Segala sesuatunya seperti terjadi di waktu yang keliru. Ketika netizen Indonesia sedang giat-giatnya membahas ormas-ormas pengemis THR dan anjloknya pengetahuan bangsa kita sampai ke level Gaj Ahmada, hati para milanisti dirobek-robek oleh Mino Raiola dan Gianluigi Donnarumma.
Ditolaknya tawaran kontrak baru AC Milan oleh Donnarumma adalah surat putus cinta dari sang pujaan, kepada semua pecintanya: para milanisti sedunia. Tentu ini bukan kabar yang gampang diterima. Sebagian pihak masih menganggap ini pengalihan isu terbongkarnya sejarah Kesultanan Islam Majapahit.
Mari kita kenang perasaan para milanisti sekitar dua tahun lalu.
AC Milan, yang pernah begitu ditakuti di ajang Liga Champions, menyambut musim 2015/2016 dengan skuad berkualitas ecek-ecek. Tak ada yang bisa dirayakan dari tim tersebut. Hingga mendadak muncul bocah 16 tahun menyelamatkan gawang mereka: Gianluigi Donnarumma!
Pemain yang ditempa dan besar di AC Milan memang bukan cuma Gigio, panggilan Donnarumma. Di antaranya ada Franco Baresi, Paolo Maldini, Alessandro Costacurta, dan Demetrio Albertini. Tapi Gigio istimewa. Ia dipilih langsung oleh takdir.
Bayangkan, Maldini dalam debutnya pada 1985 ditemani para senior sekelas Franco Baresi dan Mauro Tassotti. Sementara dalam skuad Milan di musim 2015/2016, tak ada pemain yang betul-betul bisa diandalkan. Mendadak Gigio muncul dan seolah langsung memikul beban sendirian di usia 16 tahun.
Wajarlah kalau cinta para milanisti dari Kutub Utara sampai Kutub Selatan langsung diborong kiper belia tersebut. Hati mereka makin berbunga-bunga melihat Milan sekarang sudah mulai berani belanja besar untuk membangun klub. Masa jaya, bersamaan dengan saat ban kapten membebat lengan Gigio, sudah di pelupuk mata. Romantis .…
Yang tak pernah betul-betul diantisipasi para milanisti adalah sosok di belakang kiper kelahiran Castellammare di Stabia tersebut: Mino Raiola.
Raiola adalah satu dari dua agen super di dunia. Satunya lagi adalah Jorge Mendes yang lebih dulu naik daun. Keduanya punya pendekatan yang berbeda sama sekali dalam mendapatkan keuntungan besar buat kliennya. Mendes kelihatan kalem dan lebih memilih stabilitas karier para pemainnya. Selama karier, duit dan kebahagiaan pemainnya terjamin, semua bisa berjalan seperti biasa.
Sementara Raiola suka kebisingan dan plot yang dinamis untuk keuntungan kliennya. Pria yang tinggal di Monako ini senang membuat klub-klub besar kelihatan tidak berdaya di hadapannya. Ia melabrak batas-batas konvensi hubungan agen-pemain-klub, untuk mendefinisikan ulang garis singgung antara profesionalitas dan loyalitas.
Semua orang tahu Raiola doyan cari gara-gara. Tapi kehadirannya seperti baru disadari oleh milanisti beberapa bulan lalu, ketika ia menyatakan Gigio tak mau buru-buru teken kontrak.
Seandainya sejak kemunculan Raiola para milanisti sudah bersiap, lebih ikhlas tentang nasib Gigio, tentu rasanya nggak bakal sakit kayak sekarang.
Raiola ini, entah bagaimana, punya jurus hebat dalam memengaruhi cara berpikir pemain. Sekasar apa pun yang dikatakan Raiola kepada klub, para pemainnya tampak senang-senang saja.
Simak bagaimana ia menangani ramainya sorotan media terhadap proses panjang transfer Paul Pogba awal musim lalu: Ia berendam dengan nyaman seperti kodok malas, ketika semua orang berisik membicarakan Pogba.
Hal sama terjadi dalam kasus Gigio.
Orang-orang mengingat Baresi dan Maldini ketika menyimak perkembangan kontrak remaja ini. Maklum, AC Milan dikenal punya tradisi yang kental dengan nilai-nilai loyalitas. Tapi semuanya seperti tak berbekas dalam diri Gigio, akibat pergaulan bebas dengan Mino Raiola.
Awal musim lalu, di tengah proses tranfer Paul Pogba, barangkali banyak milanisti ikut ketawa melihat Mino Raiola dibayar besar buat mengencingi Manchester United. Kali ini giliran mereka merasakan saktinya air kencing Raiola.