MOJOK.CO – Cristiano Ronaldo sudah melepaskan 23 tembakan ke arah gawang namun nihil gol. Apakah Juventini harus khawatir? Mojok Institute membantu menjawab: Tidak!
Setelah 23 kali percobaan tembakan ke gawang, masih belum ada kejayaan bagi Cristiano Ronaldo di Juventus. Datang sebagai superstar, sebagai legenda dua klub sekaligus, ekspektasi di pundak Ronaldo nampak nyata. Besar, berat, dan awet. Setelah 23 kali percobaan tembakan ke gawang, ia masih mandul. Belum ada gol yang bisa dirayakan secara histeris.
Ronaldo pernah menjadi kreator di awal kariernya. Seiring waktu, kapten Portugal itu menemukan jati dirinya di dalam kotak penalti. Tiga musim terakhir bersama Real Madrid menjadi musim penegasan itu. Baik di La Liga, maupun di Liga Champions, sentuhannya di dalam kotak penalti adalah sentuhan kepastian.
Total, ia mencetak 450 gol untuk Madrid. Sebuah catatan yang memastikan Ronaldo menjadi pemain tersubur sepanjang sejarah klub asal ibu kota Spanyol tersebut. Melebihi Eusebio Di Francesco dan Raul Gonzalez. Kesuburannya berperan sangat besar kepada tiga trofi Liga Champions Madrid untuk tiga musim terakhir.
Ia yang dahulu dikenal sebagai winger penuh akselerasi dan trik, berevolusi menjadi predator kotak penalti. Sangat efektif, sangat efisien. Sentuhannya menjadi sebuah kepastian. Proses membangun itu menjadi meyakinkan. Rekan-rekannya membangun pola, Ronaldo yang menyempurnakannya.
Situasi terasa berbeda setelah ia berseragam Juventus. Atau, mungkin kita saja yang terlalu tidak sabar melihatnya rajin mencetak gol bagi Juventus? Status sebagai legenda itu membuat banyak orang menjadi buta dan menisbikan sebuah proses adaptasi. Padahal, proses adaptasi ini begitu krusial.
Bagi jemari kaki Ronaldo, tanah Italia terasa berbeda. Rumput lapangan juga berbeda, cara orang Italia berpikir berbeda, cara bermain di Serie A berbeda, bahkan menu makanan pun berbeda jika dibandingkan dengan Spanyol. Kultur itu sebuah tembok yang perlu dilompati sebelum menemukan kepastian diri di tengah nuansa yang baru.
Bicara cara dan ide bermain, antara Italia dan Spanyol jelas berbeda. Seharusnya fakta ini tidak perlu lagi diperdebatkan. Nah, kalau sudah sampai di sini, pertanyaan adalah mengapa Ronaldo bisa begitu subur di Spanyol? Kita bicara fakta untuk mencari jawaban mandulnya Ronaldo di tiga laga awal bersama Juventus.
Mario Costagena, jurnalis AS membuat sebuah hitung-hitungan menarik. Musim lalu, sekitar 75 persen gol Ronaldo berawal dari first touch (sentuhan pertama terhadap bola ketika menerima umpan). Persentase tersebut ingin berkata bahwa 17 dari 25 gol Ronaldo berasal dari dalam kotak penalti. Sangat efisien. Kemampuan ini membuat Ronaldo disamakan dengan legenda Madrid lainnya, Hugo Sanchez, yang pada musim 1988/89 mencetak semua golnya lewat first touch.
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas perihal efektivitas Ronaldo, silakan tonton video di bawah ini:
https://youtu.be/-2YMZ_2dqhU
ketika melihat video di atas, tentu kamu akan bertanya-tanya, bukankah cara bermain tim itu sangat menentukan proses gol Ronaldo? Betul sekali. Sistem Zinedine Zidane membantu mantan pemain Manchester United itu menemukan sentuhan terbaiknya. Ronaldo penyerang utama? Tidak juga, karena lebih sering bermain dengan Karim Benzema setelah Gareth Bale lebih banyak cedera.
Benzema adalah salah satu striker cerdas di dunia. Ia begitu pandai membuka dan mencari ruang untuk memudahkan rekannya bekerja. Benzema banyak melakukan rotasi posisi dengan Ronaldo. Benzema bergeser ke kiri untuk menarik bek lawan, lalu Ronaldo masuk ke kotak penalti untuk memanfaatkan celah yang dibuka itu. Sederhana sekali. Namun efektif memaksimalkan kemampuan penyerang.
