Sudah dua tahun ini, Rambat dan Midah menjalani kehidupan rumah tangga. Keduanya sepakat menikah setelah tiga tahun lamanya berpacaran.
Rambat dan Midah adalah kawan satu organisasi, mereka berdua aktif di Karang Taruna. Rambat menjadi seksi bagian publikasi dan propaganda –atau lebih gampangnya, tukang fotocopy dan nempel selebaran– sedangkan Midah menjadi bendahara. Persentuhan, pertemuan, dan kebersamaan keduanya kerap terjadi lantaran bagian publikasi adalah salah satu bagian yang kerap berhubungan dengan uang.
Kebersamaan yang kerap terjalin membuat keduanya kemudian saling jatuh cinta. Keduanya berpacaran hingga kemudian memutuskan untuk menikah.
Rambat sebenarnya agak minder serta khawatir untuk menikah, alasannya simpel dan wagu. Ia minder karena nggak enak hati sama pasangannya sebab ia merasa ukuran burungnya terlalu kecil. Hal ini tentu murni perasaan Rambat saja, karena faktanya, ukuran burung Rambat sebenarnya adalah ukuran yang standar. Rambat menganggap ukuran burungnya kecil lebih dikarenakan ia terlalu banyak menonton video porno dan menjadikan ukuran burung para aktor yang bermain di video porno tersebut sebagai patokan ukuran ideal.
Karenanya, sebelum menikah, malu-malu ia bilang kepada Midah, “Dek, kamu yakin tetap mau menikah sama Mas? Aku takut kamu kecewa,” ujar Rambat sendu.
“Lho, kecewa kenapa, Mas? Aku sayang sama Mas, nggak ada alasan bagiku untuk kecewa jika harus menikah sama Mas,” jawab Midah mantap. Jawaban yang cukup bikin Rambat lega, walau ia masih tetap menyimpan kekhawatiran.
“Anu… Dek, ehmm, burungku ini…” kata Rambat sembari menunjuk arah di bawah perutnya, “tidak besar-besar amat, bahkan tergolong kecil.”
Midah terkekeh kecil, “Ya ampun, Mas… aku pikir apa. Itu bukan masalah buatku, Mas. Bagiku yang penting kita saling sayang. Mau ukuran besar pun, kalau memang tidak disertai cinta, percuma belaka.”
Rambat sumringah. Kekhawatirannya selama ini akhirnya teredam dengan sempurna. Ia makin mantap menikah dengan Midah, perempuan yang ia cintai, yang mau mengerti dengan segala keterbatasan dirinya.
Tepat setelah menikah, di malam pertama, Rambat tak canggung untuk membuka celana dan memperlihatkan burungnya kepada Midah.
“Ini punyaku, Dek. Kamu nggak kecewa, kan?” kata Rambat tepat setelah memelorotkan celana dalamnya.
Midah agak terkejut dengan pemandangan di depannya. Maklum, itu adalah kali pertama Midah melihat barang lelaki dewasa. Keterkejutan itu hanya bertahan beberapa saat, sebab setelah itu, Midah mulai bisa mengendalikan keadaan.
“Enggak bakal kecewa, Mas. Ukuranmu ini nggak kecil-kecil amat, kok” kata Midah membesarkan hati suami tercintanya.
Begitulah. Keduanya kemudian menuntaskan malam dengan pergumulan rohani dan kebahagiaan yang full, nggak setengah-setengah.
Setahun menikah, keluarga baru itu kemudian dikaruniai momongan. Seorang anak perempuan yang lucu dan menggemaskan, yang semakin membikin bahagia Rambat dan Midah.
Dua tahun berlalu dan Rambat sudah lupa dengan kekhawatiran soal ukuran burungnya yang kecil itu. Hingga kemudian, kekhawatiran itu muncul lagi. Sebabnya tak lain dan tak bukan adalah Sronto, sahabat karibnya satu kampung.
Kejadiannya bermula saat keduanya bekerja bersama sebagai laden tukang bangunan di sebuah proyek pembuatan ruko tak jauh dari rumah mereka.
Nah, saat istirahat rolasan, Rambat tanpa sengaja melihat burung Sronto yang sedang kencing tak jauh dari tempatnya ngaso. Rambat kaget dengan ukuran burung Sronto yang, bahkan saat tidak berdiri pun, terlihat sangat besar. Jika dibandingkan dengan ukuran burung miliknya, Rambat tentu saja kalah telak, sebab ukuran miliknya hanya setengah dari ukuran milik Sronto.
Ia kemudian bertanya-tanya kepada dirinya sendiri, apa benar selama ini Midah puas dan tidak kecewa dengan ukuran burung miliknya?
Kejadian singkat tersebut kemudian memunculkan tekad kuat pada diri Rambat untuk memperbesar ukuran burung miliknya. Dan tentu saja, sasaran konsultasi yang pertama dan utama adalah Sronto, si empunya burung besar yang membuat Rambat merasa inferior itu.
“To, aku nggak sengaja lihat burungmu kemarin pas kencing, dan aku kaget lho, ternyata burungmu itu gedhe juga ukurannya.”
Sronto tertawa dan kemudian pasang tampang jumawa. “Lha yo jelas gedhe, Srontoooo!” ujarnya meninggi. “Memangnya, punyamu nggak segedhe punyaku, po?”
“Enggak, mangkanya itu aku mau nanya sama kamu, gimana rahasianya biar bisa punya burung gedhe kayak punyamu itu.” Ujar Rambat serius.
Demi melihat raut wajah serius Rambat, Sronto yang tadinya cuwawakan pun kemudian menjadi ikut serius. “Jadi begini, Mbat…”
Rambat mulai memasang telinga baik-baik.
“Ini sebenarnya rahasia yang tidak pernah aku kasih tahu sama siapa pun, tapi karena kamu sebagai sahabat karibku, yang sudah banyak membantuku, maka aku rela untuk membagi rahasia ini sama kamu.”
Rambat sumringah, sebentar lagi, ia akan mendapatkan rahasia bagaimana cara punya burung yang mantap, “Wah, matur suwun, To. Apa rahasianya?” kata Rambat tak sabar.
“Rahasianya simpel, hanya dengan teknik sederhana. Jadi, setiap kali kamu mau main, cobalah untuk memukul-mukul burungmu secara perlahan dengan penggaris besi selama lima menit. Ingat, lima menit, jangan lama-lama. setelah itu, basahi burungmu dengan air, lalu urut perlahan selama satu menit. Lakukan teknik ini rutin, nanti kalau sudah dua atau tiga bulan, pasti akan terasa hasilnya.”
“Waaaaah, jadi itu rahasianya, To?”
“Iya, itu rahasianya. Itu teknik yang ampuh dan tokcer. Sampai sekarang, aku masih sering memukulkan penggaris ke burungku setiap kali aku mau main.”
Rambat pulang dengan wajah yang cerah. Ia sudah membayangkan betapa bahagiannya Midah nanti jika ukuran barangnya sudah sebesar ukuran barangnya Sronto.
Malam harinya, ketika Rambat dan Midah akan main, sesuai dengan arahan Sronto, Rambat langsung mengambil penggaris dan kemudian memukulkannya ke burung miliknya.
Midah yang melihat suaminya bukannya langsung naik ke kasur tapi malah sibuk memukul-mukul burungnya dengan penggaris kemudian menjadi jengkel. Hingga kemudian, keluarlah kalimat itu dari mulut Midah.
“Sudah sini, langsung naik kasur, jangan malah bertingkah aneh memukul-mukul burung pakai penggaris kayak si Sronto!”