MOJOK.CO – Setelah Bayern Munchen, siapa yang akan menyusul berpisah dengan pelatihnya? Arsenal, Barcelona, MU? Saya membuat daftar yang paling berpotensi terjadi.
Ada yang menyebutnya sebagai big club mentality ketika Bayern Munchen berpisah dengan pelatihnya, Nico Kovac. Dilihat dari pencapaian sejak musim lalu, Bayern boleh dibilang “sedang baik-baik saja”. Namun, ketika ketika identitas sebuah klub sudah mulai terkikis, Kovac sadar satu-satunya langkah adalah mundur.
Padahal, capaian musim lalu terbilang cukup lumayan: double winner dan hanya kalah dari Liverpool, juara bertahan, di Liga Champions. Musim ini, mereka hanya terpaut 4 poin dari puncak. Seperti yang kamu ketahui, di Bundesliga, Bayern tidak selalu meyakinkan di pertengahan musim. Namun, menjelang paruh akhir, mereka tak terbendung.
“Saya rasa keputusan ini yang terbaik untuk klub. Hasil pertandingan dan cara kami bermain akhir-akhir ini membuat saya sampai kepada keputusan untuk mundur,” tegas Kovac di konferensi pres. Sebelum memutuskan untuk mundur, Bayern dibantai Frankfurt dengan skor 5-1.
Jika menggunakan pernyataan Kovac sebagai patokan, seharusnya tidak butuh waktu lama, beberapa klub besar di Eropa akan kehilangan pelatihnya. Mereka adalah Arsenal, Barcelona, dan Manchester United (MU). Kamu bisa memasukan Tottenham Hotspur di dalam daftar ini. Konon, suasana tim Spurs sedang tidak ideal karena kehilangan motivasi.
Saya meranking ketiga klub ini dari yang paling berpotensi ganti pelatih dalam waktu satu minggu ke depan:
Arsenal yang pertama susul Bayern
Taruhannya terlalu besar bagi Arsenal. Musim ini, taruhan mereka adalah lolos ke Liga Champions. Arsenal berpeluang kalah besar dalam taruhan ini apabila masih mempertahankan Unai Emery. Delusi, ketidakjelasan cara bermain, hingga mental lemah yang membuat Arsenal tak bisa mempertahankan kemenangan membuat peluang kalah taruhan semakin besar.
Tidak lolos ke Liga Champions artinya kehilangan banyak uang. Hal kedua yang akan paling menyakiti Arsenal adalah gengsi. Setelah gagal lolos ke Liga Champions musim ini, pemain seperti Aubameyang, penyelamat karier Emery sejauh ini, bakal hengkang. Menyusul kemudian pemain seperti Lacazette.
Mengganti pelatih memang bukan jaminan. Namun, kejelasan cara bermain dan perbaikan mental bukan sesuatu yang bisa dicapai dengan mempertahankan Emery. Saya rasa titik penentuan Emery adalah ketika melawan Leicester City. Imbang atau kalah, perubahan harus terjadi. Arsenal tidak boleh mengulur waktu. Taruhannya terlalu besar.
Barcelona: Valverde dan Messi
Seperti Bayern dan Arsenal, saya rasa Barcelona juga kehilangan identitasnya secara perlahan di bawah Ernesto Valverde. Padahal, bagi Barcelona, tidak boleh ada yang lebih tinggi ketimbang identitas klub. Hal sakral ini pula yang dahulu mencegah Jose Mourinho menjadi pelatih Barcelona lantaran manajemen lebih memilih Pep Guardiola.
Satu-satunya unsur yang membuat posisi Valverde “agak aman” adalah Lionel Messi. Messi punya hubungan yang baik dengan Valverde. Kehendak Messi, bisa berarti banyak bagi siapa saja pelatih Barcelona. Tidak bisa dimungkiri, Messi sudah sebesar Barcelona itu sendiri.
Valverde adalah pelatih yang bisa “memahami” kebutuhan Messi yang semakin menua. Valverde memfasilitasi Messi dengan mempertajam “Messi’s role” dua musim yang lalu. Guardiola mengubah Messi menjadi false 9 terbaik di dunia, Valverde membentuk Messi menjadi playmaker terbaik. Perubahan ini sangat cocok untuk stamina dan usia si pemain.
Bagi pemain senior, tidak ada yang lebih membahagiakan selain punya pelatih yang bisa membantunya tetap rutin bermain. Memang, ini cuma satu alasan saja. Namun, saya rasa kehendak Messi yang akan menentukan pelatih Barcelona hingga akhir musim ini.
Manchester United dipaksa sabar
Kekalahan dari Bournemouth membuat posisi Ole Gunnar Solskjaer sangat tidak aman. Namun, saya rasa, ketidakamanan itu hanya dirasakan oleh suporter saja, berbeda dengan Arsenal. Manajemen MU perlu menghitung banyak variabel jika mau memecat Ole. Kompensasi pemecatan tidak masalah bagi manajemen MU untuk satu hal ini.
Variabel paling perlu untuk dihitung adalah pelatih mana yang mau melatih MU. Melatih MU tidak hanya soal menangani pemain. Melatih MU adalah mengahadapi bayangan besar bernama ekspektasi. Ekspektasi itu punya wajah yang spesifik dan kita mengenalinya sebagai Sir Alex Ferguson. Kalau Louis van Gaal dan Jose Mourinho saja gagal, siapa yang berani melatih MU?
Seiring nama besar, sejarah panjang, dan deretan prestasi lahir ekspektasi yang tidak sehat. Kesabaran menjadi barang paling murah di dunia sepak bola saat ini. Manajemen mana yang mau bersabar memberikan waktu hingga, katakanlah, 4 musim seperti yang dahulu dinikmati Sir Alex Ferguson?
Atas satu hal di atas, manajemen MU tidak akan gegabah memecat Ole. Saya rasa, fokus MU ada pada memperbaiki skuat dan strategi pembelian pemain. Kalau kalian lihat, perlu diakui skuat MU tidak sebagus Arsenal, Liverpool, atau Manchester City. Oleh sebab itu, MU “kemungkinan” akan bersabar hingga musim panas tahun depan.
Bagaimana dengan Spurs?
Sebetulnya Spurs tidak punya banyak pilihan selain mempertahankan Mauricio Pochettino. Karena di tangan pelatih asal Argentina inilah Spurs benar-benar mencapai “level kompetitif”. Masalah mereka ada pada motivasi. Dengan skuat yang ada, target mereka memang tidak bisa terlalu muluk.
Situasi bakal berbeda kalau mereka memenangi Liga Champions musim lalu. Namun, kita tahu sendiri kalau Spurs adalah Spurs. Mental kalahan sudah mandarah daging dan ini tidak bisa dibantah.
Manajemen perlu menginjeksikan dana besar untuk memperkuat skuat. Atau, minimal memperpanjang kontrak pemain kunci dan menentukan target juara yang realistis, misalnya Carabao Cup. Rasa mengangkat piala itu yang akan memantik motivasi baru. Mengganti pelatih bukan pilihan ideal bagi manajemen Spurs.
BACA JUGA Memuji Sikap Manajemen Mu yang Terus Percaya Ole Gunnar Solskjaer atau tulisan YAMADIPATI SENO lainnya.