MOJOK.CO – Bagaimana mungkin sosok se-‘alim Gus Syukri mau-maunya bergaul dengan pemabuk dan pejudi? Padahal dia salah satu ulama yang terpandang lho.
Mas Is tidak mengerti dengan kelakuan Gus Syukri. Katanya lulusan pondok pesantren terkenal, tapi kelakuannya benar-benar tidak menunjukkan hal itu. Hampir tiap hari Gus Syukri nongkrong di daerah yang terkenal sebagai tempat para pemabuk dan pejudi berkumpul.
“Aneh nggak sih sampeyan lihat Gus Syukri itu, Gus?” tanya Mas Is saat main catur di rumah Gus Mut.
“Aneh? Aneh kenapa emangnya?” tanya Gus Mut.
“Itu lho, Gus Syukri itu kan putra kiai terkenal. Mondoknya juga lama, belajar agamanya kenceng sejak dulu, kok ya sekarang malah jadi nongkrong sama tukang mabuk dan tukang judi. Hampir tiap malam lagi. Udah gitu kalau salat di masjid kampung kita, dia itu nggak pernah salah qobliyah-bakdiyah lagi. Habis jamaah langsung ngacir aja gitu. Hadeh, benar-benar mengecewakan,” kata Mas Is.
Gus Mut cuma tersenyum mendengarnya.
“Apa Gus Mut nggak pernah menegur Gus Syukri. Bahaya lho itu dia, Gus,” kata Mas Is.
Tiba-tiba Gus Mut tertawa.
“Lho kok malah ketawa sih, Gus?” tanya Mas Is.
“Maaf, maaf. Aku ini tertawa karena kamu mengkhawatirkan Gus Syukri, tapi kamu lupa kalau cara pandangmu itu malah jauh lebih bahaya,” kata Gus Mut.
“Cara pandang? Cara pandang yang mana memangnya yang bahaya?” tanya Mas Is.
“Ya cara pandang yang barusan,” kata Gus Mut.
“Barusan? Yang mana sih?” tanya Mas Is lagi.
“Hadeh,” kata Gus Mut sambil tetap bermain catur, “Ya nggak lantas kalau kamu sering lihat Gus Syukri nongkrong bareng sama pemabuk dan pejudi lalu otomatis Gus Syukri jadi pemabuk dan pejudi to?”
“Iya, saya tahu itu, Gus. Cuma kan kita ini baiknya berteman dengan orang-orang saleh. Biar kecipratan berkah dan ilmunya. Kan ada itu, kalau deket sama penjual minyak wangi, kita bakal kena wanginya, kalau dekat sama tukang bakar ya wajar juga kalau kita kena bakar,” kata Mas Is.
Gus Mut tersenyum.
“Gimana kalau caramu menafsirkan itu kita balik?” tanya Gus Mut.
“Kita balik? Dibalik jadi gimana, Gus?” tanya Mas Is lagi.
“Ya kita balik. Sekarang gini. Kira-kira mungkin nggak kalau pemabuk dan pejudi itu datang ke rumah Gus Syukri biar bisa kecipratan ‘alim-nya?” tanya Gus Mut.
“Ya susah sih, Gus,” kata Mas Is.
“Lebih gampang mana kalau ‘wangi’-nya,Gus Syukri itu disebar ke daerah-daerah yang mudah ‘terbakar’, ketimbang berharap orang yang suka bakar-bakar itu mau datang datang ke ‘penjual minyak wangi’?” tanya Gus Mut lagi.
Mas Is berpikir sejenak.
“Ya lebih gampang nyebar ‘minyak wangi’ sih, Gus,” kata Mas Is.
“Makanya itu. Gus Syukri itu udah sabar luar biasa meladeni begundal-begundal jalanan biar mereka tidak merasa sungkan sama dia. Prosesnya lama lho bisa diterima kayak gitu. Lagian, Gus Syukri juga nggak pernah secara langsung meminta mereka agar langsung tobat. Ya udah, dibiarin aja dulu. Didatengin aja tiap hari. Jadi akrab, bahkan jadi temen dekat dulu. Kalau udah temen gitu kan jadi enak. Nggak ada jarak. Kalau nggak ada jarak kan mau ngomong-ngomong yang sensitif jadinya lebih asyik. Mau ngomongin soal judi bola hayuuk, mau ngomongin agama ya hayuuk,” kata Gus Mut.
Mas Is manggut-manggut.
“Oke lah kalau itu, tapi di sisi lain kok Gus Syukri ini aku lihat-lihat juga nggak pernah salat sunah ya? Kan aneh juga itu, Gus. Orang si-‘alim dia kok salatnya cuma yang fardhu-fardhu aja,” kata Mas Is.
“Ya itu memang udah kebiasaan. Ya kan nggak apa-apa. Cuma sunah ini,” kata Gus Mut.
“Jangan-jangan ada alasannya, Gus?” tanya Mas Is.
“Iya, memang ada alasannya,” kata Gus Mut.
“Wah… apa? Apa, Gus, alasannya?” tanya Mas Is semangat.
“Hmm, kamu itu. Aku cuma khawatir kalau aku kasih alasan ini, terus bikin kamu pakai alasan ini biar nggak salat qobliyah-bakdiyah lagi,” kata Gus Mut penuh curiga.
Mas Is tertawa.
“Aaah, ya nggak lah, Gus. Kan biar tahu aja. Buat pengetahuan aja,” kata Mas Is.
“Iya, aku kasih tahu. Tapi kalau maqom-mu belum sampai kayak Gus Syukri, kamu jangan niru ya?” tanya Gus Mut.
“Iya, Gus. Insya Allah. Saya janji,” kata Mas Is.
“Jadi gini. Orang-orang dekatnya Gus Syukri, ya pejudi dan pemabuk itu, bisa berangkat salat fardhu lima waktu aja sudah luar biasa keren. Susah lho buat orang yang sejak kecil nggak pernah salat terus tiba-tiba jadi mau salat. Beratnya minta ampun itu. Jauh lebih berat ketimbang orang-orang kayak kita yang beruntung lahir dari keluarga yang taat agama,” kata Gus Mut berhenti sejenak.
“Karena Gus Syukri paham itu, makanya beliau nggak pernah ngajak salat secara langsung. Cuma kalau lagi nongkrong sama mereka, Gus Syukri kadang izin buat salat fardhu dulu. Jadi contoh gitu. Biar pada penasaran. Nggak yang dicecoki dalil-dalil dulu. Nah, biar orang-orang ini ngelihat kalau salat itu gampang, Gus Syukri justru membiasakan nggak salat sunah. Biar orang-orang ini nggak merasa kalau salat itu semakin berat dilakukan,” kata Gus Mut.
Mas Is masih memperhatikan sambil manggut-manggut.
“Coba sekarang kamu bayangin. Salat itu kalau dikompletin pakai qobliyah-bakdiyah itu kan jadi banyak banget. Salat duhur aja bisa jadi berasa delapan rakaat. Dua qobliyah, dua bakdiyah, empat salat duhurnya. Banyak banget to? Orang kayak kita aja menganggap itu banyak, apalagi orang-orang kayak mereka. Jadi biar orang-orang itu nggak buru-buru melihat sesuatu yang berat dari agama, makanya Gus Syukri mencontohkan dirinya sendiri pakai ibadah-ibadah yang gampang saja tanpa salat sunah,” kata Gus Mut.
Mas Is tersenyum.
*) Diolah dari ceramah Gus Baha’
BACA JUGA Kepala Diinjak Ketika Sujud dan Pencatutan Nama Allah atau artikel rubrik KHOTBAH lainnya.