MOJOK.CO – Seseorang bercerita tentang bapaknya yang jadi lebih mudah marah dan sensitif. Hal ini muncul sejak bapaknya akan pensiun dari pekerjaan yang dilakoninya selama 35 tahun.
TANYA
Halo, Mbak Au~
Perkenalkan, saya Siti, anak kedua dari seorang bapak dan seorang ibu yang (tadinya) hidup adem ayem dan bahagia-bahagia saja. Sayangnya, semua berubah sejak hampir setahun belakangan ini gara-gara sesuatu yang bahkan saya nggak tahu apa namanya.
Bapak saya adalah karyawan sebuah perusahaan selama lebih dari 35 tahun. Sepanjang waktu itu, bapak saya sudah mengalami kerja dengan metode sif-sifan hingga dengan jadwal normal pagi sampai sore.
Dalam dua bulan ke depan, bapak saya bakal pensiun. Artinya, beliau nggak akan lagi berangkat kerja setiap hari dan pulang sorenya, nggak akan lagi ngurusin urusan kantor yang hampir setiap tiga bulan ngadain family gathering, dan tentu saja nggak akan lagi secara teratur mendapatkan gaji bulanan.
Pensiunnya bapak sebenarnya hal yang melegakan bagi saya karena saya pikir bapak memang perlu istirahat, mengingat belakangan ini beliau cukup sering jatuh sakit karena kelelahan.
Tapi masalahnya, Mbak, bapak saya berubah jadi orang yang—duh, maaf, Pak—menyebalkan.
Sedikit-sedikit, bapak bakal ngambek kalau saya dianggap tidak mendengar omongannya, padahal saya cuma bilang, “Iya sebentar,” waktu saya disuruh makan. Ibu saya yang usianya lebih muda dari bapak dan masih bekerja juga terkena semprotan. Menurut bapak, ibu saya kayaknya nanti bakal nggak mau lagi mendengar omongan bapak karena masih bisa cari uang sendiri, sedangkan bapak sudah nggak punya gaji (tentu saja ini ditanggapi ibu dengan rasa kecewa—saya juga—karena ibu nggak mungkin cuma melihat bapak dari gaji, kan, Mbak?!).
Berkali-kali, bapak mengeluh bahwa dirinya bakal jadi orang yang nggak berguna dan nggak dianggap oleh kami. Berkali-kali juga, bapak marah-marah sendiri, bahkan pada hal kecil sekalipun.
Dimintai izin untuk pergi saja nggak langsung menjawab, tapi kalau kita langsung pergi, beliau langsung ngamuk setengah mati. Kalau dimintai tolong sesuatu, ya ampun Mbak, bapak bakal melakukannya dengan sangat lambaaaaat sekali, padahal bapak juga bakal marah luar biasa kalau kita klendat-klendet alias nggak cekat-ceket—duh apa sih bahasa Indonesianya? Ya itu lah pokoknya.
Jadi begitu, Mbak Au. Saya nggak tahu bapak saya sebenernya kenapa, tapi rasanya sungguh emosi sekali menghadapi beliau yang suka marah-marah sendiri dan merasa nggak berharga mendadak. Apa ini ada hubungannya dengan pensiun? Tapi, gimana bisa???
Terima kasih banyak sudah berkenan dibaca, Mbak Au. Semoga orang tua kita sehat selalu.
JAWAB
Hai Mbak Siti yang meski sedang merasa bingung, semoga juga dalam keadaan sehat di sana. Mbak, mungkin yang dialami oleh bapak sampeyan ini adalah perasaan tidak lagi berharga karena menghadapi masa pensiun. Bisa dikatakan, ini adalah salah satu siklus manusia yang wajar terjadi dan sangat manusiawi. Ya, bagaimana, tidak? Bayangkan saja, ketika hampir sepanjang hidup beliau berkutat dengan kesibukan pekerjaan. Eh, ujug-ujug akan kehilangan rutinitas tersebut. Tidak aneh jika kemudian muncul perasaan-perasaan tidak lagi menjadi manusia yang berharga. Seolah, pensiun adalah tanda bagi dirinya, telah dianggap sebagai manusia yang memasuki usia tidak produktif. Lantas, beliau merasa masuk dalam “golongan yang terbuang”.
Padahal, tentu saja tidak seperti itu, bukan? Namun, meyakinkan bapak kalau beliau tetap seberharga dulu—baik ada ataupun tidak ada pekerjaan, tentu tidak mudah. Pasti ada kesedihan dan pergolakan dalam diri beliau ketika menghadapi perbedaan rutinitas yang telah dijalani selama puluhan tahun. Yang mana, untuk mengembalikan kepercayaan diri beliau, tidak cukup dengan meyakinkannya sekali atau dua kali.
Oleh karenanya, perasaan sedih beliau ini tidak dapat diabaikan begitu saja. Saat ini, sepertinya beliau butuh aktivitas baru. Supaya perhatiannnya pada perasaan tidak berharga tersebut, dapat teralihkan. Supaya energinya yang saat ini digunakan untuk uring-uringan, juga dapat digunakan pada hal lainnya.
Terkadang, rutinitas juga membuat ilusi, yang bikin kita tidak merasa sendirian. Seolah, ada suatu hal yang bersedia menemani kita. Nah, saat si rutinitas puluhan tahun ini tiba-tiba pergi dari kehidupan keseharian, ada perasaan kehilangan. Semakin merasa ada yang hilang, saat beliau melihat orang-orang di sekitarnya tetap berkutat dengan aktivitasnya masing-masing. Beliau merasa ditinggalkan.
Mbak Siti, beliau hanya tidak ingin ditinggalkan. Oleh siapapun. Meski sebetulnya “soal ditinggalkan” itu hanyalah kekhawatiran dalam pikirannya yang terlalu kuat. Sekali lagi, bantulah beliau menemukan aktivitas barunya. Apa pun itu. Seperti aktivitas yang ringan dan santai namun tetap beliau sukai. Pasalnya, kalau tidak ada aktivitas pengalih, perasaan sensitif akan semakin kuat. Lantas, semua orang menjadi salah di matanya. Beliau marah pada “keadaan” yang telah menempatkannya tidak lagi masuk dalam usia kerja yang produktif.
Semangat Mbak Siti, semoga sampeyan dan keluarga juga cukup kuat dan sabar dalam menghadapi bapak yang saat ini sedang dalam masa-masa ingin mendapatkan perhatian penuh. Mungkin, ini juga kesempatan bagi sampeyan untuk memberikan lebih banyak waktu daripada biasanya buat beliau. Meski sekadar bercengkrama atau saling berbagi cerita.