Curhat
Gus Mul, Cik Prim, dan jajaran redaksi Mojok yang budiman.
Baru-baru ini saya patah hati lantaran perempuan yang ingin saya nikahi, sebut saja Ningrum, ternyata tidak disukai ibu saya, dan bukan tidak mungkin saya terancam batal menikah karena situasi ini. Padahal kami sudah yakin betul bahwa hubungan kami ke jenjang pernikahan akan seperti jargon jalan tol Ibu Kota: bebas hambatan.
Yang jadi alasan Ibu untuk menolak perempuan pilihan saya sungguh di luar dugaan, dan alasan ini pula yang membuat saya sangat patah hati: karena fisik Ningrum ini tidak menarik alias jauh di bawah standar yang Ibu inginkan.
Ibu saya ini memang punya banyak syarat kalau sudah berkaitan dengan yang namanya pasangan. Mulai dari harus perawan, seiman, berpendidikan, dari keluarga baik-baik, dan hal-hal lain yang sebenarnya lumrah saja untuk kebanyakan orang pada umumnya. Nah, yang tidak pernah dicantumkan dalam daftar adalah dia harus cantik.
Syarat ini kemungkinan besar muncul karena sebelum ini, mantan pacar saya cantik-cantik. Saya saja tidak menyangka bisa pacaran sama mereka, mengingat muka saya ini sungguh ala kadarnya, walaupun kalau boleh sombong, saya ini memang cukup mapan secara finansial. Klise banget ya. Walau begitu, saya sendiri tidak pernah sreg dengan mantan-mantan saya, dan tidak pernah kepikiran untuk sampai menikahi mereka.
Nah, khusus untuk Ningrum, ia adalah kasus baru buat saya. Ia tidak cantik. Selain itu, Ningrum juga seorang seniman, jadi mungkin ia tak serajin perempuan karier dalam urusan merias diri. Dan yang lebih bikin jiper, Ningrum ini tatoan, merokok, dan pemabuk. Hal yang sudah barang tentu menjadi pantangan bagi banyak mertua untuk menerima menantu. Kendati begitu, saya sangat menyayangi dia.
Kami tidak pernah pacaran, tapi memutuskan untuk langsung menikah. Memang, dari awal, hubungan saya dan Ningrum sudah cukup absurd. Kami bertemu di Tinder, kebetulan matched. Enam bulan berkencan, dalam keadaaan sama-sama mabuk, kami berani melamar satu sama lain.
Saya nggak kebelet menikah dengannya cuma karena kebutuhan biologis semata. Toh, tanpa diikat status apa pun kami bisa memenuhinya kapan saja selama ada keinginan dan kesepakatan bersama. Tapi, dari Ningrum, yang dari awal saya akui mukanya memang di bawah standar ini, saya jadi tahu lebih banyak hal tentang cinta dan kehidupan, Gus, Cik.
Ningrum ini punya kepribadian yang menarik, yang membuat saya merasa bisa belajar lagi memaknai cinta. Saya jadi tahu kalau kegalauan yang saya hadapi seumur hidup ternyata punya konsep yang namanya eksistensialisme, dan ada orang-orang yang hidupnya jauh lebih kacau dari saya, kayak Kafka dan Camus. Dari dia—dan bukan Ivan Lanin—saya juga tahu bahwa yang benar adalah mengubah bukan merubah, di mana bukan dimana, dan peduli bukan perduli. Konsep dan stereotip saya tentang perempuan hancur lebur setelah bertemu Ningrum. Dan yang paling penting, saya diperkenalkan sama Mojok pun ya oleh si Ningrum ini.
Sungguh, melalui Ningrum saya sadar bahwa ada kualitas kedua yang tidak bisa digantikan oleh tampilan fisik semata. Mungkin karena saya juga sudah telanjur dibutakan asmara. Sayangnya, tidak bisa dimungkiri bahwa dia bukan perempuan idaman mertua, terkhusus ibu-ibu pada umumnya.
