MOJOK.CO – Kontribusi gol Lionel Messi untuk Barcelona sudah berjumlah 26, sama seperti jumlah gol Real Madrid sepanjang musim 2018/2019 ini.
Perdebatan “siapa yang lebih jago” antara Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo bisa dibilang sudah out of date. Terutama setelah kepindahan Ronaldo ke Juventus. Saat ini, perbandingan yang lebih seru adalah “siapa yang lebih jago” antara Lionel Messi seorang diri dengan sebelas pemain Real Madrid.
Akhir minggu ini, setelah kemenangan Barcelona atas Getafe dengan skor 2-1, nama Lionel Messi menghiasi lini massa. Saat ini, pemain asal Argentina tersebut, seorang diri, memberi kontribusi gol yang jumlahnya sama seperti jumlah gol Real Madrid di musim 2018/2019 hingga Januari ini.
Setelah laga melawan Getafe, Messi resmi mengoleksi 16 gol dan 10 asis. Total ada 26 aksi gol yang melibatkan nama Messi seorang diri. Jumlah 26 gol itu sama seperti SEMUA jumlah gol yang sudah dicetak Real Madrid saat ini. Apalagi, ketika Barcelona menang tipis atas Getafe, di tempat lain, di Santiago Bernabeu, Real Madrid dipecundangi Real Sociedad dengan skor 0-2.
Sebuah kekalahan yang semakin menebalkan peluang juara Barcelona untuk musim ini. Sebuah catatan pula yang menyiratkan betapa krusialnya sosok Messi bagi Blaugrana. Bahkan, aman untuk dibilang kalau lebih jago ketimbang 11 pemain Real Madrid yang musim ini begitu kesulitan menemukan konsistensi dan ketajaman.
Setelah ditinggal Zinedine Zidane, Los Blancos kehilangan sosok panutan, sosok tonggak yang membuat para pemain bintang mau berlari lebih jauh dan bergerak lebih cepat. Pergantian pelatih ke tangan Julen Lopetegui yang diwarnai nuansa tak enak dengan timnas Spanyol untuk kemudian dipecat dan digantikan Santiago Solari membuat stabilitas Madrid goyah.
Ketika Si Putih goyah, Barcelona menemukan dan mempertahankan keseimbangan di bawah asuhan Ernesto Valverde dan di bawah berkah Lionel Messi. Hingga pada akhirnya, catatan statistik 26 gol Messi seorang diri yang menyamai Real Madrid seperti menjadi klimaks betapa buruknya performa klub asal ibukota Spanyol tersebut.
Betapa jagonya Lionel Messi
Lantas, mengapa Lionel Messi bisa begitu jago ketimbang 11 pemain Real Madrid? Untuk menjawabnya, kita harus memutar waktu ke belakang.
Sekitar tahun 2009, Pep Guardiola memberikan instruksi kepada Messi, tepatnya ketika Barcelona menghadapi Madrid. Secara spesifik, Pep ingin Messi banyak bergerak ke ruang di antara dua lini Madrid, yaitu lini pertahanan dan lini tengah.
Ruang “antara” tersebut harus digunakan Messi untuk memancing salah satu dari dua bek Madrid untuk naik menekan dirinya dan meninggalkan ruang kosong di lini pertahanan. Tugas yang sangat sederhana.
Ketika pertandingan digelar, Pep masih menggunakan skema pakem 4-3-3, dengan Messi berada di sisi kanan. Setelah mengawasi jalannya pertandingan, sekitar 10 menit, Messi mulai banyak bergerak sesuai instruksi.
Keberadaan Messi di antara bek tengah dan gelandang tengah membuat struktur Madrid goyah. Pergerakan tersebut membuat duet bek tengah Madrid kala itu, Fabio Cannavaro dan Christoph Metzelder, bingun. Situasi bingung inilah yang diincar Pep. Baik Cannavaro maupun Metzelder memang terpancing untuk selalu menekan Messi. Alhasil, ruang di depan penjaga gawang Madrid menjadi terbuka.
