MOJOK.CO – Prestasi paling mentereng Pak Harto ada dua. Pertama, stabilitas politik melebihi stabilizer komputer; kedua, membunuh komunis tanpa perlu pengadilan.
Lagi asyik-asyiknya menelurusi berita soal HH, artis yang diduga terlibat jaringan prostitusi daring dengan tarif 20 juta sekali transaksi (sambil harap-harap nemu “tautan pemersatu bangsa”-nya, berakhir dikirimi teman video lagu Indonesia Raya), sebuah berita lain menyelinap: Partai Berkarya ngasih rekomendasi ke Pemerintah untuk mengangkat Soeharto, mantan presiden kita, jadi pahlawan nasional.
Akhir pekan harusnya bisa dipakai untuk leyeh-leyeh sambil menikmati tautan nganu, terpaksa diisi dengan mendengarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya sambil mikirin Pak Harto. Sungguh sebuah akhir pekan yang nasionalis pancasilais.
Berdebat soal pantas-tidaknya Pak Jenderal yang suka senyum-senyum sendiri itu jadi pahlawan nasional saya pikir tidak akan ada ujungnya. Kedua kubu—yang mendukung dan yang tidak—punya argumennya sendiri-sendiri.
Yang mendukung bisa menderetkan prestasi Pak Mantan Presiden yang hobi mancing itu dari A sampai Z, sementara yang menolak bisa membuat daftar yang panjangnya ngalah-ngalahin daftar belanja bulanan ibu saya.
Soal hobi mancingnya, konon kabarnya setiap kali beliau mancing, di bawah perahunya sudah siap sedia personel marinir yang bertugas mengaitkan ikan ke kailnya. Saya berpikir, seandainya Orochimaru meng-edo-tensei Pak Harto, kemungkinan sehabis Dunia Dalam Berita kita tidak akan disuguhi acara Laporan Khusus—yang isinya kalau bukan Pak Harto ya Pak Harmoko—melainkan acara Mancing Mania.
Kebayang gak sih, begitu beliau menarik joran lalu berseru dengan semangat ’45… “Mancing mania… MANTAAAP!” yang ketarik bukan kerapu macan tapi sang anggota marinir. Bisa-bisa langsung dirilis ke Guntur itu si anggota.
Prestasi lain yang sering dibanggakan oleh pendukungnya adalah SD Inpres dan beasiswa Supersemar. Itu alumni SD Inpres se-Indonesia, kalau bikin reuni akbar, saya pikir tidak ada kumpulan massa yang bisa mengimbanginya dari segi jumlah.
Tidak kumpulan orang di gelaran Woodstock 1969, tidak pendukung Jokowi di kampanye akbar di Senayan, juga tidak tujuh juta orang massa 212 di Monas.
Jakarta bisa tenggelam kalau semua lulusan SD Inpres ditampung di sana. Pak Anies pasti bingung dan habis dihujani hujatan lagi sama pendukung Pak Ahok.
Tapi buat para lulusan SD Inpres atau penerima beasiswa Supersemar yang kontra dengan rencana pahlawanisasi Pak Harto, tidak usah berkecil hati. Toh Soekarno-Hatta dan tokoh-tokoh nasional kita juga dulu bisa sekolah karena Belanda mengubah kebijakan kolonialnya. Dan mereka menggunakan ilmu yang mereka dapatkan untuk sebesar-besar kepentingan rakyat Indonesia: merdeka.
Kemerdekaan yang kemudian bisa kita isi dengan… gelud online di media sosial.
Tapi prestasi paling mentereng Sang Bapak Pembangunan ada dua. Yang pertama adalah stabilitas. Soal stabilitas, Pak Harto memang jagonya. Stabilizer komputer bisa rusak kena tegangan yang naik-turun, tapi stabilitas negara di tangan Pak Harto tetap jalan walaupun PLN sering oglangan.
Dengan perangkatnya—mulai dari Kopkamtib, Bakorstanas, Kodim, Koramil, dan lain-lain yang berbau militer—negara aman terkendali. Tentara di mana-mana. Jargon terkenalnya “Dwifungsi ABRI”. Prestasi yang mungkin berusaha diimbangi Pak Jokowi pada masa pemerintahan keduanya ini lewat ‘Multifungsi Polri’.
Kok gelud online di media sosial atau ribut-ributnya Krisdayanti versus Aurel, jaman Pak Harto, coret-coretan di kamar mandi yang berpotensi membahayakan negara pun bisa terendus oleh aparat. Sampai Pak Benny muncul di tipi, kelarlah itu hidup para pegiat gelud online. Salemba menanti. Tapi bukan mau dimasukkin UI lewat jalur prestasi lo ya….
Prestasi Pak Harto yang paling hebat, tentu saja, adalah membubarkan komunis. Tidak ada satu pun orang Indonesia yang bisa melakukannya. Sehebat-hebatnya pidato Pak Karno, beliau belum pernah membubarkan PKI. Segarang-garangnya tulisan Pak Hatta, beliau gak bisa membubarkan PKI. Apalagi nama-nama baru kayak Arief Poyuono, Alfian Tanjung, Sutiyogo alias Kivlan Zen, atau Pak Gatot Nurmantyo yang mantan Panglima ABRI.
Terlebih kalau yang mau dibubarkan memang sudah gak ada.
Mau mbubarin apa?
Seperti saya bilang, ada sederet prestasi Pak Harto di mata pendukungnya. Dari A sampai Z! Kita belum bicara soal swasembada beras yang kata kubu penentangnya cuma akal-akalan dan kalaupun memang benar pernah, cuma bertahan satu tahun saja.
