MOJOK.CO – Kenapa Liverpool bisa secara tiba-tiba menyelam ke habitat medioker? Mari sini, silakan disimak dongeng saya tentang klub medioker ini.
All jokes aside. Pertanyaannya, apakah Liverpool benar-benar dalam krisis? Banyak orang akan langsung mengangguk dengan penuh semangat. Misalnya fans Manchester United. Namun, pada titik tertentu, kata krisis itu terlalu fantasi karena semuanya hanya soal periode saja.
Ada jenis periode yang terbayang di dalam kepala saya. Pertama, jenis periode untuk klub-klub yang memang terlalu dominan. Kedua, jenis periode untuk klub yang akan selalu menderita setiap beberapa musim untuk kemudian menjadi kuat di sebuah (bisa dua atau tiga) musim.
Maksudnya begini. Untuk jenis pertama, contoh yang paling pas adalah Bayern Munchen di Bundesliga. Kok bisa begitu? Bukankah mereka hampir selalu dominan setiap musimnya? Ya memang, karena periode buruk mereka hanya berjalan dalam rentang beberapa pekan saja.
Kalau kamu mencermati Bundesliga, Bayern tidak langsung dominan sejak awal musim. Mereka seperti kendaraan perang dengan mesin diesel. Ketika sudah panas, biasanya akan sulit dikejar. Misalnya musim ini, ketika mereka belum menemukan titik panas ideal, meskipun sudah menjadi pemuncak klasemen.
Nah, untuk jenis kedua, contohnya ada banyak. Misalnya Liverpool, Manchester City, Manchester United, Arsenal, Chelsea, Inter, AC Milan, Juventus, dan semua klub yang membutuhkan waktu untuk mencapai titik dominasi. Jika bagian “titik dominasi” terlalu tinggi untuk dibayangkan, kamu bisa menggantinya dengan “konsistensi”.
Liverpool dan periode menjadi medioker
Mengapa periode ini bisa terjadi ke banyak klub? Ada beberapa faktor yang saya bayangkan.
Pertama, ada suatu saat di mana revolusi skuat terjadi. Ketika periode ini hadir, sebuah klub ternyata belum siap. Misalnya periode awal Pep Guardiola bersama Manchester City. Pep dan manajemen harus membuang banyak pemain yang tidak akan mengangkat performa tim.
Contoh yang paling kentara adalah Arsenal setelah pindah stadion. Revolusi skuat terjadi terlalu lama, bahkan belum usai hingga sekarang. Arsenal yang pernah dominan di Liga Inggris, kehilangan periode terbaiknya karena revolusi skuat. City bisa melewati periode ini dengan cepat karena kekuatan duit minyak. Berbeda kasus dengan Arsenal yang mengandalkan stabilitas keuangan secara mandiri. Prosesnya lebih makan waktu.
Saya rasa, periode ini baru masuk bagian prolog untuk Liverpool. Jurgen Klopp membangun ulang skuat Liverpool sejak, katakanlah, musim 2015/2016. Bongkar dan pasang skuat terjadi hingga titik ideal tercapai di dua musim terakhir, ketika mereka menjadi juara Liga Champions dan Liga Inggris.
Saya merasa di akhir musim nanti, Liverpool akan menemui banyak masalah. Virgil van Dijk sudah bisa kembali. Namun, sembuh dari cedera parah pengaruhnya tentu berbeda untuk atlet dan bakul gorengan, misalnya. Level van Dijk sudah tidak akan lagi sama.
Jika Liverpool gagal lolos ke Liga Champions musim depan, terbuka kemungkinan beberapa bintang mereka akan hengkang. Mo Salah dan Sadio Mane adalah dua pemain yang bakal laku menjadi bahan gosip transfer musim panas.
Ketika Liverpool membeli Diogo Jota, saya curiga Klopp sudah ancang-ancang membuang bintang-bintang yang sudah berumur. Bahkan mungkin sudah mencapai titik jenuh. Klopp sudah tahu bahwa proyek pemain di sepak bola modern, paling lama cuma bertahan empat musim.
