MOJOK.CO – Kiai Kholil dikenal tak selalu hadir ketika tahlilan 7 hari. Hal ini cukup mengkhawatirkan bagi Fanshuri karena gerakan anti-tahlil sudah ada di mana-mana.
Sudah jadi kegelisahan Fanshuri sejak lama soal Kiai Kholil selalu tidak rutin ikut acara tahlilan 7 hari jika ada tetangga yang meninggal dunia. Hal ini cukup menggelisahkan karena menurut Fanshuri tahlilan 7 hari, 40 hari, sampai 1000 hari itu sudah jadi tradisi keislaman yang sangat baik di kampung. Akan berbahaya kalau Kiai Kholil malah suka bolong-bolong ketika menghadiri tahlilan ini.
Apalagi Fanshuri tahu betul, gerakan anti-tahlil sedang gencar-gencarnya masuk ke setiap lini kehidupan. Kalau Kiai Kholil sendiri tidak rutin, jangan-jangan tahlilan 7 hari ini sebenarnya haram? Karena tak berani langsung tanya ke Kiai Kholil, Fanshuri memilih ke putra Kiai Kholil, Gus Mut. Tentu saja alibi untuk bertanya adalah ajakan main catur seperti biasanya.
“Gus, apa bapak panjenengan itu udah berubah jadi ulama yang anti-tahlil?” tanya Fanshuri ketika menata bidak catur.
Gus Mut yang baru menata bidak catur jadi kaget.
“Hah? Lah dapet dari mana kamu info begitu?” tanya Gus Mut.
“Gini, Gus. Saya itu lumayan memperhatikan kalau ada acara tahlilan 7 hari, Kiai Kholil pasti nggak rutin datang. Entah di hari ke berapa beliau suka nggak hadir. Itu sudah terjadi berkali-kali lho, Gus. Apa panjenengan nggak khawatir?”
Gus Mut langsung tertawa mendengar tudingan Fanshuri itu.
“Kok malah ketawa sih, Gus? Saya ini tanya beneran,” kata Fanshuri.
“Kamu itu ya aneh sih, Fan. Jelas-jelas Bapak itu jauh lebih ‘alim dariku. Kok bisa-bisanya kamu menuding yang tidak-tidak. Bapak itu kalaupun nggak hadir juga masih tahlilan kok, mendoakan orang yang meninggal,” kata Gus Mut.
“Lah, kenapa nggak datang aja ke rumah duka? Kan pikiran buruk tadi nggak bakal keluar kalau Kiai Kholil rutin datang di tahlilan 7 hari?” tanya Fanshuri.
Gus Mut sedikit tersenyum.
“Fan, Bapak itu ada maksud tertentu kenapa nggak selalu hadir,” kata Gus Mut.
“Hah? Maksud apa, Gus?” tanya Fanshuri.
“Ya maksud biar orang kayak kamu itu nggak menganggap tahlilan 7 hari itu sesuatu yang mendekati wajib. Harus diadakan, harus diselenggarakan, padahal kan nggak diselenggarakan juga nggak apa-apa,” kata Gus Mut.
Fanshuri garuk-garuk mendengarnya.
“Lah tapi kan tahlilan 7 hari itu tradisi yang baik sekali, Gus. Menambah ukhuwah di antara kita. Kalau Kiai Kholil aja nggak rutin, gimana kami mau menjaga tradisi ini? Padahal sudah muncul gerakan-gerakan anti-tahlil di luar sana,” kata Fanshuri.
“Gerakan anti-tahlil? Apaan itu?” tanya Gus Mut.
“Ya gerakan yang mengharamkan acara tahlilan. Dulu saya aja kicep, Gus. Waktu didebat sama orang-orang begitu. Kenapa tahlilannya 7 hari? Itu kan tradisi Hindu. Padahal Islam saja sudah sempurna kenapa masuk-masukin tradisi lain,” kata Fanshuri.
Gus Mut terkekeh.
“Fan, kalau emang khawatir tahlilan 7 hari itu dianggap sebagai tradisi Hindu, ya sudah diganti saja,” kata Gus Mut.
“Lah, Gus Mut ini gimana? Bukannya dipertahanin malah mau dihapus begitu aja,” kata Fanshuri.
“Bukan dihapus maksudku, Fan, tapi diganti,” kata Gus Mut.
“Hah diganti apa?”
“Ya diganti jadi tahlilan 8 hari misalnya, atau 4 hari. Terserah keluarga almarhum. Suka-suka mereka juga nggak apa-apa. Nggak ada patokan resminya juga. Tahlilan 7 hari itu kan dibikin menyesuaikan kebiasaan tradisi masyarakat kita sebelum Islam datang. Kalau tradisinya dilawan ya boleh. Tapi kalau soal tidak boleh membaca kalimat thoyyibah beramai-ramai, lah itu udah beda perkara,” kata Gus Mut.
Fanshuri bingung.
“Fan, tahlilan itu kan berisi kalimat thoyyibah, istighfar bareng-bareng, doa bareng-bareng. Berdoa hanya kepada Gusti Allah. Mendoakan orang. Kalau dalam rangka mendoakan orang meninggal tidak boleh pakai patokan 7 hari, 40 hari, atau 1000 hari, ya sudah diganti aja kan bisa. Jadi 3 hari, jadi 11 hari, jadi 143 hari misalnya. Bebas. Santai aja,” kata Gus Mut.
