MOJOK.CO – Yakob anak polos, tapi lumayan cerdik pula. Dia bisa menghindari pertanyaan guru Matematika. Sayangnya ketika mencuri jambu bersama bapaknya, dia…
Pelajaran Matematika
Suatu hari, di salah satu Sekolah Dasar (SD), sebelum pelajaran Matematika dimulai, anak-anak sudah berada di dalam kelas. Suasana hening. Yakob, yang biasanya takut dengan mata pelajaran Matematika, duduk di deretan paling belakang. Tujuannya satu, agar terhindar dari pertanyaan guru.
Selang berapa menit, Pak Guru masuk.
Ketua kelas mengetuk meja sebagai tanda salam dan anak-anak berdiri. Yakob, yang duduk paling belakang berdiri pelan, kebetulan lapar.
Pak Guru langsung berteriak. “Yakob! Berdiri!”
“Iyo Pak Guru. Sa ada berdiri ini!”
Selesai salam pembuka, Pak Guru persilahkan duduk kembali.
Sepertinya Pak Guru sudah membaca siasat Yakob yang duduk paling belakang.
“Yakob!”
“Ya, Pak Guru!”
“Sekarang ko jawab, 1 + 7 – 1, berapa?”
Yakob mencoba berpikir lama. Supaya lebih mudah dijawab, Pak Guru kasih pertanyaan sesuai kehidupan di kampung.
“Jadi begini. Misalnya, ko pigi ke hutan ko lihat burung. Ada 7, jadi ko tembak satu sisah berapa?”
“Nol, Pak Guru!”
“Ah, ko ini bagimana, pelajaran Matematika saja tidak bisa.”
“Jadi begini Pak Guru. Kan burung di pohon ada 7, kalo sa tembak 1 yang lain terbang, jadi tidak ada burung yang tersisah di pohon.”
Burung Yakob
Yakob piara kakaktua yang dia kasih nama Burung Yakob. Burung itu sungguh pintar. Terutama bisa meniru suara manusia, juga menyebut nama-nama. Yakob, yang rumahnya di pinggir jalan raya, rajin melatih burung kesayangan itu untuk mencemooh orang-orang yang melintas. Dan hampir setiap hari, Si Burung ikuti suara dari sang tuan.
Jadi, satu hari, Yakob dan si burung berdiri di teras rumah. Pak Pendeta lewat jalan raya dekat rumah mereka. Ia mulai bisik.
“Eh, ko coba batariak, bilang “Pendeta kapala botak.””
Si Burung turuti bisikan tuannya. Pak Pendeta melotot, tampak kesal.
Dari arah berlawanan, Pak Haji lewat. Ia bisik lagi: “Ko batariak lagi, “Pak Haji jenggot panjang!”
Pak Haji lewat, tapi cuek saja.
Beberapa menit kemudian, dari arah belakang, terdengar suara sepatu baris-berbaris. Tentara sedang lari pagi.
Dengar bunyi sepatu seperti itu, Si Burung sudah menduga dan tidak ingin disuruh-suruh lagi. Takut juga dia sama tentara.
“Burung sayang, sekarang ko coba bilang tentara kam suanggi.”
Si Burung kali ini berani jawab: “Jiii, ko juga bilang sudah! Ko panakut sampe!”
Bersama Bapa mencuri jambu
Jadi, suatu hari sore, sambil jalan-jalan keliling kampung, Yakob dan bapaknya lihat beberapa pohon jambu milik Markus sudah berbuah. Kebetulan, bapaknya Yakob adalah Kepala Desa. Pohon jambu itu sudah berbuah dan matang pohon, tapi tidak ada tanda-tanda panen dari pemiliknya.
Malam harinya, Yakob dan Bapaknya menyusun rencana untuk pancuri (mencuri) buah jambu yang dilihat tadi.
Tepat malam, kira-kira Pukul 11 atau 12, mereka bergerak. Si anak mulai panjat pohon tepat depan rumah Markus, dan bapaknya di pohon lain.
Malam yang hening, sepi, tapi ternyata pemiliknya masih belum tidur. Mendengar suara daun pohon yang jatuh tidak seperti biasanya, Markus mulai curiga.
Ia mengira kelelawar hinggap di pohon dan makan buah jambu miliknya. Maka, Markus siapkan busur dan anak panah. Lampu senter yang Markus bawa diarah-arahkan ke beberapa pohon jambu miliknya.
Markus masih tidak lihat apa-apa dan suara daun pun berhenti seketika. Yakob, di atas pohon yang lebih dulu lihat busur dan anak panah, mulai gemetar. Takut ditembak, ia langsung teriak:
“Maaf, maaf, maaf…Om Markus!”
“Wei, ko siapa?”
“Saya, saya Yakob!”
“Ohh, ko yang pace Kepala Desa pu anak kah? Ko ini. Ko Bapa urus semua persoalan di kampong ini, terus menjaga hukum di kampong ini baru ko pancuri lagi, kitong mo percaya siapa lagi. Ko turun, atau sa lepas anak panah ini ke situ. Supaya ko bapa tau!”
“Iiiihhh, tenang saja Om Markus! Bapa ada di pohon sebelah.”