Pertanyaan saya setelah cerita yang ngalor ngidul nggak keruan ini sebenarnya sederhana: bagaimana meyakinkan ibu saya bahwa perempuan pemabuk, perokok, bertato, dan fisiknya di bawah standar ibu saya ini ternyata luar biasa cantik di mata saya; teman bermain dan belajar bagi saya; dan saya begitu ingin menikahinya meski baru enam bulan berkencan demi mencoba memahami lebih banyak tentang hidup yang… ah, begitulah.
Bantu saya, Gus dan Cik yang baik.
~ BTK, di Jakarta
Jawab
Dear BTK, atau… ah, saya sebut Bambang saja.
Tentu ini masalah yang begitu pelik. Dan menjadi lebih pelik karena saya harus ikut memikirkan pemecahan masalah ini. Ndilalah, orang tua saya termasuk penganut aliran liberal, yang tak terlalu ikut campur dengan urusan pilihan pasangan anak-anaknya sehingga, bagi saya, permasalahan sampean ini tentu sebuah tantangan yang baru bagi saya untuk menjawab curhatan kali ini.
Begini, Bambang. Pada dasarnya, orang tua selalu menginginkan yang terbaik bagi anaknya. Menginginkan anaknya akan hidup bahagia setelah menikah. Sehingga wajar jika mereka selalu ingin mendapatkan menantu yang di mata kriteria mereka sempurna, atau setidaknya ideal, seperti cantik, mapan, dari keluarga baik-baik, dan sebangsanya. Bagi mereka, aneka kriteria itu bila dipenuhi akan bisa menjamin kebahagiaan bagi anak-anaknya.
Sejalan dengan harapan orang tua, kita sebagai anak pun tentu ingin bisa menjalani kehidupan yang bahagia setelah menikah, yang dengan demikian, kita pun akan berusaha mencari pasangan yang kita yakini bisa bahagia hidup bersamanya.
Baik orang tua maupun anak sama-sama punya pengharapan yang sama. Yang jadi persimpangan masalah adalah, kriteria orang tua dengan kriteria anak untuk meraih pengharapan yang diinginkan itu sering kali punya perbedaan yang sangat mendasar, bahkan cenderung kontradiktif.
Bagi banyak orang tua, kriteria ideal seorang menantu perempuan, misalnya ya itu tadi, cantik, mapan, dari keluarga baik-baik, kalem, dan sebangsanya. Sedangkan bagi si anak, kriteria pasangan yang pas itu ya yang penting bisa bikin nyaman, tak peduli fisik, keluarga, kemapanan, dan tetek bengek lainnya. Pada titik ini, anak memilih lebih menggunakan cinta dan naluri, sedangkan orang tua lebih menggunakan logika.
Nah, di bagian inilah, diperlukan lobi-lobi, bagaimana sampean meyakinkan orang tua sampean bahwa sampean merasa nyaman menjalani hidup dengan Ningrum. Yang perlu sampean katakan pertama adalah bahwa kebahagiaan bukan semata soal punya istri yang cantik. Lebih dari itu, sampean merasa bahagia jika punya istri yang bisa menyenangkan hati, yang bisa menjadi teman diskusi yang baik, yang bisa mengajarkan banyak hal baru. Dan itu bisa sampean temukan pada sosok Ningrum.
Tentu ini membutuhkan waktu dan akan sangat sulit. Tapi, yang jelas, pahamkan terlebih dahulu orang tua tentang konsep kebahagiaan yang sampean yakini.
Saya tidak bermaksud mendiskreditkan orang bertato, namun sejauh ini, pandangan banyak orang soal tato, terlebih pada perempuan memang masih sangat identik dengan pergaulan bebas. Kita tidak sedang berbicara soal seni, kuasa tubuh, dan lain sebagainya. Memang faktanya, tato pada perempuan memang masih dianggap tabu bagi banyak orang, utamanya orang tua. Barangkali itu pula yang menjadi pertimbangan orang tua sampean untuk meragukan Ningrum sebagai calon menantu yang baik dan pas.
