MOJOK – Papan atas klasemen Liga 1 mengerucut, setidaknya menjadi lima nama. Mereka adalah Persipura, Madura, Barito, Sriwijaya, dan Madura. Faktor apa saja yang memengaruhi komposisi papan atas Liga 1?
Memasuki pekan ke-10, papan atas klasemen Liga 1 semakin panas. Setidaknya ada empat tim yang secara tertib mengumpulkan poin dan sempat memisahkan diri dari tim-tim di bawah mereka. Keempat tim tersebut adalah Persipura Jayapura, PSM Makassar, Madura United, Barito Putera. Ada satu tim yang sudah berhasil menyeruak ke empat besar dan menggeser Barito. Tim yang dimaksud adalah Sriwijaya FC.
Rapatnya poin yang diperoleh membuat semua tim di lima besar klasemen Liga 1 tidak boleh terpeleset. Lengah sekali saja, potensi terlempar dari empat besar bakal terjadi. Inilah beberapa alasan mengapa papan atas klasemen Liga 1 masih bakal mengalami perubahan.
Performa kandang lima besar klasemen Liga 1
Cukup sering saya menuliskan bahwa untuk klub-klub di Liga 1, bermain di rumah sendiri adalah faktor pemberi kemenangan. Mengapa bisa begitu?
Tentu ada banyak alasan. Beberapa di antaranya adalah mental pemain-pemain Indonesia yang masih inferior ketika bermain di bawah tekanan suporter lawan. Sejak dahulu sudah seperti ini. Setiap bermain di kandang sendiri, seorang pemain bisa bermain lepas, menunjukkan atribut teknis secara leluasa. Bisa dibilang ia merasa “aman” karena dikelilingi oleh orang-orang yang mencintainya.
Sementara itu, ketika bermain di kandang lawan, dengan berbagai intimidasi yang berat dari suporter lawan, nyali langsung ciut. Jika mentalnya tidak kokoh, seorang pemain ini akan sering membuat kesalahan umpan, salah kontrol, hingga lupa menjalankan instruksi pelatih secara paripurna. Alhasil, seorang pemain dengan teknik yang baik akan terlihat seperti pemain tarkam.
Rasa diri yang inferior ketika bermain di rumah lawan pun terbawa ke tim nasional. Kekalahan 0-10 dari Bahrain beberapa tahun silam menjadi bukti. Pemain-pemain yang “seharusnya tidak masuk timnas” mendapat kesempatan langka. Pemain-pemain yang mudah grogi dengan mental tipis. Tak perlu dibantah, akui saja memang begitu situasinya.
Sementara itu, tim lima besar Liga 1 sendiri sangat superior ketika bermain di kandang sendiri. Perjalanan yang jauh hingga delapan jam, jika tim tersebut dari Pulau Jawa, ketika bermain di Jayapura menghadapi Persipura sudah menguras energi dan mental sendiri. Apalagi jika mereka tim dari Kota Padang, misalnya, di mana perjalanan bisa mencapai satu hari.
Hingga pekan ke-9, Persipura belum pernah bermain imbang dan kalah ketika tampil di Stadion Mandala Jayapura. Sementara itu, konsistensi yang terbangun sangat membantu ketika mereka bermain tandang. Baru kalah dua kali ketika tandang, Persipura adalah kandidat kuat juara Liga 1 musim ini.
Bagaimana dengan tim-tim lain? Sama saja. PSM Makassar, Barito Putera, Madura United, dan Sriwijaya FC bisa sangat agresif ketika bermain di rumah sendiri. Buktinya? Persipura bisa menang dengan skor 6-0 ketika menjamu Madura. Sementara itu, ketika bermain di Stadion Ratu Pamelingan Madura, Sape Kerab mengalahkan Sriwijaya dengan skor 3-0. Sungguh unik.
