Bagi umat kristiani, atmosfer Desember sebagai bulan penutup berbeda dari sebelas bulan sebelumnya. Hari kelahiran Sang Agung pada tanggal 25 menjadi momen pesta perayaan besar-besaran maupun waktu untuk merenungkan kembali ajaran-ajaran-Nya.
Sesungguhnya, hari lahir adalah sesuatu yang biasa. Semua makhluk punya hari lahir. Tanggal 25 Desember menjadi berbeda karena peringatannya dimeriahkan berjuta-juta pengikut-Nya—sebagaimana agama lain memeriahkan hari lahir nabi-nabinya masing-masing.
Namun, meski hari lahir itu biasa, perayaan 25 Desember tidak biasa. Tidak ada tulisan selamat ulang tahun yang kesekian, misalnya. Atau ucapan happy birthday, selamat hari lahir, selamat hari netas, happy bornday, atau apa saja yang di-posting di akun media sosial si yang ulang tahun.
Untungnya, kita masih ingat ini ulang tahun keberapa karena sistem tahun Masehi berpatok pada kelahiran Sang Juru Selamat. Tapi, tetap saja tak ada yang bilang: selamat ulang tahun yang ke-2016! Hehehe.
Jika ucapan yang lumrah saja tidak ada, apalagi kekonyolan asyik ala anak muda yang baru ulang tahun ke-17, seperti mengikat orang di pohon, ditaburi tepung, lalu disuruh meniup lilin pada kue tart yang sudah disiapkan. Tentu saja, ini ulang tahun yang kedua ribu. Sudah cukup berumur, bukan remaja lagi.
Daripada memakai selamat ulang tahun atau happy birthday, kelahiran Yesus Kristus diselamati dengan ucapan yang khas dan hanya satu-satunya: Merry Christmas atau Selamat Natal. Perayaannya pun lain daripada ulang tahun orang kebanyakan.
Biasanya orang ulang tahun cukup diberi surprise cake di rumahnya sendiri, kantor, sekolah, atau di hotel jika ia sedikit kaya, atau malah tidak ada yang mengucapkan karena empunya ulang tahun pemalu dan tidak suka kasih tahu tanggal lahirnya. Sementara, ulang tahun Yesus Kristus dimeriahkan oleh segala jenis orang (tua-muda, kaya-miskin, sehat-sakit), di segala tempat (gereja, kampus, kampung, kota, rumah sakit, mal), dan dengan segala cara. Merangkai karangan bunga, memasang pohon cemara, membangun miniatur yang menggambarkan kelahiran Yesus, dan semacamnya.
Mengapa semangat merayakan hari lahir-Nya begitu luar biasa?
Di Indonesia misalnya, jika dibandingkan dengan agama Islam, Natal setara dengan Maulid Nabi Muhammad yang sama-sama memperingati kelahiran, sementara Paskah mirip Idul Fitri atau Idul Adha yang didahului dengan puasa dan kental dengan nuansa makan bersama. Tapi, mengapa hanya Natal yang menciptakan euforia sebesar Lebaran?
Saya mencoba mengira-ngira. Rasanya, kelahiran Sang Agung diperingati sedemikian meriah karena ini momen mengenang sejarah pembebasan manusia dari belenggu penindasan dan ketidakadilan. Ia membawa umatnya pada cara hidup baru, yakni hidup yang penuh kasih. Ia mengasihi mereka yang terpinggirkan, orang-orang kecil yang tidak mendapat tempat di mata masyarakat.
Bagaimana kasih Yesus kepada orang kecil tercermin dalam satu kisah populer di Injil Yohannes. Suatu ketika Yesus berhadapan dengan para ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang hendak menghukum seorang perempuan pelacur.
Mereka ingin merajam perempuan itu. Yesus kemudian berkata, “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu.” Pada akhirnya, Yesus membiarkan perempuan itu pergi tanpa tergores sedikit pun sembari berpesan, “Jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.”
Mengingat teladan Yesus akan keberpihakannya pada orang lemah, sayang sekali apabila Natal hanya menjadi momen orang berpesta penuh kemewahan. Menghabiskan uang untuk dekorasi gemerlap, topi Santa, pohon Natal, dan aneka kado.
Perayaan Natal jadi mengesampingkan inti perjalanan hidup Sang Agung yang dinatalkan. Meningkatnya kemiskinan dan kelaparan menandakan perjuangan-Nya makin dikesampingkan. Pejuang-pejuang yangberbuat seperti-Nya menjadi minoritas, kalah jumlah dibandingkan para pejuang gadungan yang memanfaatkan ajaran-Nya untuk kepentingan pribadi.
Perjuangan Sang Agung harus dilanjutkan dengan semangat sebesar semangat perayaan Natal. Bukankah sepanjang hidup-Nya ia telah berkorban untuk pembebasan manusia dari belenggu kemiskinan, kelaparan, ketidakadilan, bahkan sampai berkorban jiwa dan raga?
Bila perayaan Natal telah menjadi candu, harusnya itu candu untuk terus bekerja membebaskan manusia dari penindasan. Salam Natal, salam pembebasan 🙂