MOJOK.CO – Ketika sepak bola Indonesia semakin kusut, ketika mafia bola dan carut marut PSSI mewarnai hari-hari, Bonek dan Persebaya memberikan cinta.
Dari pengadil pertandingan, mafia pertandingan, rangkap jabatan, jebloknya timnas senior, hingga jabatan (plt) Ketua Umum PSSI yang tiada jelas. Sepak bola Indonesia diingat dengan cara paling buruk.
Mundur beberapa tahun ke belakang, kekerasan suporter adalah yang paling banyak menyedot perhatian dunia sepak bola Indonesia. Rivalitas kedaerahan, nyanyian rasis, permusuhan yang sungguh absurd, hingga saling ejek di media sosial. Kembali, sepak bola Indonesia diingat dengan cara yang paling buruk.
Pada titik tertentu, tiada yang patut dirayakan di sepak bola Indonesia. Miftakhul F.S. punya narasi tersendiri soal sepak bola Indonesia. Mas Mif, biasa saya menyapa, mengajak kita selalu mencintai sepak bola Indonesia meski sangat kusut. Ajakan yang luar biasa berat dijalankan ketika saya memejamkan mata dan membayangkan kondisi sepak bola lokal.
Lewat bukunya, Mencintai Sepak Bola Indonesia Meski Kusut (2015), Mas Fim seperti membawa kita ke dalam Lorong sejarah sepak bola lokal yang penuh onak dan duri. Meski sungguh menyebalkan, tapi itulah sepak bola “kita sendiri”. Meski carut dan marut, kita harus bisa menemukan satu keping dari sepak bola lokal untuk dipeluk dan dicintai selamanya.
Dan bagi saya, satu keping berharga itu bukan “sepak bola lokal itu sendiri”. Saya justru mencintai kisah-kisah yang menjadi kawan sepak bola. Kisah-kisah manusia, kisah suporter yang dikenal beringas, nakal, dan keras menjadi kumpulan manusia yang lembut hatinya, kompak, dan memikirkan sesama.
Orang Jepang bergerak, berproses dengan selalu mengingat sesama di dalam kepala mereka. Oleh sebab itu, di tengah kehidupan sehari-hari, orang Jepang begitu menghargai ruang sosial, saling menghargai sesama. Mereka begitu sopan, melempar senyum kepada sesama, bahkan kepada mereka yang tiada kenal.
Ketika kepada sesama kita berproses, sepak bola menjadi tempat yang lebih ceria, lebih berwarna. Meskipun sangat dan selalu kusut, sepak bola Indonesia menjadi lebih mudah dicintai. Adalah Bonek, suporter Persebaya Surabaya, yang menunjukkan bahwa suporter sepak bola lokal bukan hanya kumpulan mereka yang beringas.
Bonek menjadi kumpulan manusia-manusia yang menyenangkan ketika dengan begitu kompak, melempar bonek masuk ke dalam lapangan. Aksi itu, aksi yang luhur itu, adalah aksi Persebaya (baca: insan sepak bola lokal) yang harus terus diingat.
Kepala Perwakilan UNICEF Pulau Jawa, Arie Rukmantara mengapresiasi aksi Bonek. Menurutnya, dukungan Bonek terhadap anak-anak penderita kanker begitu berharga. “Mereka memberikan harapan besar kepada anak-anak penderita kanker, melalui pesan positif lewat olahraga,” kata Arie.
Aksi simpatik ditunjukkan Bonek ketika Persebaya melawan PS TIRA-Persikabo dalam babak delapan besar Piala Presiden 2019 di Stadion Gelora Bung Tomo, Surabaya, Jumat (29/3). Ketika jeda pertandingan babak pertama, Bonek secara serentak melemparkan boneka yang mereka bawa ke lapangan dengan didahului aba-aba dari MC. Ini adalah salah satu bentuk cinta dari Bonek kepada para penderita kanker. Pertandingan itu pun tercatat dihadiri 43.230 penonton.
