Rambat dan Sisca sudah menikah selama sepuluh tahun. Bukan waktu yang sebentar, tentu saja. Di usia pernikahannya yang sudah satu dekade itu, mereka berdua sudah dikaruniai tiga orang anak. Dua lelaki dan satu perempuan, masing-masing berusia 8, 6, dan 3 tahun.
Bagi banyak tetangganya, pasangan Rambat dan Sisca dikenal sebagai pasangan yang nyaris sempurna. Sudahlah ringan tangan, harmonis, guyub, sejahtera dan sentosa pula.
Rambat bekerja sebagai polisi berpangkat briptu, sedangkan Sisca bekerja di rumah jualan pancake durian secara online.
Dikenal sebagai keluarga yang adem-ayem oleh tetangga, bukan berarti tidak pernah ada masalah dalam rumah tangga Rambat dan Sisca. Maklum, menjalani hidup berumah tangga selama sepuluh tahun sudah barang tentu tidak akan luput dari masalah. Itu wajar. Pernikahan memang selalu dibangun oleh bumbu-bumbu pertengkaran. Beberapa kali Rambat dan Sisca terlibat pertengkaran-pertengkaran kecil. Namun, pertengkaran-pertengkaran itu selalu bisa diselesaikan dengan dingin dan keduanya kembali akur.
Rumah tangga yang menyenangkan ini terlihat sangat baik-baik saja keadannya. Hingga pada suatu ketika, muncullah polemik itu.
Belakangan ini Rambat mulai curiga dengan sikap Sisca yang mulai enggan diajak berhubungan badan. Semula Rambat menganggap ini semata persoalan tubuh Sisca saja yang mungkin sedang capai atau memang sedang agak tidak sehat. Namun, semakin hari, keengganan Sisca mulai menunjukkan tanda-tanda bahwa itu bukan sejenis keengganan yang disebabkan oleh tubuh yang capai.
Rambat curiga Sisca mempunyai PIL, Pria Idaman Lain. Kendati demikian, Rambat tidak pernah berani menuduh. Ia takut menyakiti hati Sisca. Bagaimanapun Rambat begitu menyayangi dan mencintai istrinya.
Namun, waktu agaknya mulai menunjukkan pembuktiannya. Kecurigaan Rambat mulai menemukan hasil. Secara tak sengaja ia menemukan kondom di tempat sampah di dapur rumah mereka.
Kecurigaan yang semakin terang benderang itu membuat Rambat berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya sedang merongrong keharmonisan rumah tangganya.
Kecurigaan Rambat akhirnya berbalas. Ia mendapat info dari Kusmiran, teman lamanya yang mengaku beberapa kali melihat Sisca bersama seorang pria di sebuah bar tak jauh dari tempat Kusmiran bekerja.
Rambat yakin bahwa pria itu adalah selingkuhan Sisca.
Tak pelak Rambat pun kecewa berat. Bagaimana tidak, kesetiaan dan kebaikannya ternyata dibalas pengkhianatan. Sungguhpun begitu, Rambat ternyata masih tetap tak berani membicarakan perihal perselingkuhan ini dengan Sisca.
Sebagai gantinya, Rambat bersikukuh akan melabrak si lelaki selingkuhan istrinya.
“Yakin kamu mau melabrak si lelaki itu?” tanya Kusmiran.
“Yakin, kalau perlu bukan hanya aku labrak, tapi aku bikin mampus sekalian,” jawab Rambat terbakar emosi yang meluap-luap. “Beri tahu aku biasanya jam berapa kau melihat istriku bersama si lelaki bajingan itu di bar,” lanjut Rambat.
Berbekal informasi dari Kusmiran, Rambat pun langsung mendatangi bar tempat Sisca biasa bertemu selingkuhannya. Agaknya ia serius ingin membikin mampus lelaki selingkuhan istrinya itu, sebab di saku jaketnya ia membawa serta revolver yang biasa ia pakai saat bertugas.
Sesampainya di bar, hasilnya nihil. Ia tidak menemukan Sisca di sana. Ia hanya menemukan kebisingan alunan musik DJ dengan sekira dua lusin pria yang duduk di kursinya masing-masing, beberapa di antaranya tampak begitu mabuk. Tak ada satu pun lelaki yang ia kenal.
Namun, akibat emosi yang sudah kadung memuncak, ditambah ia tak menemukan mangsa yang dicarinya, ia pun lantas meluapkan emosinya dengan menggebrak salah satu meja sembari berteriak “Hei, siapa lelaki di sini yang menjadi selingkuhannya Sisca?”
Seisi bar terenyak. Seluruh pandangan mata pengunjung mengarah ke Rambat.
“Jangan bikin ribut di sini. Lagian Sisca… Sisca siapa?” tanya salah seorang bartender sedikit emosi.
Rambat tak ingin mempermalukan dirinya sendiri sehingga ia menjawab bahwa Sisca bukanlah istrinya, melainkan istri sahabatnya.
“Sisca, dia istri sahabatku. Aku disuruh sahabatku itu untuk membunuh lelaki yang berani-beraninya main serong dengan istri sahabatku itu,” katanya sembari mengeluarkan sepucuk pistol revolver dari saku jaketnya.
Beberapa pengunjung langsung beringsut takut. Terlebih setelah mereka melihat emblem logo Polri di sarung pistol Rambat, hal yang kemudian membikin mereka yakin bahwa itu bukan pistol mainan. Bartender yang tadi tampak emosi dan berani sekarang mulai kelihatan pucat.
Di tengah situasi yang mencekam tersebut, tiba-tiba seorang pria maju mendekati Rambat. Agaknya ia mabuk karena langkahnya tak cukup kokoh untuk sekadar berdiri.
“Pak, apakah em… Sisca yang sampean maksud adalah Sisca yang em… punya rambut ikal sebahu, dengan tahi lalat kecil di dekat bibir sebelah, em… kanan?” Kata si pria mabuk dengan tempo yang begitu lambat.
“Ya, benar. Itu Sisca istri sahabatku,” jawab Rambat. “Kau tahu siapa lelaki selingkuhan si Sisca itu? Biar aku mampuskan sekarang juga, aku lubangi jidatnya pakai pistol ini,” kata Rambat sembari menunjukkan kembali pistol revolvernya.
“Memangnya em… berapa jumlah peluru yang ada di pistol sampean itu, Pak?”
“Enam.”
“Wah, kalau begitu em… sampean pulang saja, Pak,”
“Pulang? Memangnya kenapa?”
“Peluru sampean tidak cukup, Pak,” katanya polos dengan nada yang tetap seperti pemabuk.