“Jadi Kiai Kholil itu nggak rutin datang biar apa, Gus?” tanya Fanshuri.
“Ya biar orang kayak kamu itu nggak konsen sama jumlah hari dalam tahlilan 7 hari,” kata Gus Mut.
Fanshuri paham, meski garuk-garuk kepala kaget. Ternyata selama ini dia sudah salah duga.
“Padahal, gerakan anti-tahlil itu udah merajarela lho, Gus. Apa Gus Mut nggak khawatir?” tanya Fanshuri.
“Khawatir buat apa? Yang punya gerakan itu juga Insya Allah niatnya bagus. Khawatir kalau apa yang dikerjakan saudara seimannya itu bid’ah dholalah, meski yang mengerjakan merasa itu bid’ah hasanah. Yang tahlilan niatnya bagus, yang nggak mau tahlilan ya bagus. Mendoakan orang lain itu bagus, mau mendoakan dengan cara yang lain ya bagus. Agar jadi inget mati, jadi inget Gusti Allah karena baca Yasiin, baca ayat terakhir Al-Baqarah, baca kalimat tahlil. Keluarga almarhum yang mengundang tetangga untuk mendoakan si mayit juga bagus, bisa dapet kesempatan ngasih sedekah. Bagus semua kok,” kata Gus Mut.
“Lah kalau gitu, nggak ada fungsinya dong kita mendoakan jenazah kalau kita membiarkan yang anti-tahlil terus hidup di sekitar kita,” kata Fanshuri.
“Ya yang penting kamu punya ilmunya kalau ditanya-tanya,” kata Gus Mut.
“Nah, kadang saya ini khawatir kalau ditanya-tanya je, Gus. Terutama kalau ditanya, doa kayak gitu nggak akan sampai ke mayit lho. Malah bikin dosa karena ibadah nggak ada tuntunannya,” kata Fanshuri.
Gus Mut terkekeh.
“Hidupnya seorang muslim yang mukmin itu saja udah ibadah lho, Fan. Soalnya spektrum ibadah itu luas sekali. Yang ritual-ritual, maupun yang sifatnya sosial. Ibadah itu sesepele kamu menundukkan pandangan ketika melihat perempuan cantik, menyingkirkan paku di jalan, bahkan sekadar memberi senyum ke orang pun dianggap sedekah. Setara lho dengan orang ngasih sumbangan makan ke orang. Cuma senyum doang padahal,” kata Gus Mut.
Fanshuri manggut-manggut.
“Orang-orang yang kamu sebut tadi, bisa jadi memahami ibadah sebagai ritus. Akhirnya ritus-ritus yang pernah dikerjakan Nabi saja yang dianggap ibadah, tapi kehidupan sosial Nabi tanpa sadar dicerabut dari substansinya. Kayak puasa sunah Senin, karena Nabi lahir di hari Senin. Lalu ada orang puasa di hari dia lahir. Kebetulan hari lahirnya Selasa. Apa iya lantas puasa hari setiap Selasa untuk memperingati kelahiran sendiri itu juga bid’ah yang diganjar neraka? Kan ya nggak juga. Itu yang aku maksud substansi ibadahnya, bukan cuma konsen ke ritusnya apalagi soal harinya,” kata Gus Mut.
“Oh, begitu ya, Gus,” kata Fanshuri.
“Masalahnya, perdebatan kita itu selalu tak jauh dari perkara ritus begini. Tahlilan 7 hari tidak boleh karena jumlah harinya mengikuti tradisi agama lain, atau kalimat thoyyibah dilarang dilakukan bersama-sama untuk mendoakan orang meninggal. Wah, itu kan yang lalu dimasalahkan. Lah wong menara masjid aja lho, boleh kok pakai tradisi agama majusi. Asal bukan mengubah ritus-ritus ibadah wajib, semua ini masih bersifat khilafiyah kok,” kata Gus Mut.
Fanshuri manggut-manggut.
“Cuma, kamu harus ingat. Yang tidak setuju tahlilan 7 hari itu juga jangan dibalas harus ikut tahlilan. Lah wong nggak wajib kok. Jangan sampai ketidaksukaanmu sama suatu kaum bikin kamu nggak adil juga sama mereka. Biarkan aja mereka nggak mau, mungkin cara mendoakan orang beda caranya, tapi kan substansinya sama aja. Sama-sama mendoakan orang lain,” kata Gus Mut.
“Padahal saya udah punya jawaban sakti, Gus, kalau ditanyain soal tahlilan 7 hari itu nggak akan diterima Gusti Allah versi pemahaman orang-orang sebelah,” kata Fanshuri.
Gus Mut kaget.
“Jawaban sakti apa, Fan?”
“Ya saya jawab aja. Ya udah, kalau nanti ada keluarga situ ada yang meninggal. Saya doain satu kampung biar masuk neraka aja deh. Lalu mereka kan marah tuh, langsung saya balas, ‘lah, tadi katanya nggak bakal sampai doanya’,” kata Fanshuri terkekeh.
Gus Mut ikut terkekeh, meski akhirnya tetep menegur.
“Huss, ngawur kamu, Fan!”
*) Diolah dari penjelasan Gus Baha’.
BACA JUGA kisah GUS MUT lainnya.