MOJOK.CO – Francesco Totti adalah sosok yang sederhana. Bagi dirinya AS Roma bukan semata “beton dan uang”. Bagi Totti, AS Roma adalah sebenar-benarnya rumah.
Sebuah klub punya banyak cara untuk menghormati legendanya. Arsenal membangun sebuah patung untuk Toni Adams dan Thierry Henry. Real Madrid menamai stadionnya Santiago Bernabeu. Sementara itu, banyak klub memberi pekerjaan bagi para legenda setelah mereka pensiun. AS Roma, menjadikan Francesco Totti sebagai Direktur Teknik.
Memberi pekerjaan adalah sebuah usaha untuk tetap menjaga sang legenda tetap dekat dengan klub. Karisma dan pengalaman sang legenda, diharapkan tetap hidup di dalam klub. Diharapkan pula, sang legenda yang dekat dengan para pemain, bisa menjadi inspirasi. Menjadi sosok patron yang “dilihat kembali” ketika para pemain kehilangan gairah untuk berjuang.
Memberi pekerjaan adalah satu hal, tapi melibatkannya ke dalam kehidupan klub, termasuk pengambilan keputusan adalah hal yang berbeda. Apalagi ketika klub tersebut sudah tidak lagi sama, seperti ketika sang legenda awal bergabung atau masih bermain. Sering terjadi, sang legenda hanya menjadi “pajangan”. Sebuah ironi yang terjadi kepada Francesco Totti.
Setelah memutuskan gantung sepetu, Francesco Totti menyambut tawaran AS Roma dengan gembira. Ia menerima tawaran bekerja sebagai Direktur Teknik pada tahun 2017. Namun, yang terjadi kemudian hanya kekecewaan. Pemain asal Roma itu merasa tidak pernah dianggap, tidak pernah dilibatkan di dalam proses pengambilan keputusan. Suaranya pun tak pernah didengar oleh manajemen.
Kecewa berat, Francesco Totti memutuskan untuk mundur. Yang disayangkan oleh banyak orang adalah er Purpone meninggalkan AS Roma dengan nuansa pahit yang tertinggal di bibir. Kepada jurnalis, secara sangat terbuka, ia mengakui kalau AS Roma sudah mengecewakan dirinya. Kalimat yang ia susun seperti berteriak bahwa keluarga terkasih sudah mengkhianati dirinya.
“Saya tidak pernah punya kesempatan untuk mengekspresikan diri. Mereka tidak pernah melibatkan saya (terkait kebijakan klub). Mereka itu tahu kalau saya siap memberikan segalanya untuk skuat ini, tapi mereka tak pernah ingin saya terlibat. Mereka menjauhkan saya dari semua kebijakan. Inilah hari di mana saya berharap tidak pernah menerima tawaran mereka,” ungkap Francesco Totti kepada Guardian.
Sebagai Direktur Teknik, satu-satunya pelatih yang ia sarankan untuk menggantikan Claudio Ranieri (yang menjabat sebagai pelatih sementara) adalah Antonio Conte. Francesco Totti bahkan menghubungi Conte secara langsung. Conte, yang pernah melatih Juventus, sudah sepakat untuk melatih AS Roma untuk musim depan.
Namun, manajemen tidak mendengarkan sarannya. Alih-alih merekrut Conte secara resmi, manajemen AS Roma mempekerjakan Paulo Fonseca. Sebelum klub resmi mengumumkan perekrutan Fonseca, Conte diresmikan oleh Inter Milan. Sebuah kekecewaan tergambar dengan jelas di kalimat Totti. “Satu-satunya pelatih yang saya hubungi adalah Conte.”
Banyak yang menyayangkan Francesco Totti terlalu vokal. Ia dianggap sudah melukai citra klub. Jika kamu hanya melihatnya dari kaca mata “profesional”, memang, Totti sudah terlalu dalam menusuk Roma. Namun, bagi er Purpone, AS Roma tak pernah bermakna “beton dan uang” saja. Bagi dirinya, klub ini adalah keluarga. Dan bagi orang Italia, keluarga adalah segalanya.
Francesco Totti yang naif, tapi cinta mati
Francesco Totti adalah sosok yang sederhana. Ia terlahir dari keluarga sepak bola, pendukung AS Roma. Maka, saat AC Milan datang ketika Totti masih remaja, keluarga tak pikir dua kali untuk menolak tawaran itu. Pun ketika ia sudah dewasa dan matang, Real Madrid ditampik begitu saja. Diajak makan bersama pun tidak. Padahal, di tradisi Italia, tamu yang dihormati selalu diajak makan bersama keluarga besar.