Sejauh ini pula, hanya Persipura yang bisa menyapu bersih laga kandang. Empat tim lainnya pernah kalah dan banyak memetik hasil imbang. Namun yang pasti, rasio hasil positif di rumah sendiri akan sangat memengaruhi komposisi empat atau lima besar klasemen Liga 1 musim ini.
Kecenderungan bermain aman ketika tandang
Alasan kedua ini masih berhubungan dengan alasan pertama. Karena merasa lebih inferior, banyak klub yang memilih untuk bermain “aman”. Maksudnya, banyak klub ini yang akan puas ketika bisa memetik hasil imbang. Pokoknya tidak kalah, sudah sangat disyukuri. Yang menjadi masalah adalah “rasa aman” ini dipukul rata ketika menghadapi tim papan bawah sekalipun.
Memang, tidak kalah adalah sasaran semua tim di kompetisi yang panjang. Namun, pola pikir “supaya tidak kalah” berpengaruh terhadap performa. Yang terjadi adalah kecenderungan untuk bermain lebih bertahan. Sekali lagi, sikap ini bukan sikap yang salah. Yang ingin saya sasar adalah kecenderungan ini membuat sebuah tim lebih sedikit membuat peluang. Jumlah peluang yang menurun, tentu saja, mengurangi jumlah gol.
Sebagai contoh, sebagai pemuncak klasemen, Persipura bisa kalah oleh dua tim yang untuk sementara menghuni papan tengah dan bawah, yaitu Arema FC dan Persib Bandung. Memang, laga-laga ini dikategorikan big match. Namun yang pasti, Persipura memang lebih banyak bertahan karena tim tuan rumah bermain lebih agresif.
Kasus yang sama juga terjadi kepada PSM yang saat ini duduk di peringkat kedua. Juku Eja kalah dari Barito Putera dengan skor 2-1. Kekalahan kedua justru diderita ketika menjamu Persela Lamongan di Stadion Mattoangin, rumah sendiri, dengan skor 1-3. Persela, yang jago kandang, justru memetik kemenangan tandang. Sungguh unik.
Kecenderungan seperti ini menjadi syarat khusus, bahwa siapa saja yang bisa lebih banyak mengumpulkan poin ketika tandang, klub tersebut akan lebih punya peluang untuk menjadi juara, atau setidaknya menyelesaikan musim di papan atas.
Faktor non-teknis
Saya tak ingin menuduh kerja keras barisan wasit. Namun, sudah menjadi kebiasaan jika wasit banyak menguntungkan tim tuan rumah. Kita belum berbicara soal kemungkinan adanya suap. Tak perlu malu untuk mengakuinya karena ini sudah menjadi rahasia umum.
Wasit juga manusia. Ia bisa merasakan tekanan dari suporter tuan rumah. Misalnya ketika Persib Bandung mengalahkan Persipura dengan skor 2-0. Salah satu gol Maung Bandung diperoleh lewat titik putih setelah bek Persipura ia dakwa melakukan tekel kotor. Namun, dari tayangan ulang, pemain Persipura tidak melakukan kontak fisik dengan pemain Persib.
Contoh kedua, gol “tangan tuhan” dari Diego Assis pemain Persela ketika mengalahkan Persija Jakarta. Memang, dari tayangan ulang, pandangan wasit tertutup oleh kemelut di depan gawang. Namun, bagaimana jika pemain Persija yang mencetak gol menggunakan tangan dan pemain tuan rumah melakukan protes keras?
Sekadar protes tentu tiada mengapa. Namun di Indonesia, kekerasan terhadap wasit masih jamak terjadi. Kekerasan inilah yang membentuk pola pikir bahwa daripada babak belur, mending mengambil keputusan yang “aman” untuk tuan rumah. Maka, pada titik tertentu, tuan rumah lebih sering mendapatkan keuntungan non-teknik yang memegaruhi hasil akhir yang didapat.
Tentu masih banyak faktor yang memengaruhi komposisi tim papan atas klasemen Liga 1. Namun yang pasti, tiga faktor di atas merupakan tiga faktor yang paling sering terjadi. Punya pendapat lain?