[MOJOK.CO] “Dua kali aku menanyakan tumorku yang terus membesar, dua kali pula ia mengatakannya, ‘Elu pengin mati?'”
Sepekan dirawat di kamar, tak ada tindakan apa pun yang dilakukan untukku. Aku hanya diobservasi. Dokter-dokter rutin datang ke kamar, termasuk para mahasiswa pendidikan spesialis yang sedang magang. Selebihnya, yang aku tahu, aku pernah diperiksa dokter gizi dan paru-paru.
Dokter gizi semula mendugaku kekurangan gizi karena badanku kerempeng. Tapi, dia akhirnya tahu, aku memang kurus.
“Sebelum sakit, berapa berat badannya, Pak?”
“45, Dok.”
“Sekarang?”
“Kurang tahu. Sebelum masuk rumah sakit 35 kilo.”
“Wah kurus sekali. Banyak makan ya, Pak.”
Aku tak menjawab. Sewaktu sehat saja aku terbiasa makan dengan porsi sedikit. Apatah pula dalam keadaan sakit, dirawat di rumah sakit dengan makanan yang mematikan selera makan.
Dokter paru-paru yang memeriksaku datang berkunjung pada suatu pagi. Seorang perempuan. Itulah kunjungan pertama dan terakhirnya. Hanya sebentar. Aku bahkan tak tahu namanya. Dia menekan-nekan dadaku.
“Bapak dulu merokok?”
“Iya, Dok.”
“Berhenti kapan?”
“Sebulan lalu.”
“Kenapa berhenti?”
“Ya, saya sakit….”
“Kenapa sekarang tak merokok lagi?”
Aku tersenyum. Dia pergi. Ingin rasanya aku menjawab pertanyaannya seperti ini: “Kalau diizinkan rumah sakit, maunya merokok sih, Dok.”
Dokter ketiga yang datang mungkin dokter onkologi. Aku sebut mungkin karena selain tak pernah mengenalkan diri dan sebagai dokter apa, dia hanya datang sebentar dengan membawa spidol. Aku tak paham untuk apa spidol itu hingga dia menjelaskan untuk marker. Apa itu marker, aku juga tak paham.
Dengan spidolnya dia menandai leherku yang benjol, yang menurut rencana tim dokter hendak dibiopsi. Aku tak tahu tanda apa yang digambar di leher. Dia tak menjelaskan apa pun. Sebelum pergi dia hanya bilang: “Jangan dihapus sampai dibiopsi.” Begitu saja. Tak ada dialog.
Dua hari setelah leherku ditandai, para perawat menyeret ranjangku ke ruang operasi. Itu hari Jumat pukul sembilan pagi. Dadaku berdegup kencang. Aku diliputi ketakutan. Ruang operasi bagiku adalah ruangan menyeramkan di rumah sakit selain ruang ICU dan kamar mayat. Tapi, aku tak bisa mundur lagi.
Masuk ke ruang operasi aku tak benar-benar langsung ke ruang bedah. Ada dua ruangan besar yang mesti aku lalui.
Pertama, tempat pakaianku diganti dengan pakaian pasien bedah. Ranjangku juga dipindah. Kedua, ruangan yang aku tak mengerti. Di sini sekali lagi ranjangku diganti. Sesudahnya, mulailah pintu ketiga dibuka dan perawat menyeretku ke ruangan yang luas. Sangat luas. Sangat dingin. Sepi. Tak ada suara perawat.
Aku hanya bisa melirik ke kiri, ke kanan. Ada beberapa ruangan lain di sisinya. Mungkin ruangan-ruangan operasi juga. Di atas pintunya terlihat ada lampu merah.
Ranjangku terus diseret. Aku menatap langit-langit dan lampu yang menyala terang yang seolah menerbangkan pikiranku. Aku seperti tak ingat apa pun hingga ranjangku dibelokkan ke satu ruangan. Tampaknya inilah ruangan untuk membedah leherku. Dan memang benar. Sekali lagi, perawat menggotong dan memindahku ke ranjang operasi.
Aku melirik ke kiri dan ke kanan. Banyak alat-alat di ruangan itu. Dua perawat terlihat sibuk. Mereka bertambah sibuk ketika dokter bedah masuk ruangan. Dia langsung duduk di sebelah kiriku, persis di sisi leherku dan mengenalkan diri.
“Oke, Pak, Bapak namanya siapa?”
“Rusdi.”
“Bisa miring, Pak?”
“Tidak bisa, Dok.”
Dia mulai membasahi leherku dengan cairan steril. Selembar kain hijau dipasangkan di leherku. Persis di bagian yang benjol dibiarkan terbuka.
“Pak Rusdi, saya akan mulai. Bapak akan dibius lokal.”
“Disuntik di leher, Dok?”
“Iya. Sakit sedikit. Saat disuntik tangan Bapak tak boleh diangkat. Paham?”
Aku tak menjawab. Dokter itu mengulangi pertanyaannya.
“Paham Dok.”
“Paham ya. Saya mulai.”
Beberapa saat leherku terasa kebas. Sesudahnya aku mendengar suara gunting beradu. Suara perawat. Suara dokter. Mataku terpejam.
