Baca cerita sebelumnya di sini.
Koesnandar, Kepala Dinas Penanganan Bencana, butuh sedikitnya semenit untuk mencerna laporan anak buahnya yang mendapat laporan dari Polres Macomblang yang mendapat laporan dari Polsek Singagaluh yang mendapat laporan dari petugas keamanan yang berjaga di lapangan, bahwa telah terjadi bencana hujan pentol di acara orkes dangdut OM Tralala. Koes sempat berpikir anak buahnya guyon belaka. Tapi saat anak buahnya menunjukkan video kekacauan yang terjadi di depan panggung orkes, ia segera mengambil jaket dinasnya dan langsung berangkat ke lokasi. Masih sempat ia melirik foto almarhumah istrinya yang selalu ia letakkan di meja kecil dekat dipan di sebelah vandel penghargaan bertuliskan Di Sini Pernah Hidup dengan Penuh Dedikasi untuk Umat Manusia, Koes yang Suka Menolong. (Untuk cerita lebih lengkap kisah hidup Koes yang Suka Menolong, sila kontak narator sebelah. Tersedia dalam format pdf .red).
Saat Koes tiba di lapangan Singagaluh lewat tengah malam, hujan pentol telah reda. Keadaan benar-benar menyedihkan. Orkes Tralala telah selesai. Rampung sebelum waktunya. Beberapa orang tampak membereskan peralatan musik, menggulung kabel dan mengangkut sound system ke dalam mobil pick up tanpa banyak cakap. Meski pentol yang tercurah dari langit tetaplah pentol yang kenyal-kenyil, kebanyakan kanji ketimbang terigu dan daging giling, hujan makanan seperti ini adalah murni bencana. Apa penyebabnya? Wallahu’alam. Biarlah Badan Meteorologi dan Geofisika yang menjawab, ucap Koes kepada para wartawan. Ia juga demikian seperti nyaris semua pejabat di Endonesa Rata, “… kami tidak berwenang, kewenangan itu ada di dinas terkait.”
Tak jauh dari lapangan, mobil polisi dan ambulans terparkir. Saudagar paling kaya raya se-Singagaluh, Kaji Badrun, ditemukan tewas terpeleset pentol saat berlari menghindari derasnya hujan pentol. Ia jatuh tersungkur, kepalanya menghantam gunungan batu yang sedianya ditimbun untuk bahan pondasi rumah Fajar, anaknya, yang baru berumah tangga. Sesaat Koes kebingungan akan apa yang hendak ia tangani di sini. Belasan tahun ia berpengalaman mengevakuasi korban longsor dan banjir, tapi ini kali pertama ia mengurusi bencana yang menimbulkan berbagai macam dampak tak terbayangkan.
“Dari pendataan kami, tercatat satu orang tewas, lima orang pingsan, sembilan orang muntah-muntah, sebelas orang menangis sambil menyanyi, dua puluh satu orang hanya menatap kosong ke langit. Sisanya normal. Tidak ada kerusakan bangunan yang berarti Pak, kecuali genteng rumah penduduk sekitar lapangan yang perlu dibersihkan besok dan got yang mampat,” lapor anak buahnya yang paling teladan dan cekatan.
“Itu semua akibat pentol-pentol sialan ini?”
“Iya, Pak. Kebanyakan dari orang-orang ini mencoba memakan pentol yang jatuh dari langit dan ternyata punya dampak yang berbeda-beda. Apa yang sebaiknya kita lakukan sekarang, Pak?”
“Bawa yang muntah-muntah ke Puskesmas. Mereka keracunan. Yang menangis dan melamun biarkan saja dulu. Kita tunggu sejam-dua jam lagi, apakah mereka berangsur-angsur normal atau tidak.”
“Baik, Pak.”
Koes yang suka menolong lalu mendatangi Kapolsek Singagaluh yang saat itu tengah berbicara serius dengan rombongan OM Tralala. Pak Eko, pemilik orkes Tralala merasa hujan pentol adalah pertanda buruk di akhir tahun. “Pak, apa sebaiknya kita juga patut curiga pada persekutuan paranormal Macomblang? Saya rasa ada seorang dukun di daerah ini yang tidak suka dengan kesuksesan OM Tralala,” ujar Pak Eko nyaris berbisik. “Atau bisa jadi yang mengirim hujan pentol itu saingan bisnis Kaji Badrun,” ujarnya lagi.
