MOJOK.CO – Messi meraih Ballon d’Or nomor enam miliknya. Sayang, di malam puncak anugerah yang terbaik di dunia, Ronaldo tidak ada di sana.
Untuk kali pertama sejak 2010, Cristiano Ronaldo tidak masuk dua besar calon pemenang Ballon d’Or. Catatan yang pasti membikin Ronaldo menggerutu itu bisa dibaca menggunakan dua sudut pandang.
Pertama, sebuah konsistensi yang luar biasa. ketika ada seorang pemain yang selalu bisa masuk dalam dua besar daftar calon pemenang Ballon d’Or setiap tahunnya. Pemain kedua yang mengganggu catatan itu, tentu saja, Lionel Messi. Kedua, tahun ini, terjadi penurunan performa yang terlalu signifikan untuk level Ronaldo.
Ronaldo bersama Real Madrid adalah sebuah dongeng tentang pahlawan “yang menentukan”. Hanya dengan “ada” di lapangan saja, Real Madrid menjadi tim yang berbeda. Ketika dibutuhkan, dia bersalin diri menjadi pahlawan yang semakin hebat. Dari winger penuh trik, berevolusi menjadi poacher paling mematikan.
Ronaldo bersama Juventus adalah kisah yang berbeda. Dia masih menjadi pahlawan. Namun, kini, dia bergelar pahlawan kampung. Menjadi kampiun di wilayahnya sendiri, yang mana perlu kita sepakati, Juventus masih terlalu digdaya untuk diganggu dominasinya. Ronaldo kini hanya “salah satu” pemain, bukan the one yang menentukan seperti dulu.
Maka menjadi masuk akal kalau tahun ini Lionel Messi tak terbantahkan untuk memenangi Ballon d’Or nomor enam miliknya. Jumlah enam piala Ballon d’Or menjadikan Messi sebagai pengumpul terbanyak. Unggul satu piala dari Ronaldo. Sudah bisa ditahbiskan kalau Messi menjadi the one, terbaik sepanjang massa?
Penurunan performa Ronaldo juga membuat masuknya Virgil van Dijk ke dua besar daftar calon pemenang Ballon d’Or menjadi masuk akal. Bek bongsor itu adalah kuncian Liverpool di Liga Champions musim lalu. Bersama Alisson Becker, van Dijk mencegah Liverpool mengulagi blunder-blunder yang sama.
Banyak yang ingin melihat van Dijk menjadi yang terbaik musim ini. Untuk alasan kebaruan saja dan memang dianggap pantas. Namun, sulit bagi seorang bek tengah untuk merusak dominasi Messi dan Ronaldo. Kecuali, van Dijk juara Piala Dunia bersama Belanda, yang mana itu sama-sama tidak masuk akal untuk saat ini.
Dulu, Fabio Cannavaro menjadi kejutan yang menyengkan ketika memenangi Ballon d’Or. Tidak ada yang menyangka bek Italia itu bisa mengungguli Zinedine Zidane. Cannavaro bisa diperhitungkan karena dia menjadi juara dunia bersama Italia pada tahun 2006. Bagaimana dengan Messi sendiri? Apakah memang pantas?
Salah satu narasi yang dengan sinis memandang kemenangan Messi adalah soal komersil saja. Menjual nama Messi membuat Ballon d’Or menjadi “lebih menarik” daripada van Dijk yang jadi juara. Bahkan kini Ballon d’Or sudah disebut sebagai Ballon d’Leo, mengambil nama panggilan pemain asal Argentina itu.
Namun, jika kita bisa sedikit adil melihat kontribusi Messi di atas lapangan, kemenangan ini menjadi “oke, boleh juga”. Sebelum memenangi Ballon d’Or, Messi sudah dinobatkan sebagai playmaker terbaik tahun 2019. Sudah jadi playmaker terbaik, dia juga menjadi pencetak gol terbanyak di Eropa tahun lalu, ditandai dengan gelar Sepatu Emas, dengan 37 gol.
Bagaimana bisa, seorang playmaker, menjadi pencetak gol terbanyak sekaligus. Tolong saya dikoreksi jika salah: belum ada pesepak bola, di sepanjang sejarah, seorang playmaker yang juga menjadi pencetak gol terbanyak. Apa yang bisa kamu tangkap dari catatan itu?
Bahwa Messi memang jantung dan otak Barcelona. Dia menggerakkan pemain sampai sejauh itu. Bukan hanya menggerakkan kawan, tetapi juga membuat lawan tidak bisa mencegahnya mencetak gol. Saya bukan pendukung Barcelona atau fans Messi secara khusus. Namun, jika pemain bisa menjadi playmaker sekaligus pencetak gol terbanyak, gelar apa yang pantas selain the best player in the world?
Satu lagi situasi yang penting untuk kamu pikirkan. Dulu, banyak yang mencibir gelar Ballon d’Or Messi karena dia ditemani oleh Xavi dan Iniesta. Kini, kedua maestro itu sudah tidak ada, tapi Messi tetap yang terbaik. Pemain yang bisa menjadi yang terbaik ketika dilatih Ernesto Valverde seharusnya cukup menjelaskan kualitas pemain itu.
Pinggirkan soal Ballon d’Or, sebuah gesture tak menyenangkan ditunjukkan Ronaldo. Luka Modrid, yang menyerahkan piala pemain terbaik kepada Messi berkata demikian: “Meskipun tidak menjadi pemenang, Ronaldo seharusnya ada di sini demi sebuah respect kepada yang lain.”
Betul, Ronaldo tidak datang di acara penganugerahan Ballon d’Or. Di barisan pertama, Messi ditemani van Dijk dan Robert Lewandowski. Padahal, di acara undian Liga Champions awal musim ini, Ronaldo memuji Messi dan diri sendiri setinggi langit.
“Kami sudah berbagi panggung ini selama 15 tahun, saya dan dia. Saya tidak tahu apakah yang seperti ini bisa terjadi lagi di sepak bola. Dua laki-laki yang di panggung yang sama untuk waktu yang lama. Tidak mudah bagi kami untuk bisa sampai pada titik ini…tentu saja saya rindu bermain di Spanyol. Kami pernah bertarung selama 15 tahun dan hal itu menjadi pendorong kami. Rasanya sangat bangga bisa menjadi bagian dari sejarah sepak bola, bagi saya dan dia tentu saja,” kata Ronaldo.
Messi, di sebelahnya hanya tersenyum saja mendengar kalimat Ronaldo. Namun, dari mata dan ekspresi Messi kita bisa menemukan kalau dirinya mengamini kalimat Ronaldo. Keduanya mewarnai dan memanaskan La Liga dan sejarah sepak bola itu sendiri.
Terberkatilah kamu semua yang menjadi saksi puncak performa Ronaldo dan Messi. Melihat keduanya saling mendorong menjadi yang terbaik. Menjadi dua pemain yang tidan akan bisa digapai oleh pemain lain. kini, keduanya tetap akan menjadi protagonis, untuk klub masing-masing. Saatnya dunia menyambut “yang terbaik” dalam sosok yang berbeda.
Sayang, di puncak penentuan yang terbaik di dunia, Ronaldo tidak datang. Tidak ada cinta dari narasi orang yang kalah. Bisa dimaklumi, meski menjadi sesuatu yang mengganjal dan tidak pada tempatnya.
BACA JUGA Ketika Lionel Messi Jauh Lebih Jago Ketimbang 11 Pemain Real Madrid atau tulisan Yamadipati Seno lainnya.