MOJOK.CO – Matthijs de Ligt menjadi salah satu komoditi panas di jendela transfer musim panas ini. Banderolnya mencapai 80 juta euro. Harga yang pantas? Atau terlalu mahal?
Kita semua merasakan sebuah perubahan di tahun 2016, ketika Manchester City membelanjakan 50 juta paun untuk membeli John Stones dari Everton. Lebih tepatnya Pep Guardiola yang “membeli” bek tengah asal Inggris tersebut. Ia ingin perubahan skuat, meski harus merogoh kantong dalam-dalam, tak mengapa.
John Stones termasuk ke dalam rombongan awal bek tengah modern yang mulai muncul di sepak bola Eropa, terutama di Inggris. Ketika banyak bek tengah di Inggris masih menganut mazhab lawas, John Stones datang dengan skillset yang baru. Fasih menguasai bola, jago umpan pendek, jago umpan vertikal, dan lain sebagainya.
Saat ini, meningkatnya kebutuhan akan bek modern seperti John Stones membuat harga bek tengah semakin tinggi. Wajar. Berbeda di tahun 2016 ketika Manchester City dianggap gegabah membakar uang hingga 50 juta paun untuk bek tengah yang, oleh media Inggris, dianggap cuma bisa mengumpan, tapi noob betul untuk tackling dan sledding. Well, begitulah media Inggris.
Stones langsung mendapatkan kritikan dari mantan pesepak bola generasi tradisional. Chris Sutton, lewat BT Sport, menyebut gaya bermain Stones terlalu mudah ditebak. “Jika ia tak pernah menendang bola jauh-jauh, maka striker lawan tahu ia akan melakukan semacam trik,” tegasnya.
Mungkin Sutton tak melihat dengan jelas bahwa supaya bek modern ini menemukan permainan terbaiknya, sebuah tim harus bagus secara struktur. Inilah yang membuat Guardiola tetap menaruh kepercayaan kepada Stones. Saat itu, Manchester City belum maksimal dalam kontrol ruang. Setidaknya belum mencapai “tim Guardiola” di Barcelona dan Bayern Munchen.
Oleh sebab itu, ketika Ajax Amsterdam menyematkan 80 juta euro di dada Matthijs de Ligt, kita semua memakluminya. Meroketnya harga pemain, yang pada awalnya dimaki-maki, kini dianggap biasa. Sesuatu yang menjadi kebiasaan, meski itu tidak sehat, akan dianggap sebagai “budaya”.
Namun, di sisi terdalam hatimu, apakah 80 juta euro itu sepadan untuk servis Matthijs de Ligt? Kamu harus tahu bahwa dia baru berusia 19 tahun. Berbeda dengan John Stones yang agak dimaafkan ketika hengkang di usia 21 tahun dan sudah punya pengalaman di sebuah liga yang diklaim sebagai yang terbaik di dunia.
Bagi saya, harga 80 juta euro untuk Matthijs de Ligt sangat sepadan. Bukan hanya karena kemampuannya di atas lapangan, tapi karena kematangan yang sudah ditunjukkan di usia yang bahkan belum genap 20 tahun.
Bagi pelatih sepak bola, di mana saja, mematangkan pemain muda itu sungguh sulit. Pemain muda tanpa komitmen akan dengan mudah dikikis oleh pengaruh buruk di sekitarnya. Ia akan menjadi seorang remaja pembangkang, mengalami nasib buruk, mungkin ditambah beberapa kali cedera, untuk kemudian matang di usia yang sudah terlambat.
Matthijs de Ligt, di usia 19 tahun, sudah paham betul dengan tanggung jawab. Paham betul dengan kultur yang ia hidup di Ajax. Ia menjadi kapten termuda bagi raksasa Belanda itu.
Dunia dibuat terkagum ketika Matthijs de Ligt membuka perayaan juara Ajax dengan sebuah pidato pendek yang memukau. Ia bilang:
“Yang paling penting adalah kita berhasil menunjukkan ke semua orang Ajax itu terbuat dari apa, kota macam apa Amsterdam itu. Kita berhasil menunjukkan kepada semua orang identitas kita, yaitu sepak bola menyerang! Kita berhasil menunjukkan kepada semua orang tentang cita-cita Johan Cruyff dan yang diharapkan dari kita. Kita melakukannya bersama-sama. Para pemain senior, pemain muda, semuanya, dan terutama para suporter: terima kasih untuk musim yang luar biasa ini!”