Kalau buat saya, prestasi terbesar Pak Harto bukan itu semua, melainkan keberhasilannya mendidik anak-anaknya. Orang akan bilang bahwa Pak Harto justru jatuh karena tingkah-polah anaknya yang sibuk memanfaatkan jabatan bapaknya untuk mengembangkan bisnis mereka. Tapi setidaknya, selama 32 tahun Pak Harto berkuasa, belum pernah kita dengar ada anaknya yang nyalon jadi walikota.
Di sisi lain, kubu yang menentang rekomendasi yang pernah diusulkan Partai Golkar—sebelum digaungkan kembali oleh Partai Berkarya—juga punya alasan yang tidak kalah panjang daftarnya.
Kita bisa mulai dari hal yang paling sederhana: larangan buat para pemuda berambut panjang. Salah apa coba cowok yang rambutnya gondrong?
Seandainya Pak Harto masih berkuasa, itu Master Limbad bisa bolak-balik ditangkap Kodim. Yang repot tentaranya. Lha Limbad, ditanyain, dia nggak pernah ngomong; digebugin, dia tahan pukul….
Atau yang lain, larangan keluar rumah ketika gerhana matahari total. Orang-orang dari seluruh dunia berdatangan ke Indonesia untuk menyaksikan fenomena alam yang jarang-jarang terjadi, kita malah dipaksa diam di rumah. Mana stasiun tivi adanya cuma TVRI, acaranya itu-itu melulu pula.
Sekalinya ada film bagus, disela Laporan Khusus, nonton Pak Harmoko ngumumin harga cabe keriting sama tomat bondol. Sekalinya film perang, panjang, nggak disela acara apa-apa, eh, film Pemberontakan G30S-PKI.
Tapi daftar panjang alasan penentang pengangkatan Pak Harto jadi pahlawan nasional bisa dirangkum dalam dua kata saja: koruptor dan diktator.
Media-media luar negeri pernah menelusuri dan melaporkan harta kekayaan Keluarga Cendana. Pak Harto tentu menuntut karena merasa nama baiknya dicemarkan. Sepanjang pengetahuan saya, skornya 3-1.
Majalah Time menang dua kali di pengadilan, kalah di MA, lalu menang lagi ketika kasusnya ditinjau kembali. Tapi sejatinya tidak ada yang menang.
Laporan tinggal laporan. Persis seperti nasib skripsi mahasiswa-mahasiswa se-Indonesia. Kalau lemari perpustakaan kampus masih muat, di sanalah skripsi itu dipajang. Kalau sudah tidak muat, ya jangan sakit hati kalau dikiloin kampus dan berakhir jadi bungkus tempe.
Yayasan Supersemar yang digagas Pak Harto juga pernah dituntut Kejagung walaupun kasusnya dihentikan karena beliau keburu meninggal dunia. Jaksa Agung (saat itu) berani juga ya, apa karena Mas Tommy ngincernya cuma yang hakim agung ya?
Di sinilah keruwetannya. Yang pro bisa bilang kalau Pak Harto tidak pernah diputus bersalah atas kasus korupsi, sementara yang anti bisa bilang kasusnya ada, cuma nggak ada yang mau ngelanjutin aja.
Alasan lain untuk menolak pengangkatan Pak Harto adalah kedikatorannya.
Kasus-kasus pelanggaran HAM terentang dari Barat sampai ke Timur Indonesia, dari Aceh sampai Papua. Kita bisa menyebut satu-satu dari DOM, penculikan aktivis, petrus, Tanjung Priok, Haur Koneng, Lampung, dan banyak lagi. Udah dibilangin se-Indonesia.
Dan yang paling epik, tentu saja, pembantaian massal 1965. Kata orang, kelemahan seseorang justru ada pada kekuatannya. Prestasi paling mentereng Pak Harto adalah pembubaran komunis, tapi catatan paling buramnya adalah pembantaian yang terjadi setelahnya.
Ratusan ribu kalau bukan jutaan orang dibunuh tanpa pengadilan, ribuan lagi dijebloskan ke penjara, ribuan yang lain lagi dicabut hak-haknya karena dituduh terlibat PKI entah itu cuma anaknya, adiknya, cucunya, atau kemenakannya.
Kasus ini juga sama tidak jelasnya dengan kasus-kasus korupsi yang dituduhkan kepada Pak Harto. Di satu sisi beliau dielu-elukan sebagai pahlawan, di sisi yang lain beliau dihujat, dianggap sebagai penjahat kemanusiaan.
Menentukan Pak Harto pantas atau tidak jadi pahlawan, seperti sudah saya bilang di atas, memang dilematis. Tapi kalau boleh saran, Mas Tomny yang legowo saja. Tony Stark mati dan mati saja, tanpa embel-embel apa-apa. Tapi dia lebih dirindukan orang-orang daripada Thor yang anak dewa. Superman malah berkurang kadar dirindukannya justru karena hidup lagi.
Tulisan ini memang tidak bertujuan untuk menentukan pantas-tidaknya Pak Harto diangkat sebagai pahlawan nasional. Toh tujuan hidup saya—minimal di akhir pekan ini—adalah menemukan tautan-tautan yang bisa memersatukan bangsa daripada mengusulkan hal-hal yang bisa dijadikan bahan oleh para pegiat gelud online.
Seperti semboyan yang berkibar di masa pandemi ini:
“Pakai masker, jaga jarak. Tetaplah hidup walaupun tidak berguna.”
BACA JUGA Seberapa Rindu Kita Pada Soeharto di Masa Kejayaannya? atau tulisan keren Mas Cepi Sabre lainnya.