Begitu naif dan polosnya Totti tergambar dari caranya merespons lelucon yang diciptakan untuk dirinya. Sebetulnya, banyak lelucon itu dibuat untuk menghina kenaifannya, bahkan kebodohannya.
Zen RS, dalam sebuah tulisannya yang berjudul “Francesco Totti dan Tawa yang Membebaskan Kita” menulis demikian, saya kutipkan secara utuh untuk memberikan gambaran nyata:
“Dalam sebuah buku berjudul This is Not the End of the Book, yang memuat percakapan antara Jean-Claude Carriare dan Umberto Eco (seorang novelis dan pemikir semiotika dari Italia), terdapat sebuah bab berjudul “Stupidity” (Kebodohan).”
“Bab yang dengan bagus dan penuh rasa humor berbicara tentang kebodohan, kenaifan, dan kepalsuan itu ditutup oleh pernyataan menarik dari Eco tentang Fransesco Totti. Bagi Eco, reaksi Totti terhadap lelucon (yang beberapa di antaranya lahir dari kebencian terhadap Totti ) adalah contoh yang luar biasa bagaimana manusia semestinya memperlakukan lelucon (he, Totti, reacted superbly). Dan dengan itulah, kata Eco, orang-orang akan dengan cepat mengubah pikirannya tentang Totti (“people soon changed their minds about him“).”
“Umberto Eco terkenal karena novel gigantik berjudul The Name of the Rose. Novel berlatar Eropa di Abad Pertengahan itu dengan cerdas memperlihatkan pentingnya humor dan lelucon bagi kemanusiaan dan peradaban. Salah satu kalimat terpenting dari novel Eco itu berbunyi: “Agaknya misi yang harus diemban oleh mereka yang mencintai kemanusiaan adalah untuk membuat manusia menertawakan kebenaran, membuat kebenaran tertawa, karena itulah satu-satunya cara untuk membebaskan kita dari nafsu yang tergila-gila pada kebenaran.””
“Totti, dengan cara yang sederhana dan jauh dari sophisticated, sudah dengan baik memperlihatkan contoh betapa pentingnya tertawa dan humor. Totti memperlihatkan dengan baik bahwa sebaiknya-baiknya humor adalah lelucon yang menertawakan diri sendiri. Sebab seburuk-buruknya lelucon adalah yang menertawakan kelemahan dan cacat orang lain, sebab sebrengsek-brengseknya lelucon adalah menertawakan kekurangan-kekurangan (fisik) orang lain.”
Salah satu lelucon yang sebetulnya digunakan untuk menghina Francesco Totti berbunyi demikian: “Terbetik kabar bahwa perpustakaan pribadi Totti telah terbakar. Isinya hanya dua buah buku. Apa reaksi Totti? “Oh tidak, aku belum selesai mewarnai buku yang kedua.”
Ia tidak marah. Sepolos itulah dirinya. Namun, ketika di atas lapangan, ia menjadi manusia yang berbeda. Ia bermain dengan 40 persen berpikir dan 60 persen berimajinasi. Totti adalah person yang rumit di atas lapangan. Ia melihat bola, lapangan, kawan, dan lawan dengan imaji yang berbeda ketimbang banyak pemain lain.
Namun, serumit apapun ia berpikir, ketika berbicara cinta, ia begitu sederhana: cinta mati. Maka, apa yang terjadi ketika “cinta mati” itu berkhianat?
Bagi sebagian orang, keluarga adalah tempat kembali setelah kamu kalah gelut dengan dunia. Sebrengsek apapun keluarga, itu tempat yang paling aman untuk kamu kembali. Namun, bagi sebagian yang lain, keluarga adalah tempat penuh lagu sumbang ketika tali darah yang seharusnya mengikat kuat itu telah cerai berai.
Musuh yang paling berbahaya adalah ketika orang paling setia merasa dikhianati. Hati yang luka bisa membuat manusia menjadi person paling jujur. Apalagi seorang bagi Francesco Totti, di mana cinta sederhana untuk AS Roma justru tidak dianggap penting. Ketika ia sakit hati, ratapan Totti adalah wujud polos seorang manusia seutuhnya.
Lepaskan kaca mata sepak bolamu. Kenakan kaca mata manusiamu. Perhatikan betul bagaimana orang yang cinta mati bergulat dengan dirinya, berusaha menemukan kata maaf yang terselip di dalam ruwetnya kekecewaan.