Kapolsek Singagaluh hanya menampung kegelisahan Pak Eko tanpa menyanggupi menginvestigasi lebih lanjut para dukun yang dianggap berbahaya di Macomblang. Ia menoleh saat Koes datang. Wajahnya yang muram berangsur-angsur cerah melihat sosok pejabat tersebut. “Pak Koes, bagaimana ini? Pertanda akhir zaman terus menguat, ya. Saya sudah memanggil dokter dan psikiater untuk memeriksa mereka yang terus menangis dan melamun itu. Mungkin sebentar lagi mereka datang. Saya harap Pak Koes yang menangani lokasi ini sekarang. Saya perlu ke desa sebelah, ada kasus kematian yang tidak wajar. Warga bilang ada pemuda yang mati akibat overdosis ciu oplos autan, tapi ya, sebagai polisi, saya perlu mengecek langsung ke TKP. Sejak kapan orang Macomblang ngoplos ciu sama autan bisa mati? Mereka mati karena kebanyakan main togel!”
Koes manggut-manggut. Ia sebenarnya hendak mengucapkan sesuatu—sejenis pertanyaan sesama pejabat daerah yang bersimpati atas beban kerja yang saling dipikul masing-masing instansi Pemda. Tapi urung. Perhatiannya teralihkan oleh suara menyayat hati Lusiana Lapindara yang tengah menyanyikan Sayang dengan air mata dan lelehan ingus. Biduanita itu duduk di kursi plastik di pojok panggung. Ia dikelilingi beberapa orang yang sedari tadi gagal menghentikan nyanyiannya.
“Dia kenapa?”
“Kesurupan, Pak,” ujar Dodik, biduan pemuja Freddie Mercury.
“Gara-gara pentol?”
“Saya makan pentol juga, tapi tidak begitu.” Ada nada bangga terselip di sana. Dodik memang berbakat untuk jemawa pada hal-hal yang tak layak dibanggakan.
“Sudah, biarkan dulu dia menangis, biar puas. Nanti kalau kelelahan semoga dia lekas tertidur.”
Koes berlalu setelah memberi saran yang sangat ala kadarnya. Tak lupa ia menyuruh seseorang untuk menghapus air mata dan ingus Lusiana yang terus meleleh. Lalu Koes menghampiri Istiqomah Sativa. Gadis itu tengah goyang tremor di atas kursi plastik di belakang panggung sembari menangis dan menyanyi. Orang-orang yang mengerumuninya bilang bahwa Istiqomah menyanyikan lagu-lagu Oma Irama tanpa henti. Koes hanya berpesan, “Tolong kursi yang dinaiki Istiqomah terus dipegangi. Jangan sampai dia terjungkal dan patah tulang.”
Kemudian Koes mengecek kondisi para korban yang terbaring di antara becek lumpur dan pentol. Mereka dibaringkan berderet sedemikian rupa seperti ikan pindang. Jumlahnya dua puluh satu orang. Mereka tadinya adalah para penonton yang sibuk bergoyang, senggol-senggolan, dorong-dorongan, keplak-keplakan, kosek-kosekan, dan berhenti untuk makan pentol sebanyak-banyaknya. Kini mereka hanya bisa menatap langit dengan tubuh beku. Tak bergerak. Tak bersuara.
Koes garuk-garuk kepala. Bencana seperti ini pastilah sekali seumur hidup ia jumpai. Bahkan, ketika ia sempat bergabung dengan NASA di Operasi Pencegahan Teror Antariksa, ia tak menemukan gejala alam yang menyerupai hujan pentol ini dan menimbulkan bermacam-macam reaksi dari orang yang memakannya. (Untuk cerita lebih lengkap kisah hidup Koes yang Suka Menolong, sila kontak narator sebelah. Tersedia dalam format pdf .red).
Koes memutuskan menunggu dokter dan psikiater datang atau setidaknya menunggu sejam lagi, hingga kemungkinan terburuk ia memutuskan menggotong mereka yang masih menangis-menyanyi-bergoyang dan melamun-kaku itu ke rumah sakit. Tapi diam-diam ia juga tak yakin rumah sakit mampu menyembuhkan pasien semacam mereka kecuali mendiagnosa terus-menerus.
Koes menghampiri warung di seberang lapangan yang masih buka. Ia bermaksud memesan segelas kopi. Di sana ternyata penuh dengan kumpulan wartawan yang terus memantau kondisi terkini di lapangan. Beberapa di antaranya melakukan siaran langsung. Melihat Koes datang mereka segera mengerubungi pejabat tersebut. Koes hanya berdehem dan melambaikan tangannya ke kamera dengan air muka gusar. Lampu kamera menyorotnya dari berbagai penjuru.
“Jangan dulu. Jangan dulu! Sabar! Tunggu sejam lagi, nanti saya bicara.”
