MOJOK.CO – Apakah doa fans-fans sengit dan teraniaya sudah cukup untuk menjegal lari Liverpool menjadi juara Liga Inggris setelah puasa berabad-abad?
Setelah Manchester United mengalahkan Manchester City, lini massa saya malah ramai oleh celotehan fans Liverpool. Apa pasal?
Berkat kekalahan dari United, saat ini City sudah tertinggal 14 poin dari Liverpool. Semakin memprihatinkan lantaran mereka harus turun ke posisi tiga, disalip Leicester City. Sementara itu, sudah terbentang jarak antara delapan poin antara Leicester dengan Liverpool. Bukan jarak yang pendek, tetapi sulit untuk disalip jika mempertimbangkan banyak aspek.
Salah satu celotehan fans Liverpool yang kebetulan lewat bunyinya, kira-kira, demikian: “Makasih ya MU. Kalian udah bantuin ngepel jalan Liverpool menuju juara.” Kalimat yang sangat sengit.
Namun, fans MU membalas tak kalah sengit. Kira-kira begini: “Jangan sombong, lu. Mau juara aja masih dibantuin. Gue doain nggak jadi juara lu. Biar nggak bisa sombong nanti.” Balasan yang tidak kalah sengit.
Balasan fans Manchester United disambut riuh rendah fans klub lain. Banyak yang tumben setuju dengan fans MU karena biasanya mereka yang menjadi musuh bersama. Banyak fans Chelsea, City, Arsenal, bahkan fans klub dari negara lain yang ikut nimbrung mendoakan Liverpool gagal juara. Tapi maaf, fans Tottenham nggak kelihatan. Mereka lagi sibuk menghitung recehan medioker yang sudah ditabung berdekade-dekade.
Apakah doa fans yang sengit itu akan terkabul? Mareka sih yakin Liverpool akan gagal. Jiwa dan DNA terpeleset seperti sudah terpatri di dalam sel-sel mereka. Ya pemain, ya klub. Selama dua abad lebih hanya sekadar “nyaris” dan “tahun depan akan menjadi milik kita”. Ini saya nggak ikutan sengit ya. Cuma memaparkan fakta aja. Kecuali soal dua abad. Itu namanya pemanis kalimat. Heuheuheu….
Apakah doa itu akan berhasil? Seperti yang saya sampaikan di atas, kemungkinan Liverpool tersusul oleh Leicester atau City jelas ada. Namun, persentasenya sangat kecil. Ada beberapa aspek yang mungkin membuat Tuhan sulit mengabulkan doa sekumpulan fans sengit itu.
Konsistensi Liverpool itu dasar banget
Tidak ada tim juara yang tidak konsisten. Rumus sederhana untuk memenangi kompetisi panjang adalah konsisten. Tidak ada yang lain. Setidaknya, selama lima musim melatih Liverpool, Jurgen Klopp sudah menemukan titik konsistensi itu.
Konsisten klub dibangun oleh konsisten para pemain. Sebagai contoh bisa kamu perhatikan betul performa dua bek sayap mereka, Trent Alexander-Arnold dan Andrew Robertson. Bagi saya, mereka adalah duet bek sayap terbaik di dunia saat ini. Menggeser Dani Carvajal dan Marcelo, dua bek sayap milik Real Madrid.
Konsisten Alenxander-Arnold dan Robertson juga terlihat dari banyaknya asis yang mereka buat. Trent sudah membuat enam asis, sementara Robertson lima buah. Keduanya cuma kalah dari Kevin De Bruyne, Son Heung-Min, dan David Silva. Tiga pemain yang bermain di lini tengah dan depan.
Satu pertanyaan penting untuk mengawal poin ini: “Bisakah mereka konsisten sampai akhir musim?”
Salah satu cara menjawab pertanyaan di atas adalah dengan menonton kembali laga Liverpool vs Everton. Bermain dengan beberapa pemain cadangan, The Reds bisa mempertahankan level tinggi. Divock Origi, Adam Lallana, dan Xherdan Shaqiri dipuji Klopp habis-habisan. Ketiganya bisa memenuhi tanggung jawab ketika mendapatkan kesempatan bermain.
The Reds membutuhkan semua pemain untuk tampil prima. Pun ketika nanti jika mereka berbelanja di Januari 2020. Pemain baru yang datang perlu tahu standar untuk menjadi juara: cepat beradaptasi dan konsisten.
Liverpool punya solusi
Seperti kepompong menjadi kupu-kupu, Liverpool sudah melewati fase metamorfosis. Mereka menjadi semacam alat pressing terbaik di Liga Inggris. Namun, sekarang ini, mereka nggak cuma bisa pressing saja. The Reds sudah berubah menjadi tim yang berani “bermain dalam kubangan lumpur”.
Mereka boleh bermain jelek, tapi selalu menang. Mereka bisa menanggalkan usaha bermain cantik demi sebuah kemenangan. Tidak bisa dimungkiri, di sepak bola, sebuah tim harus punya cara untuk bermain lebih pragmatis. Tanpa kemampuan itu, mereka tidak akan punya solusi ketika menemui lawan-lawan tertentu.
Bermain buruk tapi menang itu tidak selalu berkaitan dengan keberuntungan. Ia adalah hasil kerja keras. Hasil usaha sekuat tenaga untuk mengangkat kaki yang terbenam di dalam lumpur.
Kamu tahu babi? Binatang menggemaskan yang dagingnya begitu luhur lebih enak ketimbang sapi–tentunya bagi kamu semua non-muslim–itu suka betul bermain lumpur. Ia mencintai keburukan, menjadikannya habitatnya.
Namun, di balik kekotoran dan kekacauan, daging babi begitu gurih, bisa dimasak dengan berbagai rupa teknik, dan kandungan kolesterolnya di bawah daging sapi. Di balik kekacauan, ada kenikmatan.
Ketika Liverpool bisa menjadi “babi”–maksud saya bisa beradaptasi dengan buruknya pertandingan berjalan, tidak ada yang bisa menghalangi mereka untuk juara. Ya tentu saja, kecuali, Tuhan YME. Siapa tahu Tuhan “bercanda” dengan bikin van Dijk kepleset kayak Steven G.
Begitulah, mempertimbangkan dua aspek itu saja, saya rasa doa fans yang teraniaya sulit terwujud. Kecuali, ya kita tahu hidup ini penuh dengan kekuatan-kekuatan misterius. Siapa tahu ada yang iseng menjegal langkah Liverpool menjadi juara. Jika kegagalan itu terjadi (lagi), saya tidak bisa membayangkan betapa puasanya wajah-wajah fans United,
BACA JUGA Liverpool x Manchester City: Seperti “Babi”, Liverpool Mulai Menikmati Main Lumpur atau tulisan Yamadipati Seno lainnya.