Lagi-lagi, ini menjadi tugas sampean untuk meyakinkan orang tua sampean bahwa tato pada tubuh Ningrum bukan lantas berarti dia bukan perempuan baik-baik. Katakan pada orang tua sampean, bahwa sampean paham betul dengan kepribadian Ningrum yang baik, tulus, dan menarik. Kalau perlu, jadikan diri sampean sebagai tameng jaminan.
Saya jadi ingat dengan kisah Toto Muryadi atau yang lebih dikenal sebagai Tarzan (Srimulat). Dulu, banyak yang tidak tahu, bahwa dulu, sebelum menikahi Sulistina, istrinya, Tarzan hanya beberapa kali bertemu dengan Sulistina sebelum akhirnya memutuskan untuk menikahinya. Sehingga, ketika Tarzan meminta restu kepada orang tuanya untuk menikahi Sulistina, orang tua Tarzan tentu saja kaget, karena memang hal tersebut dirasa sangat mendadak.
Orang tua Tarzan kemudian bertanya sambil meyakinkan Tarzan akan niatannya itu. “Kamu yakin mau menikahi wanita itu? Kalau dia ternyata bukan wanita bener, bagaimana?”
Jawaban Tarzan taktis, “Kalau dia bukan wanita bener, ya biar saya yang benerin.”
Dalam posisi tersebut, Tarzan meyakinkan orang tuanya dengan menjadikan dirinya sebagai tameng. Dan hasilnya sukses.
Sampaikan pada orang tua sampean bahwa kekurangan fisik Ningrum bukan masalah bagi sampean. Sama halnya seperti Ningrum yang tak pernah mempermasalahkan fisik sampean yang sampean sendiri mengakuinya sebagai “ala kadarnya”.
Kalau perlu, katakan hal ini kepada ibu sampean, “Bu, tampang saya ini jauh dari ngganteng, saya pengin hidup ngrumangsani, nggak terlalu bernafsu untuk mencari istri yang cantik, saya cukup mencari yang bisa bikin saya nyaman, dan saya merasa Ningrumlah yang cocok untuk saya,” hal ini akan sedikit mengingatkan ibu sampean tentang menerima ketidaksempurnaan.
Selanjutnya, cobalah untuk menceritakan kepada ibu sampean tentang rencana hidup masa depan yang sudah sampean bangun bersama Ningrum, mulai dari perencanaan keuangan, karir, tempat tinggal, dan sebagainya. Hal ini tentu cukup memberikan pandangan pada ibu sampean bahwa sampean tidak hanya menjalin hubungan cinta buta yang hanya sesaat, tetapi hubungan cinta yang serius, yang langgeng, yang penuh komitmen.
Kemudian yang paling penting adalah, bangun kebersamaan antara Ningrum dengan orang tua sampean. Ajak Ningrum sering-sering main ke rumah. Perlihatkan betapa bahagianya dan nyamannya sampean bersama Ningrum.
Witing tresno jalaran soko kulino, begitupun dengan witing restu morotuwo, ia juga jalaran soko kulino.
Nah, Itu adalah selemah-lemahnya tips yang bisa saya berikan.
Apakah tips-tips di atas akan berhasil? Tentu saja tidak ada yang bisa menjamin. Sebab urusan saya hanya memberikan tips, urusan sampean adalah berusaha, sedangkan untuk hasilnya, itu urusan Tuhan.
Selamat berjuang, Mas Bambang. Saya berdoa kepada Tuhan, agar sampean dan Ningrum hidup bahagia. Entah bahagia karena hidup sebagai pasangan suami-istri, atau bahagia bersama istri dan suami masing-masing.
Sebab pada akhirnya, cinta itu soal perjuangan, bukan soal hasilnya.
~ Agus Mulyadi