Kalaulah ada yang mengusik keharmonisan rumah tangga Rambat dan Ratih, dia pastilah Eka, sosok pelakor terselubung yang secara halus telah merongrong kesetiaan Rambat kepada Ratih.
Rambat dan Ratih sudah menikah lima tahun lamanya, dari pernikahannya itu, mereka dikaruniai dua orang anak yang lucu. Anak pertama seorang laki-laki bernama Gagah, usianya tiga setengah tahun, sedangkan adiknya bernama Intan, usianya baru dua tahun.
Rumah tangga Rambat awalnya baik-baik saja. Rambat yang seorang guru di salah satu sekolah swasta benar-benar mampu mencukupi kebutuhan keluarga kecilnya dengan sangat baik walau gajinya tak terlalu besar. Begitu pula dengan Ratih yang senantiasa menjadi istri yang terampil dan tangkas dalam mengelola keuangan keluarga.
Rambat begitu mencintai Ratih sebagai seorang istri yang baik dan pengertian. Kesabaran, ketelatenan, dan kecakapan Ratih sebagai seorang pengatur rumah tangga membuat Rambat seakan tak ingin berpaling atau selingkuh kepada sosok lain.
Namun agaknya, pusaran waktu pulalah yang akhirnya mengubah semuanya. Perubahan itu hadir melalui sosok Eka.
Rambat dan Eka tak sengaja bertemu di sebuah acara bazar buku yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan. Kebetulan, Eka adalah salah satu penunggu stan buku di bazar tersebut. Saat itu, Rambat memang sedang mencari buku-buku penunjang sebagai tambahan materi mata pelajaran yang ia ampu, dan ternyata, ia menemukan buku yang ia cari di stand yang dijaga oleh Eka.
Pertemuan singkat itu rupanya berbuntut panjang. Keduanya semakin intens berkomunikasi, terlebih setelah keduanya tergabung bersama dalam grup wasap “Buku Sekolah” yang berisi orang-orang yang berkecimpung di dunia pendidikan dan buku pelajaran.
Awalnya hanya saling sapa di wasap, namun kemudian melebar menjadi ajang saling curhat yang kemudian berujung pada perselingkuhan.
Rambat memandang Eka sebagai pribadi yang pengertian dan cerdas, selain itu, ia bisa menemukan lawan diskusi seputar buku pelajaran pada sosok Eka, hal yang jelas tidak bisa ia temukan pada sosok Ratih. Usia keduanya yang tak berbeda jauh membuat mereka merasa punya frekuensi emosi yang klop dan seimbang.
Perselingkuhan itu terjadi begitu saja. Baik Rambat maupun Eka sama-sama menikmati. Mereka berdua biasanya bertemu di kafe tak jauh dari sekolah tempat Rambat mengajar dan kemudian menginap di hotel di seberang perpustakaan kota. Kadang, mereka janjian langsung di hotel tanpa harus bertemu di kafe terlebih dahulu.
Hubungan terlarang antara mereka berdua sudah berjalan sekitar lima bulan. Rambat menjaga betul hal ini, ia berusaha serapi dan sebersih mungkin dalam berhubungan dengan Eka, sehingga sampai lima bulan lamanya, Ratih istrinya sama sekali tidak curiga jika ia selingkuh.
Rambat biasanya menggunakan alibi rapat atau mengerjakan lemburan koreksi jawaban ujian sekolah saat ia harus pulang sampai malam.
“Maaf, menunggu agak lama, aku harus pulang dulu ke rumah supaya Ratih tidak curiga,” kata Rambat pada Eka suatu ketika, sesaat setelah ia masuk kamar hotel. Di hadapannya, Eka sudah menunggu dengan penuh harap.
“Iya, aku paham, aku memang bukan yang utama dalam hidupmu,” balas Eka.
“Bukan begitu, sayang. Bagaimanapun, Ratih masih tetap istriku,” kata Rambat berkelit, “Ia ibu dari anak-anakku.”
Eka hanya terdiam. Menatap Rambat dengan tatapan yang begitu sendu.
“Sudahlah, jangan bahas ini lagi. Sekarang, kita nikmati kebersamaan kita,” kata Rambat, mencoba memecah kesenduan pada mata Eka sembari memegang leher Eka yang lembut dan jenjang.
Eka menggeliat pelan, menutup matanya, dan mulai menikmati sentuhan-sentuhan yang mendarat di leher dan wajahnya.
“I love you, Mas,” bisik Eka
“Ya, I love you more than you love me,” balas Rambat juga sambil berbisik.
Rambat dan Eka kemudian langsung melepas pakaian masing-masing dan segera menjalani pergumulan seperti biasanya.
Satu jam mereka berdua larut dalam birahi. Sungguh kepuasan yang kemudian harus ditebus dengan letih dan lelah yang membuat mereka tertidur. Eka rebah di dada Rambat, sedangkan tangan Rambat diam dalam posisi membelai rambut Eka.
Di tengah tidur mereka yang jenak, bunyi dering ponsel Rambat meraung. Rambat terbangun dan segera memeriksa ponselnya dengan mata yang masih agak terpejam.
“Siapa?” Tanya Eka yang juga terbangun gara-gara suara dering ponsel Rambat itu.
“Istriku.”
“Ya sudah, angkat saja.”
Rambat kemudian mengangkat panggilan telepon tersebut dan berbicara dengan istrinya melalui ponsel.
“Ya, habis ini aku pulang, Mah. Ini masih di rumah Pak Hamdan, mencatat daftar buku pelajaran yang harus diajukan ke Ibu Kepala Sekolah,” ujar Rambat berdusta.
“Ya, aku tunggu ya, Mas,” jawab Ratih di seberang sana.
Rambat menutup telepon dan langsung bergegas mengambil pakaian dan mengenakannya. “Aku harus segera pulang. Ratih menungguku di rumah”
“Kalau begitu aku juga pulang,” kata Eka juga sambil bangkit dari tempat tidurnya.
“Ya, terserah apa maumu saja.”
Dengan penuh hangat dan cinta, Eka mendekati Rambat dan kemudian merapikan pakaiannya serta mengancingkan beberapa kancing baju yang belum sempat dikancingkan.
“Lusa kita ketemu lagi, kan?” kata Eka memastikan.
“Ya, tentu saja,” jawab Rambat mantap.
Setelah keduanya sama-sama rapi, mereka kemudian meninggalkan kamar hotel dan berjalan bersama menuju lobi untuk check out.
“Aku duluan, ya!” kata Rambat berpamitan kepada Eka yang sedang berdiri di depan meja resepsionis mengurus check out-nya.
“Hati-hati,” jawab Eka singkat.
“Oh ya, habis ini kamu mau ke mana?”
“Sama seperti dirimu.”
“Ke mana?”
“Menemui istriku.”