MOJOK.CO – Seperti kata Bambang Pamungkas, pemain timnas memang seperti serdadu. Meski menderita secara fisik dan batin, mereka akan tetap mengenakan kaos dengan lambang Garuda dan bendera Merah Putih dengan bangga.
Saya kehabisan kata-kata. Perbendaharaan kata saya tiba-tiba menyusut seiring habisnya waktu pertandingan timnas Indonesia vs Thailand.
Sebelumnya, saya sudah menyiapkan diri untuk melihat timnas kalah lagi. melawan Thailand, keyakinan untuk menang itu sangat kecil, jauh lebih kecil dibandingkan ketika timnas Indonesia melawan Malaysia. Meskipun hasilnya sama. Timnas Indonesia kalah di dua laga perdana kualifikasi Piala Dunia 2022.
Namun, saya tidak mengira bakal seburuk ini. Menonton timnas Indonesia selalu menghadirkan gairah tersendiri. Meski sudah berkali-kali dikecewakan, keinginan untuk mengintip mereka bermain lagi selalu hadir. Sama seperti mendukung dan menonton Arsenal di “zaman kegelapan”, ketika lini depan diisi Marouane Chamakh dan Nicklas Bendtner.
Ada banyak unsur penyebab kekalahan timnas. Dari sisi teknis saja timnas Indonesia sudah tertinggal jauh dari Thailand. Betul, terlalu jauh menjadikan Thailand sebagai patokan. Garuda kini hanya bisa dibandingkan dengan Laos, Kamboja, dan Timor Leste. Tidak adil buat Thailand kalau membandingkan mereka dengan penampilan timnas Indonesia.
Ketika kalah dari Malaysia, salah satu masalah yang mengemuka adalah soal ketahanan fisik pemain. Sebuah masalah yang juga terlihat ketika melawan Thailand tentu saja. ketika kaki sudah sangat berat, pemain sepak bola cenderung tidak bisa berpikir jernih.
Apalagi dalam keadaan tertinggal. Pemain dengan mudah melupakan cara bermain paling ideal. Misalnya ketika ketinggalan dari Thailand, fisik sudah tipis, pemain timnas kembali ke kebiasaan lama: bermain bola jauh sesering mungkin.
Kenapa fisik pemain-pemain Indonesia begitu buruk? Selepas laga melawan Malaysia, pelatih timnas, Simon McMenemy curhat di hadapan awak media. Pelatih muda berusia 41 tahun itu mengeluhkan jadwal Liga Indonesia yang sangat keterlaluan. Jadwal yang super padat itu membuat fisik pemain menjadi tidak maksimal.
Saya mendukung curhatan Simon, sekaligus heran. Heran, kenapa Simon tidak protes secara resmi jauh-jauh hari sebelum Liga Indonesia sepak mula. Sebelum liga bergulir, jadwal sudah keluar. Banyak orang yang berteriak heran dengan padatnya jadwal. Lantas, mengapa Simon tidak ikut memprotesnya secara resmi?
Ingat, secara resmi, bukan dengan mengaduh di depan awak media saja. Beliau adalah pelatih timnas, “ujung” dari segala pembinaan dan kompetisi yang diputar oleh PSSI dan operator liga. Toh kalau timnas kalahan, yang akan disalahkan tentu Simon dan PSSI.
Keheranan kedua saya adalah para pemain Indonesia yang “sunyi” melihat padatnya jadwal. Sejauh yang saya tahu, tidak ada pemain profesional yang bermain di Indonesia, yang protes ketika jadwal keluar. Salah kalau berharap kepada APPI (Asosiasi Pemain Profesional Indonesia) untuk protes. APPI hanya muncul ketika ada pesepak bola yang cedera parah. Mereka muncul untuk menunjukkan keprihatinan. Mana keprihatinan mereka untuk gaji yang tak terbayar?