Pak Rusdi sadar?” terdengar suara dokter. Aku diam. Dia mengulangi pertanyaan.
“Iya, Dok.”
“Gitu dong. Usia berapa sekarang?”
“50, Dok.”
Pembicaraan terus berlanjut soal pekerjaan, Akabri, wamil, olahraga, asal-usul, dan benang jahitan di leher yang harus dibuka. Sebuah pembicaraan yang cukup menghiburku di saat aku stres dioperasi—sampai operasi itu selesai.
Lima hari usai biopsi, perawat mengganti perban. Dia tak tahu kapan benang jahitan di leherku dibuka. Dan hanya itu. Sesudahnya tak ada kunjungan dokter onkologi. Tidak ada, bahkan setelah punggungku dioperasi, dirawat di ICU, dan masuk kamar perawatan pascabedah.
Tiga atau dua pekan di ruang transisi, barulah perawat mengganti perban di leherku. Sehari dua kali. Atas perintah dokter bedah onkologi. Tapi ke mana dia?
Dia baru menjengukku sekitar setengah bulan kemudian. Berpakaian dinas tentara dengan dua melati terpasang di kedua pundaknya. Seorang letkol. Saya menyambutnya dengan senyum.
“Dok, kenapa luka bekas biopsi makin menganga?”
“Karena tumornya makin gede. Elu katanya menolak dikemo?”
“Menolak? Kapan? Tak ada permintaan kemo.”
Suasana agak tegang. Aku berusaha tenang dan kembali bertanya.
“Tak ada tindakan lain, Dok?”
“Misalnya apa?”
“Kenapa benjolannya tidak ‘diangkat’?”
“Elu pengin mati?”
Dia menjawab dengan suara agak keras. Tenggorokanku tercekat, tapi aku bisa menahan diri. “Elu pengin mati?” adalah kalimat yang tak kupahami mengapa bisa keluar dari mulut seorang dokter, karena tentu saja setiap pasien ingin sembuh dan kembali sehat. Begitu juga aku. Lagi pula aku hanya bertanya karena tidak mengerti dan ingin tahu.
Untuk soal kemo yang disinggungnya, aku yakin dia hanya mendengar dari perawat. Beberapa hari sebelumnya seorang perawat senior memberitahuku, dokter ortopedi meminta agar aku diberi bondranate. Itu, kata dia, semacam kemo tapi untuk tulang. Aku menjawab tak mau dikemo sebelum bertemu dokter ortopedi. Jawabanku itulah yang tampaknya tersebar termasuk ke dokter bedah onkologi.
Lalu “Elu pengin mati?”?
Aku tak menjawab. Dokter itu meninggalkanku. Benjolan di leherku (sampai sekarang) terus membengkak. Membesar. Kepalaku sering senat-senut. Telingaku suka berdenging. Dokter bedah onkologi itu entah apa kabarnya. Dia baru muncul lagi di kamarku kira-kira tiga minggu setelah kejadian “Elu pengin mati?”.
Aku sedang tidur. Perawat membangunkanku. Aku terkejut melihat dokter itu datang kembali. Harapanku, mudah-mudahan ada kabar baru mengenai tumor di leherku.
“Hai, Dok, apa kabar?”
“Gimana keadaannya?”
“Benjolannya terus membesar….”
“Itu akan terus membesar.”
“Kenapa sih, Dok, benjolannya tidak bisa diangkat?”
“Elu pengien mati?”
Kalimat itu keluar lagi dari mulutnya. Menghantam kepalaku, leherku, dadaku, perutku, semua organ di tubuhku.
“Hei, mestinya hubungan kita profesional antara seorang dokter dan pasien. Saya menghormati Anda sebagai seorang dokter dan seorang tentara. Tapi, ternyata Anda tidak. La, lu, la, lu… siapa Anda seenaknya memanggil saya ‘elu’? Usia saya bahkan lebih tua dari Anda dan di ketentaraan, Anda mestinya menghormati yang lebih tua. Tapi, Anda, dokter apa?”
Tiba-tiba aku memuntahkan kekesalanku tanpa bisa dibendung. Mirip rententan bunyi senapan. Dia terkesiap. Mungkin tak menyangka aku akan memberondongnya. Aku tak peduli. Dokter itu lantas meninggalkanku tanpa pamit.
Aku ngos-ngosan. Nafsuku tumpah dan sesudahnya menyesal. Tidurku tak nyenyak. Tiga hari tiga malam aku berdoa agar dokter itu dirahmati. Dan pada hari ketiga, dia kembali datang ke kamarku. Aku menjulurkan tangan dan meminta maaf. Dia tak menjawab, tapi suasana batin aku rasakan sudah agak berubah. Tak seharusnya aku “melawan” dokter. Seharusnya aku diam saja, semenjengkelkan apa pun penjelesannya. Mestinya aku menerima, tumor di leherku bukan urusan dokter. Ia adalah bagian dariku. Bagian takdirku yang harus aku terima, harus aku nikmati, yang kelak mungkin bisa kempes dan aku kembali pulih, atau mungkin kubawa hingga mati.