MOJOK.CO – Kekalahan Juventus atas Napoli dengan skor 1-2 adalah jenis kekalahan yang perlu dirayakan Serie A. Sebuah perayaan tentang cara menjadi konsisten bagi rival Juventus.
Internazionale Milano melewati paruh awal Serie A seperti kereta cepat. Antonio Conte dan barisan pemain baru menghadirkan kembali sebuah kesadaran. Sebuah kesadaran kalau Juventus masih bisa dikejar. Sebuah kesadaran kalau dominasi Si Nyonya Tua akhirnya bisa dipatahkan oleh salah satu rival terberatnya.
Conte juga membawa kesadaran baru bahwa Internazionale tidak akan berhenti berlari selama 90 menit. Pressing dengan intensitas tinggi, kohesi yang mulus di antara pemain, lini depan yang tajam, dan kekuatan skuat yang sudah lama tidak terlihat. Sebuah harapan akan liga yang kompetitif terbit di depan mata.
Internazionale masih menyimpan kesadaraan itu, bahkan setelah kalah dari Borussia Dortmund di Liga Champions. Melawan Verona di November 2019, Internazionale menunjukkan caranya memenangi sebuah laga ketika kamu tidak bermain baik. Mereka menang dengan melakukan comeback setelah tertinggal 0-1 di babak pertama. Kemenangan yang semakin menegaskan kalau di Serie A musim 2019/2020 Juventus tidak akan berlari sendiri.
Namun, seperti layaknya kuda pacu, Internazionale seperti kehilangan kekuatan di kakinya selepas setengah putaran musim Serie A. Sejak kalah dari Barcelona di Liga Champions, mereka seperti kehilangan kepada dirinya sendiri. Beberapa kali, Internazionale kehilangan kesempatan memenangi laga. Mereka terlalu banyak mengumpulkan hasil imbang.
Melawan Fiorentina, Atalanta, Lecce, dan terakhir Cagliari. Ketika Internazionale kehilangan kepercayaan kepada kemampuan sendiri, kemenangan begitu sulit untuk diraih. Saat ini, Internazionale sudah mengumpulkan 6 hasil imbang dengan 1 kekalahan.
Juventus, di puncak Serie A, sudah kalah 2 kali, tetapi mereka cuma imbang di 3 pertandingan. Mengumpulkan jumlah kemenangan lebih banyak, Juventus masih di peringkat 1, unggul 3 poin atas Internazionale.
Juventus punya peluang untuk melebarkan jarak setelah Internazionale ditahan imbang Cagliari. Namun, mereka malah kalah dari Napoli dengan skor klasik 1-2. Sebuah kekalahan yang diharapkan setelah Internazionale dan Lazio cuma bisa bermain imbang dengan lawan-lawan mereka.
Juventini yang saya kenal tidak terlalu memusingkan kekalahan atas Napoli ini. Mereka memaklumi kalau Si Nyonya Tua bakal kalah atas Napoli karena memang bermain kurang baik. Terutama di lapangan tengah, Juventus kalah bertenaga ketimbang lawanannya itu. Satu hal yang bikin saya terpesona adalah keyakikan Juventini untuk kembali juara Serie A tidak goyah.
Keyakinan ini lahir dari dominasi yang panjang. Delapan Scudetto bukan main-main. Dari dominasi, lahir kepercayaan diri yang tidak mudah goyah. Kalau Juventini saja begitu yakin, apalagi skuat asuhan Maurizio Sarri itu. Liverpool sudah belajar win ugly musim ini. Namun, Juventus sudah menjadikannya sebagai identitas. Menang, apapun wujudnya, tetap kemenangan. Dari keyakinan ini, dominasi berasal.
Kekalahan Juventus jadi hal biasa di Serie A
Nah, ketika Juventus kalah, ada sebuah pesan yang seharusnya ditangkap dan dipahami oleh para rival. Sebuah pesan yang berbunyi: Juventus juga sekumpulan manusia biasa. Mereka bukan manusia super. Pemain Juve hanya sekumpulan manusia, dengan hati baja, dan keyakinan bahwa mereka lebih baik ketimbang semua rival.
Kekalahan mereka bukan hal baru. Ini perlu dipahami. Toh musim ini, Si Nyonya Tua sudah lebih banyak kalah ketimbang Internazionale Milano. Yang sering terjadi adalah sisi “menusia” Juventus ini tidak pernah dipahami oleh lawan. Mereka terlalu sibuk dengan ikonsistensi dan perasaan inferior ketika Si Nyonya Tua sudah membuat jarak dengan peringkat kedua.
Performa Internazionale ketika ditahan imbang Cagliari sukses merangkum performa para rival Juventus selama beberapa tahun ini. Inkonsisten, tidak percaya diri, membuang peluang, larut dengan emosi, dan ada sedikit perasaan meremehkan lawan. Kombinasi perasaan negatif yang membuat kekalahan Juventus menjadi sangat dibutuhkan Serie A.
Saya masih yakin Serie A dan Bundesliga akan jadi liga paling kompetitif sampai akhir musim 2019/2020. Liverpool hanya tinggal memastikan apakah mereka akan menjadi invincible kedua setelah Arsenal, sementara La Liga kembali jadi pacuan 2 kuda: Real Madrid dan Barcelona.
Untung saja Juventus kalah. Mereka perlu mendapat ucapan terima kasih dari para rival. Terima kasih untuk tidak membuat Serie A terlalu berwarna hitam dan putih. Toh kekalahan ini seharusnya menjadi peringatan kepada para rival untuk juga berbenah. Bahwa ketika Si Nyonya terpeleset, para rival tidak bisa memanfaatkan momentum.
Narasi Serie A tidak seharusnya hanya berbicara soal kapan dominasi Juventus berakhir. Serie A seharusnya soal: siapa yang akan jadi juara musim ini, bersaing dengan Juventus. Seperti medio 90an ketika il sette magnifico mewarnai liga terbaik di dunia. Meskipun, yah, saat itu Juventus sudah dominan juga.
BACA JUGA Mencintai Serie A Lewat Kejayaan Juventus dan Kejatuhan AC Milan atau tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.