Ketika berusaha mencari tahu bentuk protes pemain profesional atas padatnya jadwal, saya menemukan tulisan lawas dari Bambang Pamungkas. Sebuah tulisan berjudul “Serdadu dan Narapidana” itu sudah berusia 10 tahun.
Lewat tulisannya, Bambang Pamungkas bercerita soal dinamika menjadi pemain timnas. Jauh dari keluarga, dicaci ketika kalah, dan lain sebagainya. Bambang mengibaratkan pemain timnas yang susah ini sebagai seorang serdadu. Begini dia menulis:
“Mengapa saya ibaratkan diri kami seperti “Serdadu dan Narapidana”. (Serdadu) Karena kami adalah tentara paling depan yang berjuang untuk membela nama persepakbolaan Indonesia, walaupun dengan persenjataan yang kadang minim (sistem/iklim kompetisi yang tidak kondusif). Dan ketika kami gagal, masyarakat tidak akan pernah mau tahu, yang mereka tahu hanya kami adalah para pesakitan perang yang pantas untuk dicaci-maki, tanpa mau tahu titik permasalahan yang sebenarnya, layaknya seorang (Narapidana) yang diseret ke balik terali besi.”
“Bagi kami para pemain, mungkin hal tersebut sudah menjadi sebuah konsekuensi profesi yang kami sudah pahami sejak lama. Akan tetapi bagi keluarga kami hal tersebut terkadang sedikit sulit untuk diterima, dan tidak jarang menimbulkan rasa frustasi. Namun pada akhirnya kecintaan terhadap profesi, tanggung jawab, serta kebanggaan atas nama panggilan negara membuat kami selalu bertahan di garis depan untuk berjuang.”
Ini tulisan 10 tahun yang lalu, tetapi masih terasa kebenarannya hingga saat ini. Terutama di bagian iklim kompetisi yang tidak sehat. Hebatnya sepak bola Indonesia. Sangat teguh. Sangat teguh menjaga keburukan.
Bagian “serdadu” pun masih sangat kontekstual. Terutama setelah menyaksikan dua kekalahan memalukan timnas dari Malaysia dan Thailand. Selayaknya serdadu yang baik, mereka “diam dan patuh”. Yang mereka suarakan hanya soal penyesalan dan permintaan maaf karena sudah mengecewakan bangsa untuk kesekian kali.
Saya heran. Heran, karena seharusnya “para serdadu” ini yang merasakan langsung betapa menyiksanya jadwal Liga Indonesia. Suporter boleh dan bisa protes, klub bisa dan boleh protes, dan PSSI sekalian operatornya bergeming.
PSSI dan operator liga tahu suporter akan tetap kembali ke stadion untuk “beribadah”, melupakan protes. PSSI dan operator liga juga tahu klub akan kembali diam ketika kompetisi mulai. Klub tentu tak mau kena denda, terancam kehilangan pemasukan dari tiket jika mogok main, dan terancam tak mendapat pemasukan dari hak siar.
Maka, yang mampu memberikan pukulan paling telak kepada PSSI dan operator adalah “para serdadu”. Para pemain yang merasakan lansung tubuh mereka dikoyak oleh penjadwalan yang tidak manusiawi.
Saya tahu. Saya sedang menyodorkan tawaran yang sangat berat. Para pemain ini menggantungkan hidup mereka kepada sepak bola. Jika mogok, bukan hanya gaji yang akan seret, tetapi kontrak profesional mereka yang akan terancam. Namun, tanpa suara keras dari pemain, protes suporter dan klub tak akan punya gaung.
Seperti kata Bambang Pamungkas, pemain timnas memang seperti serdadu. Meski menderita secara fisik dan batin, mereka akan tetap mengenakan kaos dengan lambang Garuda dan bendera Merah Putih dengan bangga. Meski kaki-kaki mereka kepayahan dihajar kompetisi yang tidak manusiawi, meski mereka tahu caci maki sudah menanti.
BACA JUGA Menghitung Kekayaan Bambang Pamungkas, Legenda Persija dan Timnas Indonesia atau tulisan Yamadipati Seno lainnya.