Pep mengeksploitasi visi Messi. Ia tak hanya sekadar menggeser posisi Messi dari kanan ke tengah. Alhasil, kekuatan terbesar Messi berhasil dibangunkan oleh pelatih yang saat ini menjadi juru kemudi Manchester City. Dan El Clasico malam itu menjadi festival bagi Cules di penjuru dunia ketika Madrid takluk dengan skor 6-2. Messi membuat dua gol dan satu asis.
Lantas, instruksi sederhana dari Pep tersebut, oleh media, dibahasakan dengan istilah false nine. Perubahan peran ini sangat membantu Messi seiring karier. Salah satunya adalah membantunya tetap berada di level terbaik ketika semakin menua.
Di sini seharusnya kamu paham bahwa Messi dan Ronaldo berada dalam satu level. Keduanya beradaptasi dengan peran baru. Keduanya sukses setelah mengiringinya dengan kerja keras dan dedikasi.
Messi muda adalah penyerang sayap nan eksplosif. Akselerasi, dari posisi diam mencapai kecepatan tertinggi bisa dicapai dalam hitungan detik. Ciri khas ini berubah seiring waktu dan usia. Messi tak lagi sering mengandalkan kecepatan melewati dua atau tiga pemain.
Perubahan fisik dan penurunan kecepatan disikapi dengan memanfaatkan kekuatan terbesar Messi, yaitu visi dan teknik. Pola giringan Messi semakin sederhana. Meskipun tak lagi eksplosif seperti dulu, Messi justru semakin berbahaya karena variasi cara bermain yang semakin bertambah.
Areanya di depan kotak penalti mengizinkan Messi untuk memaksimalkan teknik mengumpan yang semakin tajam. Umpan-umpan diagonal, terutama kepada Jordi Alba, menjadi salah satu cara menyerang yang sering terlihat.
Ketika masih ada Neymar, umpan-umpan diagonal ke sisi kiri menjadi senjata ampuh. Mengapa? Karena Neymar akan mendapatkan ruang yang luas ketika menerima bola dari sisi kanan. Sederhana saja: overload sisi kanan, lalu pindahkan permainan ke sisi kiri dalam sekejap (positional play).
Menit ke-22 ketika melawan Getafe kalau kamu memperhatikan, satu umpan terobosan Messi menembus lima orang untuk membebaskan Luis Suarez. Visi tidak menua, tidak “menjadi keropos” seperti kulit dan tulang, tetap elastis tidak seperti otot. Sebuah senjata yang membuat La Pulga begitu, bahkan semakin, berbahaya.
Mulai musim 2017/2018, Messi tak lagi bergerak dari sisi kanan menuju depan kotak penalti. Area bermain Messi semakin mengecil. Salah satunya karena perubahan taktik. Messi banyak bermain di belakang Suarez dalam pola dasar 4-1-3-2 dan 4-4-2. Perhatikan grafis di bawah ini:
Dari grafis di atas terlihat rata-rata area. Arsiran menggambarkan luasan area yang dijelajahi. Ia banyak beredar di depan kotak penalti, juga menjadi ujung dari poros Sergio Busquets (pemain nomor 5), Paulinho (15), dan Messi sendiri (10). Sederhananya: Busquets mengawali serangan, Paulinho memastikan bola sampai sepertiga lapangan, Messi mengkreasi, sekaligus menjadi penyelesai peluang.
Ilustrasi di atas menjadi alasan betapa jagonya Messi. Menjadi latar belakang mengapa Barcelona masih bisa meletakkan kepala mereka ke pundak La Pulga. Untuk dua hingga tiga musim ke depan, La Pulga masih akan berbahaya. Real Madrid perlu memikirkan ulang cara menemukan kembali keseimbangan dan konsistensi mereka.