Bayangkan, kamu punya kawan yang dari tangannya apapun bisa jadi duit. Dari kulkas rusak, stik Play Station bekas, teralis besi kampus, sabun colek punya UKM, sampai niat saja sudah bisa jadi duit.
Perkenalkan: Rusli Hariyanto.
Rusli bukanlah mahasiswa biasa, sekalipun tidak luar biasa pula. Saat pertama datang ke kampus Universitas Negeri Yogyakarta, jika lumrahnya mahasiswa baru selalu tampil keren-kerenan, Rusli Hariyanto justru melawan arus fashion khas maba. Datang ke kampus dengan satu tas ransel seadanya dan satu kotak kardus Indomie.
Apakah isinya mie instan sebagai persediaan makan sehari-hari? Tidak. Apakah isinya gula dan teh sebagai sesaji? Tidak juga. Terus isinya apa? Isinya ya cuma pakaian, celana, dan celana dalam. Alasan kardus itu dibawa sederhana saja: tas ranselnya kelewat kecil untuk muat baju-baju.
Rusli adalah gambaran paling nyata mahasiswa seperti dalam sitkom Si Doel Anak Sekolahan. Ia hadir secara natural dengan gaya yang udik dan norak, ndeso dan gegar budaya, bukan untuk gegayaan artsy sok gembel seperti mahasiswa hipster saat ini, melainkan ya memang segitu itu selera dan kemampuannya dalam berbusana.
Malam pertama di Jogja dari Situbondo 11 tahun lalu, Rusli seperti anak yang ditelantarkan keluarganya: seliweran enggak jelas di kampus.
Tidak punya saudara di Jogja dan kos belum ada yang cocok harganya. Rusli pun melakukan hal yang tidak bakal Anda semua lakukan di usia yang baru lulus SMA: menawarkan diri untuk nebeng tidur di sekretariat-sekretariat UKM di sekitaran kampus.
Door to door persis seperti sales kaos kaki yang menjajakan dagangannya.
Setelah berkeliling dari Karangmalang – Bulaksumur – Mrican – (terus balik lagi ke) Karangmalang, Rusli akhirnya diselamatkan oleh padepokan pers mahasiswa di kampus yang kerap sok peduli akan samsara kemanusiaan: Ekspresi UNY. Rusli pun dipersilakan tidur untuk sehari semalam.
Selanjutnya Anda tahu bagaimana cerita macam ini bermuara: dikasih tidur satu malam malah tinggal 7 tahun lebih sampai gedungnya mau dipugar.
Sebagaimana orang-orang Madura yang saya kenal, Rusli punya tingkat survival yang luar biasa tinggi. Coba situ bayangkan, sudah enggak punya duit, enggak ada pula satupun barang yang bisa dijual untuk jadi duit. Perut sudah keroncongan lapar bukan main. Dahaga sudah mencekik di leher. Kepala pusing. Untung kepala bawah masih bisa diredam.
Lalu apakah Rusli menjual diri? Tidak.
Dengan modal sabun colek inventaris UKM yang dianggarkan dalam proposal ke rektorat tiap tahunnya, Rusli menawarkan jasa yang saat itu—di tahun 2006—belum banyak orang yang kepikiran untuk bikin usahanya: cuci motor!
Sebuah bisnis jasa yang mungkin saat itu tidak banyak orang tahu dan oleh karenanya, tawaran Rusli ini pun dianggap mahasiswa-mahasiswa yang parkir sepeda motornya di pelataran gedung UKM sebagai tawaran yang meragukan. Mereka pun hanya lalu-lalang tanpa peduli.
Entah dibisiki oleh setan jenis apa, Rusli tidak kehabisan akal. Alih-alih pasrah, Rusli justru mulai mencuci satu per satu sepeda motor itu tanpa si empunya mengetahuinya. Beberapa memang ada yang tahu, tetapi sekitar 98% dari mereka tidak paham kenapa motornya bisa tiba-tiba jadi bersih seperti lantai masjid tiap hendak Jumatan.
Setelah semua motor kinclong, Rusli lalu menunggu saja di parkiran itu. Tiap si pemilik motor datang, ia dengan enteng menagih bayaran murah meriah: 2000 perak untuk sekali cuci.
Si pemilik tentu saja bingung, tapi Rusli peduli setan. Beruntung, ia tak pernah memaksa dan tak ada pula kejadian baku hantam karena perilaku ajaibnya tersebut. Setelah dikira cukup, ia lalu beranjak menuju angkringan legendaris di UNY: Angkringan Felix & Temon. Di sana biasanya Rusli suka makan dan… hutang.
Dengan laku hidup absurd itulah, Rusli bertahan hidup dari kerasnya kehidupan di Jogja. Tapi itu cuma sebagian kecil. Ia, hingga sekarang, masih sering dikenal sebagai pengepul barang bekas, besi rongsok, hingga pencari segala jenis barang. Rusli sudah menjalani laku hidup sebagai mahasiswa entrepreneur jauh sebelum Tung Desem Waringin memberi kuliah di banyak kampus.
Lumayanlah hasilnya. Paling tidak sampai di kehidupannya yang sekarang, di mana ia sudah memiliki bisnis elegan yakni usaha rental mobil yang konon sukses itu.