Perubahan skuat dengan datangnya Thiago Alcantara juga mengubah wajah Liverpool. Saya belum berani menegaskan apakah Thiago adalah pembelian yang gagal. Kenapa begitu? Karena jangan-jangan Klopp memang ingin mengubah cara bermain anak asuhnya, yang mana membutuhkan pemain khusus di sana.
Faktor kedua yang membuat klub terjerumus dalam habitat medioker adalah perubahan cara bermain. Untuk faktor ini, lagi-lagi, Arsenal adalah contoh bagus untuk Liverpool.
Ketika masih bermain di Highbury, Arsenal sangat kuat di fase transisi menyerang. Sebagai tim dengan corak counter-based, Arsenal mendulang banyak keuntungan dari kecepatan dan kecerdasan para pemainnya untuk membuka ruang di sepertiga akhir lapangan.
Ketika bedol desa ke Emirates, Arsenal bersalin muka menjadi tim dengan corak possession-based. Sebuah tim yang lebih banyak menguasai bola. saya curiga, saat itu, Arsene Wenger terinspirasi oleh dominasi Barcelona di Eropa berkat positional play yang diterapkan Guardiola.
Perubahan cara bermain, ditambah komposisi pemain yang tidak seimbang, plus harus terus berubah demi kesehatan keuangan membuat Arsenal tertinggal dari rival. Di mata saya, Liverpool tengah berada dalam periode yang sama. Ke depan, bisa menjadi lebih baik, atau lebih medioker. Semuanya bisa terjadi.
Tesis yang sama juga terjadi kepada Manchester United. Pensiunnya Sir Alex Ferguson tidak hanya melunturkan kekuatan mental United, tetapi juga kecerdasan memilih cara bermain.
Sir Alex sering dianggap bukan pelatih yang kaya taktik. Beliau adalah sosok pelatih yang lebih mengedepankan bravery and gallantry. Namun, anggapan itu tidak sepenuhnya benar. Sir Alex cukup fleksibel dengan taktik. Dia tidak saklek dengan 4-4-2. Tidak percaya? Ya terserah. Saya malas menjelaskan.
Intinya, bersama David Moyes, Louis van Gaal, hingga Jose Mourinho, United malah kehilangan keluwesan bertarung. Nah, Liverpool tengah memasuki periode ini ketika Klopp mengubah pendekatan. Celakanya, perubahan cara bermain justru membuat Liverpool menyelam dalam habitat para medioker.
Melihat beberapa pemain yang dibeli sejak Takumi Minamino, saya sudah curiga Klopp tengah membangun periode baru. Masalahnya, terkadang, semua terasa seperti taruhan. Satu kali menembak dua nomor, si penjudi langsung mujur. Lima kali menebak ekor, si penjudi pulang cuma pakai kolor.
Klopp membangun ulang skuat Liverpool yang lama sekali berkubang di kolam medioker. Dia menginjeksikan cara bermain yang betul-betul baru. Dan akhirnya sukses di dua musim terakhir. Oleh sebab itu, untuk melewati periode yang tak bisa dihindari ini, sebaiknya Liverpool tidak mengganti pelatih.
Inilah faktor ketiga yang bikin klub terjebak periode medioker dalam waktu lama. Terlalu cepat mengganti dan salah memilih pelatih risikonya besar. United adalah contohnya. Baru musim ini saja, setelah pembelian pemain yang jitu, United kembali (agak) konsisten.
Salah memilih pelatih? Ada Arsenal, Barcelona, Chelsea, Inter, dan AC Milan, adalah contoh terbaik untuk Liverpool. Tepat memilih pelatih? Bayern contohnya. Kalau medioker sejati? Tentu cuma Tottenham Hotspur. No debat.
Yah, tulisan ini cuma tesis belaka. Bisa jadi Liverpool jadi jelek hanya karena faktor badai cedera saja. Bisa jadi juga karena karma Mo Salah yang suka nari balet di tengah lapangan. Kamu mau menyalahkan Jokowi pun boleh saja. Padahal hanya di era Jokowi, Liverpool bisa juara Liga Inggris. Suka-suka kamu saja.
BACA JUGA Dari Rachel Vennya Kita Belajar Bahwa Liverpool Sudah Salah Beli Thiago, Seharusnya Beli Lord Jesse Lingard dan tulisan Yamadipati Seno lainnya.