Usianya baru 19 tahun, Matthijs de Ligt sudah menunjukkan kualitas seorang jenderal perang yang pandai membakar semangat dan membagikan penghargaan setelah menang perang. Ucapan dan gesture di perayaan juara itu menunjukkan mental seorang pemain veteran. Sebuah atribut yang diingini semua klub besar yang punya duit.
Kemampuan dasar Matthijs de Ligt
Kamu sudah punya gambaran akan kemampuan Matthijs de Ligt di atas lapangan?
Jika memutar waktu ke belakang, pembaca pasti akan mendapati nama Franz Beckenbauer sebagai pionir bek modern. Sang Kaisar mempunyai prinsip bahwa bek tengah tak hanya berkaitan dengan menghentikan lawan supaya tidak masuk ke daerah berbahaya.
Sebagai seorang libero, seorang bek harus mampu membaca ide yang digelar lawan untuk menyerang. Ia akan mengamankan lini pertahanan, berani bergerak maju untuk memecah blok lawan di lapangan tengah, atau menjadi pemain tambahan di beberapa lokasi untuk kebutuhan overload lawan.
Bahkan, tak jarang seorang libero akan melepaskan umpan kunci, menciptakan peluang, hingga mencetak gol. Konsep bek modern seperti inilah yang semakin diminati. Mengapa?
Jawabannya adalah kontrol ruang. Bek tengah modern seperti Matthijs de Ligt diharapkan mampu terlibat lebih aktif dalam fase transisi menyerang. Lantaran sepak bola adalah soal kontrol ruang, maka, secara sederhana, sebuah tim yang mempunyai lebih banyak pemain di tengah atau depan akan lebih mampu menguasai alur pertandingan.
Tahukah pembaca, memasukkan banyak pemain di kotak penalti lawan dengan tempo yang tepat dan struktur yang terjaga adalah pekerjaan yang tidak mudah? Ide “mempunyai banyak pemain” di satu fase pertandingan adalah sebuah kemewahan yang selalu terus dicari.
Oleh sebab itu, demi kontrol ruang yang lebih baik, pelatih-pelatih seperti Pep Guardiola dan Jurgen Klopp selalu memastikan bek tengah yang mereka incar memenuhi kriteria bek modern di atas. Matthijs de Ligt jelas memenuhi.
Dahulu, Guardiola banyak dicibir setelah berusaha memboyong bek tengah pilihan ke-5 milik Bayern Munchen, Holger Badstuber dengan status pinjaman. Maklum, Badstuber lebih banyak menghabiskan waktu di ruang perawatan. Namun, Guardiola tetap berusaha mendatangkan bek asal Jerman tersebut.
Badstuber memenuhi kriteria sebagai bek modern. Mengapa Guardiola tidak mencoba mendatangkan rekan Badstuber di Bayern, Jerome Boateng? Sederhana jawabannya, karena Boateng dibanderol lebih mahal. Mantan pemain Manchester City tersebut merupakan bek modern dengan spesifikasi kemampuan yang membuatnya istimewa.
Boateng punya kemampuan menemukan kawan di daerah pertahanan lawan dalam sekejap. Ia punya kemampuan yang disebut sebagai laser pass. Ia seperti quearterback (QB) dalam American Football.
Kemampuan dasar Matthijs de Ligt inilah yang membuatnya semakin dekat dengan Barcelona. Ia sempat mengungkapkan keinginan untuk tetap bisa bermain dengan Frankie De Jong. Rekannya yang juga berasal dari Ajax itu sudah resmi menjadi pemain Barcelona. Dan cita-cita ini, diamini banyak orang.
Matthijs de Ligt akan menjadi penerus Gerard Pique paling ideal. Dan memang sudah betul, apabila Matthijs de Ligt pada akhirnya menolak pendekatan Manchester United. Pemain dengan kualitas seperti Matthijs de Ligt memang tidak boleh salah pilih klub. Ia tidak boleh bergabung dengan sebuah klub yang masih suram masa depannya.
Penurunan performa Manchester United dan hilangnya motivasi serta kebugaran beberapa pemain di akhir musim membuat banyak orang khawatir Matthijs de Ligt ikut kehilangan pesonanya.
Toh Manchester United memang hanya dimanfaatkan Mino Raiola, agen Matthijs de Ligt untuk menaikkan bargaining si pemain di mata Barcelona. Begitulah setan, bisa dimanfaatkan untuk menebalkan iman lewat menguji diri sendiri. Sudah betul, Matthijs de Ligt. Jangan sampai sesat dan ikut gerbong memalukan.