MOJOK.CO – Mimikri ala Frank Lampard adalah filosofi yang berbahaya. Tanpa nyali revolusi, Chelsea akan sulit bersaing dengan Liverpool dan tim papan atas lainnya.
Jumat (20/9) siang, saya berkorespondensi dengan Sunday Bed Ranger, seorang analis taktik di Twitter. Kebetulan, saya sedang buntu betul, nggak punya tema tulisan untuk menyambut laga Chelsea vs Liverpool. Sebetulnya ada satu hal yang mengganjal pikiran saya, soal ide Frank Lampard untuk Chelsea. sebuah ide yang saya sebut “liar”.
Ide liar yang saya maksud adalah soal cara Frank Lampard merespons sebuah pertandingan. Sunday Bed Ranger (SBR) menyebutnya sebagai taktik mirroring, atau meniru taktik lawan. Cara ini digunakan Lampard ketika Chelsea bisa menang secara gemilang atas Wolves. Sebuah tim yang rajin menyulitkan tim-tim papan atas. The Blues menang dengan skor 5-2!
Saya harus mendapatkan second opinion dari ahlinya, tentu saja, karena cara bermain ini belum banyak yang menganalisis. Jadi, ketika melawan Wolves, The Blues bermain dengan skema dasar 3-5-2, sama persis seperi taktik Wolves. Peniruan ini sukses “bikin bingung” Wolves, mencegah mereka membangun serangan dengan nyaman.
Imajinasi saya bekerja secara liar. Saya membayangkan sebuah tim yang ultra fleksibel. Sebuah tim yang bisa menyesuaikan diri dengan siapa saja lawannya. Seperti bunglon, Chelsea mimikri meniru lingkungan yang ia diami. Menggunakan “jurus” lawan, Lampard bisa menghabisi siapa saja tanpa bisa ditebak.
Namun, sedetik kemudian saya sadar kalau imajinasi saya terlalu “kartun”. Apalagi Chelsea akan melawan Liverpool, tim yang bisa menyakiti lawan kapan saja. Mau lawan menekan dengan garis pertahanan tinggi atau bertahan sangat dalam, Liverpool yang sekarang punya cara untuk mengantisipasinya.
Filosofi Lampard disebut Ardy Nurhadi Shufi, kolumnis Pandit Football, sembari mengutip Lampard sendiri, sebagai “tanpa filosofi”.
“Aku ingin ada energi di timku. Aku ingin mengontrol bola karena kami punya pemain berkualitas yang mampu mengendalikan bola, tapi itu semua bukan untuk possession. Aku ingin menjadi tim yang menarik ditonton sehingga kami akan berusaha mengalirkan bola dengan cepat lalu menciptakan peluang,” kata Lampard seperti dikutip oleh Pandit Football.
“Jadi kami juga harus jadi tim yang agresif. Kami harus jadi tim yang tidak disukai tim lawan karena kerja keras kami ketika tak menguasai bola, dan tidak disukai karena kami sangat bagus saat mengontrol bola. Anda selalu bisa mencoba lebih pada kedua aspek (bertahan dan menyerang) itu.”
Kebanyakan pelatih top Eropa, baik yang sedang berkarier di Inggris, Italia, Spanyol, Prancis, dan Jerman selalu punya satu ide besar yang dipegang teguh. Ada yang bermain berdasarkan eksploitasi ruang seperti Pep Guardiola atau Jurgen Klopp di Liverpool yang ahli menyakiti lawan menggunakan transisi. Mereka bekerja, menyesuaikan diri dengan lawan, berdasarkan satu ide besar itu.
Dan kebanyakan, bukan kebetulan, mereka yang sukses di dunia, adalah pelatih dengan ide besar, atau bisa kamu sebut sebagai filosofi itu. Sejauh yang saya tahu, belum ada pelatih yang sukses di tingkat dunia, yang tidak punya filosofi dasar. Tidak ada yang sukses besar hanya dengan mengkopi lawan dan menyerang dari sana.
Jika Lampard tetap keukeuh akan bermain dengan cara “menyesuaikan diri” ketika melawan Liverpool, maka Chelsea hanya akan bunuh diri. Cara bermain Liverpool itu bukan hanya berdasarkan filosofi saja, tetapi dibangun oleh atribut yang ideal, baik pemain maupun pelatih. Ada sinergi di dalamnya yang sulit dikopi secara dadakan. Memangnya tahu bulat.
Lampard harus punya nyali untuk bermain seperti Napoli. Tim asal Italia yang menang berkat diving itu berani menekan Liverpool dari garis pertama. Napoli berusaha membatasi waktu pemain-pemain Liverpool untuk menguasai bola. Liverpool harus dibuat tidak nyaman.
Atau, nggak usah jauh-jauh berguru ke Italia, Chelsea bisa menjadikan keberanian Norwich City ketika mengalahkan Manchester City. Norwich berani meladeni pressing City ketika berusaha build from the back.
Rafa Benitez, mantan pelatih Chelsea dan Liverpool pernah berujar begini: Untuk mengalahkan City, kamu harus berani menguasai bola dan melewati pressing mereka. Jika bisa lewat, kamu akan mendapatkan banyak ruang di wilayah lawan.
Kalimat Rafa Benitez adalah soal filosofi bermain, yaitu menguasai bola selama mungkin dan hindari pressing lawan dengan nyali tinggi. Lampard harus sadar kalau dirinya tidak akan bisa berlari jauh tanpa punya filosofi dasar. Bukannya spektis, saya cuma berusaha untuk realisitis karena sepak bola modern bukan sajian film kartun.
Jangan sampai Lampard hanya akan berakhir seperti Sam Allardyche, Alan Pardew, Harry Redknapp, atau Mark Hughes. Deretan pelatih yang saya sebut sebagai “lingkaran setan pelatih tim degradasi”. Tim-tim semenjana di Inggris seperti punya pelatih langganan. Gagal dengan Allardyche, ganti ke Mark Hughes, gagal lagi ganti Alan Pardew. Ketika lagi-lagi gagal, balik ke Allardyche.
Mereka adalah deretan pelatih yang hidup dalam gelembung pengetahuan yang tak pernah di-update. Mereka hanya bisa “menyesuaikan” tanpa berani untuk membuat revolusi taktik. Lampard, mumpung masih muda dan punya pengalaman dilatih pelatih-pelatih kelas elite, jangan sampai disambut dengan tangan terbuka oleh “lingkaran setan pelatih tim degradasi” a.k.a relegation club.
BACA JUGA Frank Lampard, Legenda Murah, yang Cuma Menjadi Pelarian Chelsea atau tulisan Yamadipati Seno lainnya.