Tetapi hidup bersama Rusli kala itu tidaklah selalu berurusan dengan uang. Bahkan sebetulnya lebih banyak hal konyol yang saya dapati. Dari kulkas yang disulap jadi lemari baju hanya karena khawatir bayar listriknya lebih mahal, sampai barang-barang baru yang hanya akan bertahan (paling lama dua minggu) sebelum akhirnya dijual lagi.
Dari sekian pusaran absurd ala Rusli Hariyanto saya alami, salah satu yang paling berkesan adalah ini:
Suatu malam, setelah menjalani rapat redaksi, tiba-tiba tanpa ba-bi-bu Rusli menghampiri saya. Ia mengajak saya ikut permainan aneh.
Rusli : “Daf, dolanan yo?” (Daf, main yuk?)
Saya : “Emoh.” (Males)
Rusli : (Sambil tarik-tarik kaki saya yang selonjoran) “Ayolah, Daf. Ayo dolanan. Sedilit wae.” (Ayolah, Daf. Main sebentar aja)
Saya : “Emoh.” (Males)
Rusli tidak menyerah.
Rusli : “Daf?” (Masih tarik-tarik kaki saya)
Saya : …… (Beranjak salat sunah)
Rusli : “Piye? Mau to?” (Gimana? Mau kan?)
Saya : “Moh, Rus.” (Males, Rus)
Setelah jawaban yang sama dari saya sampai jutaan kali, akhirnya saya pun mengiyakan ajakannya karena kasihan.
Saya : “Meh dolanan opo?” (Mau mainan apa?)
Rusli : “Banting-bantingan hape.”
(((( BANTING-BANTINGAN HAPE ))))
Waktu itu Panjul (a.k.a Eddward S. Kennedy) dan Yandri (a.k.a Ardyan M. Erlangga) seingat saya masih di dalam ruangan yang sama, dan mereka tentu saja pasang muka absurd karena mendengar jenis permainan yang belum pernah diciptakan bahkan oleh imajinasi JK. Rowling sekalipun.
Lalu bagaimana cara bermainannya?
Oh, mudah sekali.
Begini. Cukup genggam hape Anda lalu banting sekeras mungkin ke bagian dinding yang Anda inginkan. Nah, karena ini formatnya kompetisi, maka hape siapa yang masih bisa hidup dan kondisinya normal setelah dibanting maka dialah pemenangnya.
Sederhana sekali, bukan?
Waktu itu hape saya adalah Siemens C45. Sebuah hape yang memang terkenal karena kehandalannya. Sebelum kejadian absurd ini, saya memang sempat beberapa kali memamerkan keunggulan hape saya ke Rusli, dan salah satunya adalah tahan banting.
Tapi entah dengan bagian otak mana yang digunakan Rusli untuk mencerna informasi dari saya waktu itu, ia menafsirkan secara harfiah“tahan banting” yang saya maksud. Ya, benar-benar dibanting.
Rusli : “Ayo, Daf. Hapemu keluarkan dulu.”
Rusli sudah bersiap-siap pasang kuda-kuda seolah akan melakukan gerakan atletik lempar lembing. Saya lihat hapenya, oh ternyata memang hape baru.
Saya tahu sekarang, Rusli hendak membalas pamer hape barunya agar bisa dibilang “tahan banting juga seperti hapenya Dafi”. Nalar yang sama sekali tidak perlu saya kira untuk kehidupannya yang menyedihkan itu.
Sayangnya, Rusli serius betul, saya pun tidak enak karena sudah kadung mengiyakan ajakannya.
Rusli : “Barengan ya, Daf? Satu… dua…”
Saya : “Sebentar, sebentar. Satu-satu aja Rus biar kelihatan kalau ambyar kan biar enggak ketuker nanti.”
Rusli : “Oh, gitu ya? Hape siapa dulu? Hapemu ya?”
Saya : “Hapeku dulu, gundulmu! Yang ngajak ini kan tadi kamu. Ya kamu dulu lah.”
Rusli : “Oh, oke. Satu…. dua….”
PRAAAANG!
Saya kaget, begitu juga dengan Panjul dan Yandri di ruangan itu.
Ediiiyaaaaan!
Rusli betul-betul membanting hapenya dengan amat keras ke sudut dinding. Saya sampai melongo melihat Rusli begitu tololnya membanting hape milik sendiri. Komponen-komponen hapenya menyebar ke mana-mana. Sudah pasti rusak hape baru itu.
Rusli : “Gimana? Gimana?”
Ajaib, Rusli justru tersenyum bangga saat menoleh ke kami bertiga—yang dalam hati sebenarnya ketawa ngakak terpingkal-pingkal enggak karuan. Hanya saja mimik muka kami tampak serius sekali seolah-olah menyiratkan kekaguman kepada dirinya. Rusli pun tampak puas betul melihat ekspresi muka takjub buatan kami itu.
Sampai akhirnya…
Rusli : “Ayo, Daf, sekarang giliranmu… Ayo dibanting!”
Saya : “Ogaaaahhhh laaaaaahhhhh…”
Saya sambil kabur ketika mengatakan itu. Rusli yang gemas lantas mengejar saya. Sementara Yandri dan Panjul tertawa ngakak tak karuan