Situasi berbeda ketika ia bermain bersama Mario Mandzukic di Juventus. Saya tidak bilang kalau Mandzukic penyerang yang lebih buruk ketimbang Benzema. Hanya saja, kebiasaan dan cara berpikir kedua pemain tersebut jelas berbeda. Meskipun Mandzukic pernah dimainkan sebagai wide target man (ujung tombak yang banyak bermain di sisi lapangan) ketika Gonzalo Higuain masih ada, bermain bersama Ronaldo perlu penyesuaian lagi.
Bersama Juventus, Ronaldo tidak banyak mendapatkan kesempatan menyentuh bola di dalam kotak penalti. Jika melihat peta tembakan yang ia lepaskan, rata-rata dilakukan di dekat garis kotak penalti atau bahkan dari luar. Pun jika ia mendapatkan momentum di dalam kotak penalti, Ronaldo tidak bisa seleluasa di La Liga karena sempitnya ruang dan waktu untuk melepas tembakan.
Argumen ini senada dengan pendapat Alessandro Del Piero bahwa di Italia, tim-tim bertahan dengan keunggulan jumlah pemain dan situasi akan menjadi rumit bagi penyerang. Pendapat Del Piero diperkuat oleh argumen Roberto Mancini bahwa di Serie A, lawan akan lebih banyak bertahan di area sendiri. Oleh sebab itu, masuk akal apabila waktu adaptasi Ronaldo akan cukup panjang.
Hal yang sama dialami oleh penyerang-penyerang legendaris lainnya ketika mereka memulai karier di Italia. Mulai dari Marco van Basten hingga Zlatan Ibrahimovic.
Marco van Basten adalah salah satu striker paling efektif yang pernah dimiliki AC Milan. Kali pertama datang di Italia, kakinya banyak diterjang pemain lawan. Fisiknya lembek dan mandul. Arrigo Sacchi merekonstruksi ulang van Basten. Fisiknya diperkuat. Teknik finishing-nya diperbaiki. Van Basten tak lagi sering memamerkan trik seperti di Eredivisie. Ia menjadi sangat pragmatis. Hajar bola ke arah gawang ketika mendapat kesempatan. Sederhana.
Kisah Ibrahimovic juga tidak berbeda. Ketika awal bergabung bersama Juventus, ia berlatih terpisah dengan pemain-pemain lainnya, menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengasah teknik menedang bola. Ketika ditanya sebabnya, Fabio Capello berkata bahwa yang bisa Ibra lakukan hanyalah memecahkan kaca gym dengan bola. Ibra tidak bisa menendang bola dengan benar kata Capello. Padahal, bersama Ajax Amsterdam, Ibra adalah salah satu penyerang terbaik di Liga Belanda. Capello menghilangkan nuansa Ajax dalam diri Ibra, dan berhasil.
Ronaldo sudah punya bekal efektivitas ketika mendapatkan kesempatan. Ini semua hanya soal waktu saja. Ketika ia mendapatkan sentuhan untuk mengakali pertahanan tim-tim Italia yang liat, gol-gol itu akan datang dengan sendirinya.
Toh sebetulnya Juventus tidak perlu khawatir. Ada tren menarik dari tim-tim juara liga belakangan ini. Perlu kamu ketahui, tidak semua pemenang liga punya pencetak gol terbanyak. Dari lima liga besar di Eropa, hanya dua yang mengirim penyerangnya menjadi pencetak gol terbanyak.
Liga Inggris juaranya Manchester City, pencetak gol terbanyak Mohamed Salah dari Liverpool. Serie A, juara Juventus, pencetak gol terbanyak Ciro Immobile dan Mauro Icardi, Eredivisie Belanda, juara PSV, pencetak gol terbanyak dari AZ Alkmaar. Hanya La Liga (Barcelona) dan Ligue 1 (PSG) yang punya pencetak gol terbanyak dari klub juara. Kamu pasti paham alasannya, bukan?
Jadi, meskipun jumlah gol Ronaldo musim ini tidak begitu mewah, katakanlah 15 gol saja, yang justru menarik adalah seberapa penting gol tersebut bagi Juventus. Yang paling penting adalah gelar juara. Mencetak banyak gol memang bagus, tetapi jika tim kamu tidak bisa bertahan, gelar juara pasti akan jauh dari genggaman. Coba kamu tanya ke Liverpool dan Tottenham Hotspur musim lalu.
Konsistensi yang akan banyak berbicara ketika seorang pemain berkarier di Serie A. Keras, Serie A itu keras, biar Ronaldo saja yang memikirkannya, kamu cukup mendukung. Tentu saja kalau kamu fans Juventus yang jernih pikirannya.