Buru-buru Koesnandar memesan segelas kopi panas. Lalu ia mengedarkan pandangan, mencari tempat yang cukup terlindung dari serbuan wartawan. Ia melihat sebuah bangku kayu di bawah pohon keres. Segera ia ke sana setelah mendapatkan kopinya.
“Pak… Pak Koes!”
Seseorang berlari menghampirinya. Koes yang sedang menyeberangi lapangan, menghentikan langkahnya. Ia menoleh dan hampir saja memaki tatkala seorang pria tua menyodorkan sekantung plastik pentol.
“Saya Kabul, Pak, pedagang pentol. Gara-gara hujan pentol, dagangan saya nggak laku. Monggo, Pak, dicemil. Masih hangat. Nggak beracun pula.”
“Oh, matursuwun, ya.”
“Sami-sami, Pak. Semoga bencana ini nggak terulang lagi. Bisa bangkrut nanti saya. Anak-anak itu tadi kalap ada hujan pentol, langsung diwadahi kresek. Kelakuan mereka, penadah pentol itu, sudah kayak warga yang rebutan daging kurban. Saya jadi heran sendiri. Hujan pentol saja girang bukan main, gimana hujan uang? Tapi kalau hujan uang, saya juga doyan, Pak!”
“Ya, ya, ya. Saya balik bertugas dulu, ya.”
“Monggo…”
Koesnandar melanjutkan perjalanan kembali menuju pohon keres. Ia membanting pantatnya ke kursi kayu yang kosong itu. Setelah merasa aman dari jarak radius sepuluh meter tak ada yang menginterupsi, ia menuang kopi yang masih mengepulkan asap di cawan bermotif kembang lalu menyeruputnya pelan-pelan.
“Bismillah dulu, Pak…”
Koesnandar nyaris tersedak. Ia menoleh. Di sebelahnya seorang pemuda berkupluk Bob Marley duduk memandanginya. “Apa? Mau pentol juga?” tanyanya galak.
Bob Marley menggeleng. “Tadi saya juga ditawari remaja naik Mio yang bawa pentol tiga kresek besar, saya tolak. Saya nggak suka pentol.”
“Ya, sudah kalau begitu. Jangan ganggu agenda ngopi saya. Ngopi itu harus khusyuk, biar saya bisa mikir lebih jernih.”
“Ngopi kok seperti ibadah. Tapi puas-puasin dulu-lah, Pak. Kalau sudah mati sudah nggak bisa makan pentol sama ngopi.”
“Ya, saya tahu,” ucap Koesnandar datar.
“Lho, Bapak tahu saya sudah mati?”
“Tahu-lah! Tapi saya tidak mau tahu kamu mati karena apa. Saya bosan disambati terus sama arwah gentayangan.”
“Saya nggak gentayangan!”
“Lah, ini?”
“Saya ke sini mau jemput teman saya, Ulid namanya. Tuh!” Bob Marley menunjuk salah satu korban hujan pentol yang masih berbaring kaku, tak bergerak. “Dia sahabat saya. Kanca Mati Urip Kothekan. Sahabat kental. Saya mau ngajak dia main biliar. Eh, sampai sini saya baru ingat kalau saya sudah mati. Mustahil saya main biliar lagi.”
“Terus kenapa kamu masih di sini? Sudah sana pulang! Sekarang keluargamu pasti sibuk mengurus pemakamanmu. Kamu masih baru mati, bukan? Berapa jam? Enam? Lima?”
“Nggak tahu berapa jam. Saya juga nggak tahu kenapa saya dibunuh.”
“Oh, korban pembunuhan, toh? Kok nggak ada luka bacok atau luka memar? Siapa yang membunuh?”
“Tidak tahu juga saya. Pak Tua bertato gitar yang ngaku-ngaku pernah mencoba membunuh Oma Irama itu yang membunuh saya. Mungkin hobinya membunuh kali, ya, Pak. Manusia memang macam-macam. Hobi bisa macam-macam pula. Saya curiga ikan pindang yang ia suguhkan ke saya sudah direndam sianida. Saya langsung terkapar. Nggak sempat bikin wasiat.”
“Mati muda begini mau bikin wasiat apa?”
“Saya mau titip istri saya ke Ulid. Saya tahu sejak di MTS, Qanaah—nama istri saya—sudah naksir Ulid dari dulu. Sayangnya, Ulid malah naksir Juwita, menantunya Kaji Badrun.”
“Ya, ya, ya, ya.” Koesnandar menguap lebar. Ia hapal tabiat para arwah gentayangan yang selama ini ia jumpai. Nyaris tak ada yang bisa melupakan masa lalu. Satu-satunya alasan mengapa ia masih saja meladeni obrolan-obrolan omong kosong dengan para arwah adalah setitik harapan dirinya akan mendengar kabar keadaan Asih di alam kubur. (Untuk cerita lebih lengkap kisah hidup Koes yang Suka Menolong, sila kontak narator sebelah. Tersedia dalam format pdf .red).
