Sehari menjelang Idul Adha, ada begitu banyak kisah yang saya jumpai. Kisah pertama adalah tentang Cak Rusdi Mathari. O, tentu saja bukan kisah asmara. Masak baru pembukaan langsung ke inti soal.
Situsweb Republika memuat status Cak Rusdi, tentu dengan predikat yang sepatutnya kita sematkan di dirinya: Blogger Kondang. Mestinya, sih, Republika juga menyebut bahwa sosok yang statusnya dikutip lengkap ini juga seorang penulis dan wartawan. Bahkan sastrawan. Ya, mungkin tidak banyak yang tahu bahwa laki-laki dari Situbondo ini juga menulis puisi dan cerita pendek.
Saya tidak tahu bagaimana hukum tentang media yang memuat status seseorang. Terlebih untuk sebuah media massa sebesar Republika. Apakah Republika sebelumnya telah minta izin terlebih dulu atau tidak, itu bukan persoalan saya. Republika tentu jauh lebih baik daripada PKS Piyungan yang sering mengutip status orang tanpa izin. Tetapi, mengutip, lebih tepatnya mengutip secara keseluruhan sebuah status di Facebook, tentu membuat saya geleng-geleng kepala.
Kalau mau, Republika sebetulnya bisa meminta tulisan Cak Rusdi untuk dimuat dalam format esai mandiri. Bukan campuran yang tak jelas antara berita dan esai. Semoga saja Republika sudah meminta izin Cak Rusdi untuk mengutip utuh seluruh statusnya. Sebab jika belum, berarti sehari sebelum Hari Raya Kurban, Cak Rusdi rupanya sudah lebih dulu mengorbankan statusnya.
Belum tuntas soal korban-mengorbankan, eh, ternyata tepat di saat azan Isya bergema, seorang laki-laki flamboyan mengetuk pintu rumah saya. Baru saja saya bukakan pintu, Nody Arizona sudah mengeluarkan kegundahannya.
“Nggapleki, arek-e akhirnya pacaran, Mas…”
Saya masih belum ngeh dengan maksud kalimatnya.
“Kok ya tega-teganya dia, gak pakai ngomong sama saya, malah memajang status pacaran di Facebooknya.”
Oalah, saya akhirnya mulai paham. Salah satu gebetan Nody ternyata resmi punya pacar.
“Lha kok bisa dia pacaran sama orang lain, Nod? Bukannya dia runtang-runtungnya sama kamu?”
“Targetku sebenarnya sih enggak muluk-muluk, Mas. Dia kan pacaran paling hanya hari Sabtu malam. Sisanya kan bisa sama aku.”
Saya diam. Mencoba berempati.
“Kalau begini, ya sudah, mau bagaimana lagi…” ungkapnya seperti sedang ngobrol dengan diri sendiri sambil duduk di atas kursi batu, di teras rumah saya.
“Ya sudah, ayo kita makan malam. Besok Hari Raya Kurban. Jangan terlalu bersedih,” hibur saya.
“Iya, besok Hari Raya Korban. Malam ini aku sudah korban asmara, Mas…”
Saya yang awalnya ingin ikut berempati, malah akhirnya menahan tawa sendiri. Lalu kami berdua makan malam.
Saat makan malam, Nody tetap terlihat sedih. Saya tawari makan, dia hanya menggelengkan kepala sambil memesan minuman jeruk hangat.
“Tumben pesen jeruk anget, Nod?”
“Biar sekalian kecut hatiku, Mas…”
Mie rebus di mulut saya tiba-tiba seperti menolak untuk ditelan.
Usai makan, kami berdua bingung mau ke mana. Jalanan macet. Rombongan pawai takbiran begitu ramai. Saking bingungnya, akhirnya saya memberhentikan mobil di pinggir jalan. Tiba-tiba saya teringat sosok novelis Mahfud Ikhwan yang sohor itu. Segera saya telepon.
“Di mana, Fud?”
“Kenapa?” terdengar suara dari seberang malah bertanya balik.
“Lama enggak ketemu. Ngopi, yuk!“
“Aku lagi di kampung halaman. Merayakan Lebaran.”
Saya langsung lemas. Tapi untuk basa-basi, saya bertanya, “Menyembelih apa besok?”
“Nyembelih perasaan,” ungkapnya dengan suara datar. Saya langsung tertawa ngakak. Banyak sekali orang berkurban malam ini.
Akhirnya saya putuskan untuk main ke kantor Mojok. Di kantor itu ada Eddward Samadyo Kennedy, Azka, dan Arlian Buana. Azka adalah desainer visual yang sedang mengerjakan sampul buku ketiga Agus Mulyadi. Cocok ini. Lumayan punya teman menghabiskan malam.
Arlian tampak semringah. Sementara Eddward agak suntrut, meski ketampanannya tetap saja terpancar terang. Saya cek Twitter sebentar, pas di saat itu, mantan Arlian yang sepertinya sedang dalam proses balikan tengah berkicau: Alangkah bahagianya kalau nanti kita berdua bisa bersama menunaikan Lebaran Haji di Tanah Suci.
Subhanallah, seru saya dalam hati, sambil melirik Arlian yang tertawa sedang khusyuk menghadapi gawainya dan sesekali tertawa sendiri.
Wajah itu kontras dengan sosok yang persis di depannya: Eddward alias Edo alias Panjul.
“Enggak ke Solo, Njul?” tanya saya mencoba memecah beku.
“Enggak, Mas.” jawabnya begitu tenang, persis seperti seorang bangsawan.
“Lho, kamu enggak ngapelin cewekmu?”
“Enggak, Mas.”
“Sudah putus, kah?” tiba-tiba saya ingin tahu.
“Enggak, Mas.”
“Tapi masih pacaran, kan?”
“Enggak, Mas.”
“Lho, gimana sih, pacaran enggak, putus juga enggak. Kok enggak jelas?”
“Ya enggak perlu jelas, Mas. Di Idul Adha saja enggak jelas siapa sebetulnya yang disembelih, tetap saja ramai dirayakan.”
Lagi. Satu korban jatuh di malam ini. Tapi benar kata Panjul, tetap ada yang perlu dirayakan dan dihayati. Termasuk kisah asmara yang retak berkali-kali.
Selamat memperingati Hari Raya Idul Adha. Semoga semua yang kita korbankan makin berguna dan makin berharga. Juga rasa cinta. Tapi situ saja yang berkorban cinta. Saya cukup korban kambing saja.