MOJOK.CO – Dear Mikel Arteta dan Arsenal, hidup yang tidak dipertaruhkan, tidak akan dimenangkan, bukan?
Mas Rossi F. Noor memang benar. Saat ini, Arsenal mirip seperti Manchester United era Jose Mourinho. Tidak ada kohesi, disjointed, dan seperti tidak dijalankan dengan benar. Piala FA yang didapat beberapa tahun yang lalu cuma sebatas “tambalan”. Padahal masalah yang ditambal itu tidak pernah benar-benar selesai diperbaiki.
Ibarat kata ember plastik yang bocor. Kamu berusaha menambalnya dengan lakban khusus atau lem korea. Semua usaha itu sifatnya sementara. Tidak mengatasi masalah yang lebih besar, yaitu kebutuhan membeli ember baru yang lebih awet.
Ember plastik itu, pada titik tertentu, seperti keramik. Sekali rusak, tidak akan pernah sama lagi. Jepang punya seni memperbaiki keramik yang pecah. Seni yang membuat kerusakan terlihat indah. Namun, meskipun indah, hakikatnya tidak berubah, yaitu keramik itu rusak.
Ember plastik sama seperti itu. Menambalnya dengan lakban khusus memang pertolongan pertama. Namun, kebocoran itu hanya ditutup sementara. Ketika tekanan di dalam ember semakin kuat, sementara bahan yang digunakan terlalu murahan, kebocoran akan berubah menjadi sobek. Tidak akan ada air (baca: manfaat) yang bisa ditampung.
Saya sadar kalau kalimat di atas akan menyakiti hati fans Arsenal. Apalagi untuk mereka yang masih berharap kepada Mikel Arteta. Namun, sebuah kenyataan tetap harus disampaikan meski bakal terasa menyayat hati.
Saya pribadi tidak membenci Arteta. Jujur saja, saya juga masih berharap Arteta sukses bersama Arsenal. Saya berharap dia bisa memperbaiki skuat, mengubah ide cara bermain, dan mengembalikan The Gunners ke telatah papan atas seperti seharusnya.
Saya tidak keberatan Arteta dipertahankan asal dua syarat terpenuhi. Pertama, manajemen mendukung pelatih asal Spanyol itu sepenuhnya. Bukan soal membeli pemain, tetapi memperkuat struktur gaji juga. Kedua, dia tidak lagi keras kepala dan mau mengubah cara bermain tim secara keseluruhan.
Jika dua syarat itu tidak terlihat menjelang penutupan jendela transfer musim panas, analogi ember bocor di atas bakal menemui kebenarannya. Manajemen Arsenal bekerja seperti siput. Terlalu lamban untuk segera menjual pemain. Akibatnya, Arteta dan tim perekrutan pemain baru tidak bisa bekerja dengan leluasa.
Lantaran tidak bisa menjual pemain yang terlalu medioker, Arsenal tidak bisa melonggarkan gaji. Selain itu, kuota pemain untuk didaftarkan juga terlalu besar. Perampingan skuat ini seharusnya sudah selesai dikerjakan sejak musim lalu. Namun, sekali lagi, manajemen bekerja seperti siput. Lamban.
Di luar sana, masih banyak yang “memaafkan” Arteta karena kondisi skuat yang jauh dari kata seimbang. Saya setuju dengan sikap ini. Namun, di sisi lain, tidak ada perubahan nyata dari cara bermain.
Perlu pembaca catat bahwa ide pelatih dengan kondisi skuat tidak selalu linier. Jurgen Klopp, misalnya. Pelatih Liverpool itu butuh tiga musim untuk memberi hasil. Ketika komposisi pemain yang dia butuhkan sudah komplet, Liverpool memetik buah manis dari kesabaran itu.
Namun, dalam perjalanan menuju kesuksesan, ide Klopp di atas lapangan sudah terlihat jelas. Pressing dengan intensitas tinggi menjadi fokus. Dia berani mencoba ide ini dengan pemain seadanya. Jelas, dia gagal. Namun, fans bisa melihat arah Klopp itu mau ke mana.
Berbeda dengan Arteta yang seperti tidak belajar dari musim lalu. Sisi pertahanan memang membaik. Namun, sebaliknya, lini depan menjadi bahan meme paling laris sampai sekarang.
Cara bermain Arsenal di bawah Arteta itu sederhana: membangun serangan dari bawah, alirkan bola ke dua sisi lapangan untuk memecah konsentrasi blok pertahanan lawan, kalau mendekati kotak penalti, arahkan bola ke kiri ke kaki Kieran Tierney, lalu lepas crossing. Tidak ada variasi. Tidak mempan melawan tim-tim yang bermain disiplin.
Iya, saya tahu, skuatnya tidak mendukung. Namun, bukankah keberanian untuk mencoba itu dibutuhkan semua pelatih? Semua peneliti pasti melewati fase trial and error. Dari sana, peneliti bisa mencatat mana saja yang berhasil dan mana yang gagal. Catatan itu membuat penelitian menjadi efektif.
Mengapa Arteta tidak berani mencadangkan Aubameyang tapi malah memaksanya bermain di sisi kiri? Mengapa Pepe tidak dijajal sebagai striker karena dua penyerang utama Arsenal tengah mandul? Mengala Saliba tidak diberi kesempatan? Dan masih banyak “mengapa” lainnya.
Inti dari racauan saya adalah: klub dan pelatih sama-sama punya dosa. Perbaikan harus menyeluruh. Tidak ada salahnya membeli “ember baru” kalau kebocoran ember yang lama sudah tidak bisa diperbaiki. Kalau mau cuan besar, bukankah investasi yang disiapkan juga besar?
Saat ini, keberanian untuk bertindak secara radikal mungkin jadi satu-satunya pilihan. Pada fase tertentu, sebuah insan bisnis memang harus merugi. Toh fans sendiri sudah bertaruh dan merugi sejak lama. Kini giliran klub untuk berkorban demi pertaruhan kebahagiaan fans.
Lagipula, dear Arteta dan Arsenal, hidup yang tidak dipertaruhkan, tidak akan dimenangkan, bukan?
BACA JUGA Doa Terbaik untuk Mikel Arteta dan Semua Manusia di Sekitar Arsenal dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.