Konon, sekitar 20 ribu penonton melempar boneka ke dalam lapangan. Hampir separuh dari total penonton, membawa boneka secara sukarela dari rumah. Berbagai bentuk, berbagai warna, berbagai model tiada masalah karena yang paling utama adalah kepedulian kepada sesama.
Rahmad Darmawan (RD), pelatih PS TIRA-Persekabo dibuatnya kagum. “Harusnya suporter seperti ini, membantu sesama dan saling berbagi. Luar biasa Bonek.” Setuju dengan Coach RD, Pelatih Persebaya, Djadjang Nurdjaman juga bangga dengan aksi cinta Bonek. “Begitulah bonek, terus kreatif dalam mendukung Persebaya.”
Aksi kemanusiaan tidak lama diingat insan sepak bola. Aksi heroik itu mudah dilupakan ditimpa masalah-masalah baru yang lebih bisa “dijual media”. Hampir sama seperti Bonek, pemain Arsenal, Mesut Ozil, pernah menunjukkan aksi kemanusiaan yang, saya berani bertaruh, sudah dilupakan oleh jutaan fans sepak bola.
Ketika pemain asal Jerman itu tengah mengambil ancang-ancang mengambil sepak pojok, fans Atletico Madrid berulah. Salah satu suporter los Colchoneros melempar sepotong roti ke arah Ozil. Tak terduga, mantan pemain Real Madrid tersebut tidak membuang roti yang dilemparkan ke arahnya.
Ozil memungut roti tersebut, menciumnya, menyentuhkannya ke keningnya, lalu meletakkan ke sisi lapangan dengan penuh hormat. Hampir semua penonton di stadion menyaksikan aksi tidak terduga itu. Sebuah pertanyaan pun ramai dibahas di media sosial. “Mengapa Ozil mencium roti dan menghormatinya sedemikian rupa?”
Salah satu fans Arsenal di Twitter memberikan penjelasan. Akun bernama Hadi Karim menjelaskan makna tindakan Ozil mencium roti tersebut. “Membuang-buang roti bertentangan dengan ajaran agamanya. Ozil mencium roti dan menyentuhkan ke keningnya sebagai ekspresi rasa terima kasih kepada Tuhan,” kicau Hadi lewat akun Twitter @hadimkarim.
Sebuah kalimat di dalam Alquran bab 6 ayat 141 berbunyi, “…jangan suka boros (membuang-buang, menyia-nyiakan sesuatu). Allah tidak suka orang yang suka boros.”
Bukan hanya sebagai orang Muslim, Ozil juga masih mengingat akar kehidupannya. Meski berpaspor Jerman, darah Ozil adalah darah orang Turki. Adalah sebuah larangan di dalam tradisinya untuk membuang-buang makanan. Pada titik ini, boleh Anda sebut akan berdosa apabila membuang-buang sebuah berkah dari Tuhan bernama makanan. Ajaran agama dan tradisi sudah cukup untuk menjelaskan gesture Ozil terhadap makanan.
Mengingat selalu, cinta dari Bonek dan Ozil adalah cara sederhana untuk patuh kepada ajakan Miftakhul F.S., yaitu mencintai sepak bola meski sangat kusut. Apalagi untuk sepak bola Indonesia.
Kalau tidak jatuh cinta berkali-kali kepada Bonek dan Persebaya (baca: kamu semua yang baik hatinya) yang melempar boneka untuk penderita kanker, kepada siapa lagi kita menitipkan cinta untuk sepak bola Indonesia?
Bukan pekerjaan mudah untuk mencintai kekurangan seseorang. Semakin sulit melakukannya di tengah keterpurukan. Oleh sebab itu, paling tidak, mari lestarikan cinta di tengah koyaknya bola Indonesia. Supaya kita bisa merayakan sesuatu pada akhirnya, ketika yang namanya prestasi adalah fana, dan euforia kemenangan tak lagi sama.
Hanya cinta kepada sesama, menjadi satu-satunya hal cemerlang, yang bisa kita rindukan. Terima kasih, Bonek.