“Semakin lama bencana alam semakin aneh ya, Pak.”
“Hujan pentol ini maksudmu?”
Bob Marley mengangguk. “Saya tadinya tidak percaya ketika remaja tanggung yang cenglu—boncengan telu—naik Mio itu mengabarkan hujan pentol di Singagaluh. Saya kira mereka kebanyakan ngomix. Tapi ternyata sungguh benar-benar terjadi.”
“Ya, begitulah kuasa Ilahi. Tiada satu pun yang terjadi di dunia ini tanpa kehendak-Nya.”
“Kematian saya juga kehendak-Nya. Kematian Bob Marley, penyanyi reggae itu, kehendak-Nya. Kematian massal maupun kematian tunggal juga kehendak-Nya. Kematian orang biasa maupun orang penting juga kehendak-Nya. Kematian istri bapak juga—“
“Ancuuuk! Nggak usah bawa-bawa almarhumah istri saya! Dari mana kamu tahu saya… saya… kepikiran dia?”
“Barusan saya dibisiki jin yang suka nempel ke punggung Bapak.”
“Asu! Nggak ada sopan-sopannya anak buah.”
Bob Marley tertawa ngakak. “Mana ada sih, jin yang nggak tengil?”
“Ada. Pasti ada. Kamu kurang jauh mainnya.”
“Tapi Bapak belum tahu kan cara membuat para korban itu pulih lagi?”
“Tunggu…! Maksudmu ini ulah jin?”
“Siapa lagi…?”
“Beri tahu saya bagaimana caranya.”
“Di barat lapangan, tak jauh dari panggung orkes itu ada pohon jati yang keramat. Penunggunya ketua preman alam gaib Singagaluh. Dia marah lantaran Orkes Tralala tidak kulonuwun padanya. Ditambah dia memuja Fia Fallen, eh, tapi yang diundang malah Istiqomah Sativa dan Lusiana Lapindara. Ujung-ujungnya ngambek. Ketua preman kalau ngambek kan, bahaya.”
“Hadeeeh! Kelakuan mbah e! Dia minta apa sekarang?”
“Nanti malam—malam tahun baru, toh?”
“Ya, iya. Sekarang sudah tanggal tiga satu.”
“Dia minta OM Tralala orkes lagi dengan Fia Fallen.”
“Sempel! Permintaan macam apa itu! Duite mbah e!”
“Jin yang ngasih tahu saya juga prihatin. Itu sesajen yang bukan main susahnya. Tapi saya pikir, daripada dia minta didatangkan Oma Irama dan Soneta, ya mending Fia Fallen dan Moneta. Ya nggak, Pak?”
“Sama saja.”
“Nggak sama! Oma tuh politisi. Fia tuh seniman. Berbeda.”
“Kamu itu sudah mati. Jangan ngeyelan. Nggak baik. Oma memang politisi. Fia nantinya juga dibayar politisi buat kampanye. Mungkin tak lama lagi dia juga ditawari nyaleg dapil Macomblang. Tiada satu pun manusia di dunia ini yang puas dengan satu pencapaian. Termasuk seniman. Terima itu!”
“Selow, Pak. Nggak usah ngegas, lho.”
Koesnandar membuang muka. Ia teringat masa lalu yang jika saya ceritakan di sini terlalu melebar nantinya. Dengan kesal, Koes meneguk kopinya sampai tandas. Plastik bekas pentol ia kantongi di saku jaket dinasnya. Sekesal apa pun Koesnandar, ia tetaplah pejabat teladan. Anti buang sampah sembarangan. Dari kejauhan tampak mobil yang mengangkut dokter serta psikiater sudah datang. Ia segera bangkit dari duduknya dan melangkah ke arah parkiran mobil.
“Percuma, Pak! Mereka nggak akan pulih sebelum malam tahun baru. Kami tunggu Fia Fallen di sini Pak! Undang Inul juga, ya. Mari berdendang bersuka cita! Yang digoyang digoyang, Yang! Dang duut! Dang… duuut!”
Koesnandar tak memedulikan seruan Bob Marley yang semakin lama mirip orang teler. Menyanyi tidak karuan. Arwah yang baru gentayangan memang biasanya begitu. Caper—cari perhatian. Oleng sana-sini. Namun, dengan gerakan yang begitu berwibawa, Koesnandar melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Sebentar lagi Subuh. Tahun baru masih dua puluh jam lagi.
Baca cerita berikutnya di sini.