenal sebagai makian atau umpatan, kata ini memang sering kali muncul dalam percakapan sehari-hari—terutama bagi orang-orang asli Jawa Timur dan sekitarnya. Oleh karena itu, sudah sejak lama kata ini tidak melulu berkonotasi negatif.
Pada praktik kesehariannya, penggunaan kata jancuk juga bisa diartikan kedekatan antara si penutur dengan lawan bicaranya. Bahkan kata ini pun bisa memiliki makna yang netral-netral aja seperti ungkapan, “Piye, Cuk, kabarmu?”
Atau bahkan positif, seperti, “Jancuk, aku enthuk hadiah, cuuk.” Atau bisa dimaknai, “Syukurlah, aku dapat hadiah.”
Atau menjadi negatif seperti asalnya, “Jancuk matamu picek!” dalam kondisi marah karena habis diselingkuhin misalnya.
Bahkan jika dulu kata “jancuk” hanya pantas diucapkan oleh arek asli Jawa Timur, sekarang semua orang dari penjuru Nusantara sudah bisa mengucapkan kata itu dengan pelafalan yang mendekati kefasihan orang Jawa Timur.
Dalam beberapa variannya, ada berbagai bentuk yang berbeda dalam penulisan. Ada yang jancuk, jancok, atau yang alay seperti jancoegh. Atau mengambil satu suku kata belakangnya aja; cuk, cok, coegh.
Mungkin kalau sudah ada buku panduan mengucap kata “jancuk” secara tartil dengan tajwid yang benar, semua orang di seluruh dunia bakal bisa mengucapkan kata ini dengan sempurna.
Lepas dari hal itu, meski sebuah kata memiliki makna yang berubah-ubah tergantung intonasi suara, kondisi emosional si penutur, maupun perubahan kultur masyarakat penuturnya, sebuah kata tetap menyimpan arti secara harfiah. Mau bagaimana pun kata “jancuk” ya erat sekali dengan makian karena berasal dari kata encuk yang artinya berhubungan seksual.
Meski begitu, bagi masyarakat Gresik, Surabaya, atau Malang—misalnya, kata ini justru menunjukkan identitas asli mereka. Dari yang awalnya dianggap sebagai sebuah kata yang tabu, tiba-tiba terjadi—semacam—ameliorasi atau perubahan (makna) kata ke arah positif.
Ini gejala yang seolah ingin menunjukkan bahwa mereka ini kelompok anak muda yang berbeda, seolah berdiri sendiri dari model bahasa ala-ala “gue-elu” yang sangat Jakarta-sentris.
Perubahan ungkapan jancuk ini sama seperti yang terjadi di daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta lewat kata “bajingan”. Bedanya, jika jancuk terjadi semacam ameliorasi, maka pada kata bajingan yang terjadi seperti peyorasi, atau perubahan kata jadi lebih buruk dari sebelumnya.
Dulunya ungkapan bajingan dipakai untuk menyebut profesi kusir gerobak yang ditarik sapi. Lalu terjadi pergeseran makna sampai akhirnya kata ini malah jadi makian paling dahsyat bagi masyarakat Jateng dan Jogja. Bersanding setara dan selevel dengan kata “asyu”.
Uniknya, dibandingkan jancuk, nasib bajingan jauh lebih merana.
Sebab sampai saat ini, orang akan dianggap memaki atau misuh sekalipun sedang menyebut “bajingan” sebagai profesi kusir gerobak. Kalau pun sekarang bajingan disematkan ke profesi, maknanya nggak bakal jauh-jauh dari garong, copet, atau perampok. Sangat jauh dari arti makna awalnya.
Ini agak berbeda dengan jancuk. Sekalipun awalnya sempat dipakai sebagai makian yang umum, karena sudah terlalu sering digunakan oleh masyarakat—terutama di Jawa Timur, magis makian pada kata ini seolah lenyap. Kata ini jadi terkesan biasa aja. Nggak terlalu bikin efek bikin sakit hati kayak jaman dulu.
Akan tetapi, tentu saja kata ini mengandung makna bersayap jika diucapkan pada konteks yang kurang pas. Ya semacam ungkapan Cak Jancuk untuk Jokowi tadi.
Memanggil sesama teman atau sahabat akrab memang sah-sah saja menyebut atau terselip kata jancuk, tapi ini kan ungkapan untuk presiden.
Sekali pun mungkin pada dasarnya itu adalah ungkapan akrab sih—semua orang juga tahu, tapi kan batasnya tipis-tipis gimana gitu. Agak-agak rawan kena pasal penghinaan presiden dan lambang negara gitu deh.
Meski begitu, kata-kata “Jokowi Jancuk, Jokowi Jancuk,” itu sebenarnya harus disyukuri bersama-sama bagi seluruh rakyat Indonesia.
Lha kok bisa?
Ya iya dong, ungkapan ini kan bisa punya dua makna untuk mengakomodasi hasil polarisasi politik belakangan ini. Bagi orang yang nggak suka Jokowi, ya kata itu mungkin bisa dianggap mewakili ungkapan hati mereka. Sedangkan bagi pendukung, ya itu jelas merupakan ungkapan kedekatan emosional.
Lepas dari itu, yang sebenarnya jauh lebih bikin penasaran adalah bagaimana perasaan Jokowi dielu-elukan dengan cara begitu? Sebagai orang asli Solo yang dikenal alus pisan, bisa jadi blio ya agak kaget. Pake banget.
Tapi kalau sampai Jokowi sakit hati karena disebut Cak Jancuk sih, para pendukungnya nggak usah khawatir. Sebab kalau sampai dipermasalahkan secara hukum kan tinggal bilang, “Katanya sahabat rakyat, ya sama sahabat ya biasa dong kalau cak-cuk-cak-cuk. Kecuali kalau situ emang udah nggak mau sahabatan lagi.”
“Yakin nggak mau sahabatan lagi, Cuk? Yakin?”