MOJOK.CO – Habib Bahar bin Smith merasa kasus penganiayaan dan ujaran kebencian yang menjeratnya merupakan bentuk ketidakadilan Presiden Jokowi.
Sidang Habib Bahar bin Smith atas kasus penganiayaan dua remaja yang disentuh pakai dengkul sampai babak belur dan kasus hate speech berlangsung damai. Tak ada kata-kata kasar yang keluar dari usai persidangan dilangsungkan dengan suasana nggak cukup seram di Jalan Seram, Bandung, Kamis (14/03) lalu.
Paling juga teguran ringan ke Presiden Jokowi soal dakwaan yang membuatnya disidang. Sembari berjalan keluar dari ruang persidangan, Habib Bahar mengultimatum Presiden.
“Sampaikan ke Jokowi, tunggu saya keluar,” ucap Habib Bahar dengan lemah lembut, meski tetep terdengar sangar.
“Ketidakadilan hukum, ketidakadilan hukum dari Jokowi, tunggu saya keluar dan akan dia rasakan,” tambahnya.
“Tunggu saya keluar dan rasakan pedasnya lidah saya,” tambah beliau lagi. Hm, begitu menyejukkan.
Kata-kata ini keluar begitu saja dan langsung membuat suasana jadi sangat teduh dan adem. Kalau ada yang merasa pernyataan itu kelewat keras, ya mungkin mereka para cebong-cebong aja sih.
Beliau kan terkenal sebagai ulama yang memperjuangkan kebenaran dan nggak mungkin bisa salah. Masa iya cuma bikin dua remaja babak belur dan bikin ujaran kebencian aja diancam penjara sih.
Namun, karena selama ini Habib Bahar dikenal melalui framing media massa antek Wahyudi dan Mamarika jadi terkesan sangat keras dan temperemental, kuasa hukumnya tetap merasa perlu mengklarifikasi.
“Beliau mungkin ada kekesalan sendiri dengan Pak Jokowi, begitu,” kata Ichwan Tuankotta, pengacara Habib Bahar.
Tentu saja pernyataan ini segera mendapatkan reaksi dari pihak Istana. Bahkan Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko merasa bahwa pernyataan Habib Bahar yang lemah lembut itu tidak pada tempatnya. Menurut Moeldoko, Presiden sama sekali tidak mengintervensi kasus hukum yang menimpa Habib Bahar.
Ya, bisa jadi karena nggak sempet. Lha gimana? Ini kan masa kampanye, ngapain masa kampanye begini Jokowi disibukkan dengan mengurusi satu sidang kasus penganiayaan sekaligus hate speech seorang warga negara yeee kan?
Selain kasus penganiayaan dua remaja yang cuma disentuh pakai dengkul tapi jadi babak belur itu, Habib Bahar juga dihadapkan pada kasus pencemaran nama baik karena sempat menyebut Presiden sebagai “banci” pada ceramahnya di Palembang 2017 silam.
Penyebutan ini bukan tanpa sebab sebenarnya. Habib Bahar ketika ceramah saat itu mengaku kesal betul karena Presiden Jokowi tidak mau menemui massa saat demo 411. Meski pada aksi massa 212 Presiden Jokowi datang, tampaknya beliau tetap nggak peduli.
Ya kesal aja. Masa kesal tanpa sebab yang jelas nggak boleh sih? Beliau ulama lho! Jangan melawan ya ente!
Dalam persidangan, menurut versi kuasa hukum tersangka, Aziz Yahuar, penggunaan kata “banci” itu cuma perumpamaan saja. “Tadi beliau bawa buku bebeberapa hal mengenai masalah majas yang dimaksud. Memang konotasinya negatif ya? Apalagi kepada para pendukungnya. Tetapi dari sisi umum beliau bisa menjelaskan bahwa normal aja, perumpamaan,” kata Aziz.
Kalau mengikuti logika ini, masyarakat itu nggak apa-apa bilang “banci” ke orang lain. Jangan diambil hati apalagi sampai dijadikan perkara hukum. Ucapan itu normal-normal saja. Lho, jangan membantah, ini uraian dari seseorang yang diakui keilmuannya lho.
Jadi mulai sekarang, kalau ente lagi belanja ke angkringan atau jajan ke pasar, sebut aja penjualnya dengan kata “banci”. Kalau mereka marah ya mereka yang salah. Ya iya dong, penggunaan kata ini kan normal-normal aja. Cuma perumpamaan. Majas.
Kalau dikonotasikan negatif, ya itu orang yang merasa tersinggung aja yang berlebihan. Apa yang diucapkan, disampaikan, dan dilakukan oleh Habib Bahar itu mewakili kebenaran. Nggak ada salah-salahnya.
Ya iya dong, mana bisa beliau salah. Enak aja. Memangnya Habib Bahar itu kayak ente-ente ini yang suka melakukan kesalahan kayak manusia biasa. Beliau itu makhluk sempurna. Nggak bisa salah dan nggak boleh salah, apalagi sampai diancam masuk penjara segala.
Nafsu manusia aja yang bikin kata “banci” jadi punya konotasi negatif. Justru beliau ini sedang ngajarin bahwa nggak ada yang salah ketika seseorang disebut “banci”. Karena banci itu juga manusia, sama seperti semua orang. Ini justru merupakan upaya menghargai segala macam manusia, sekali pun ia seorang banci.
Oleh karena itu nggak usah tersinggung. Biasa aja. Justru ini cara pikir yang sangat beyond. Out of the box. Hedeh, cebong sekolam mana ngarti yang beginian.
Didasari oleh hal itu, maka jelas Habib Bahar pantas marah kepada Jokowi. Kenapa Presiden tidak bisa mengerti akan kebenaran yang disampaikan beliau? Apa nggak boleh rakyat marah sama pemimpinnya? Apa nggak boleh seorang ulama mengritik pemimpinnya?
Lagian ya, kenapa Presiden bisa bikin tax amnesty tapi tidak bisa bikin bahar amnesty? Kan tinggal bikin aja peraturannya ya kan?
Jadi ulama kayak Habib Bahar gini nggak bisa kesentuh hukum. Hukum manusia yang fana dan sifatnya sementara kayak begini. Ingat, persidangan yang sebenarnya bukan di dunia, tapi di akhirat nanti, My Friends. Harusnya sebagai Presiden, Jokowi paham dong dengan hal-hal begini. Bijimana seh?
Namun kalau Habib Bahar sendiri yang diteriakin dengan kata-kata yang sama dan beliau tersinggung ya itu beda perkara. Bukan standar janda, eh, ganda itu. Apalagi sampai ada yang menjelek-jelekkan beliau. Ya kalau kemudian ada dua remaja dianiaya sampai babak belur karena menghina beliau, ya itu kan cuma bentuk efek jera biar nggak diulangi lagi menghina Habib Bahar. Media aja yang lebay.
Artinya sebutan berkonotasi negatif kayak “banci” ini hanya boleh berlaku untuk musuh-musuh beliau aja. Jadi nggak apa-apa kalau kata itu keluar dari Habib Bahar, tapi kalau disebutkan mengarah ke beliau, ya itu artinya penghinaan kelas berat dan patut kena hukum rimba.
Duh, jadi syedih deh betapa teraniayanya Habib Bahar atas ketidakadilan di negeri ini.
Kalau udah begini, satu-satunya solusi ya khilafah. Nggak ada yang laen. Cara jitu dan instan hadapi ulamanisasi kriminal kriminalisasi ulama yang makin jadi fenomena di negeri yang ajaib todemax ini.