MOJOK.CO – Mendukung Arsenal dan Mesut Ozil artinya siap menerima sisi munafik dalam diri manusia. Apakah imanmu sudah cukup kuat?
Dunia itu tempat yang lucu. Ah maaf, bukan dunia, lebih tepatnya manusia. Manusia adalah makhluk yang lucu dengan konotasi negatif. Kita semua, tanpa terkecuali, adalah makhluk-makhluk munafik. Mendukung satu hal, tapi mengabaikan hal lainnya. Atas nama kebebasan berpikir, kita melupakan banyak hal.
Arsenal, Mesut Ozil, dan kita semua selalu punya sisi tersebut. Kaum-kaum munafik yang dibentuk oleh banyak hal. Baik latar belakang kehidupan, sampai bisnis. Dari sudut pandang, sampai kebutuhan untuk diakui sebagai pihak yang berpikiran terbuka.
Mengaku yang paling manusiawi, tapi sebetulnya menutup mata untuk kenyataan lainnya. Di sudut hati kita, selalu ada unsur “permisif” untuk hal-hal yang kita sukai atau punya hubungan dekat.
Arsenal, bersama banyak klub, memberikan apresiasi tinggi kepada Joshua Cavallo. Dia adalah pesepak bola asal Australia yang baru saja mengumumkan kepada dunia bahwa dirinya gay. Tidak hanya klub seperti Arsenal yang memberinya apresiasi. Banyak pesepak bola juga melakukannya.
Tidak ada masalah dengan sikap Arsenal, klub Eropa lainnya, dan para pesepak bola yang mendukung Joshua. Adalah hak bagi setiap orang untuk menentukan (atau merasa) soal preferensi seksualnya. Semua orang, dengan segala pilihannya, berhak untuk bahagia, asal tidak merugikan sesama. Sesederhana itu.
Dukungan Arsenal dan banyak pihak kepada kaum marginal adalah kabar baik. Sikap ini memberi sinyal bahwa sepak bola memang universal. Milik semua orang. Tidak boleh ada pembatasan atau kebencian terhadap pilihan seseorang. Itu namanya toleransi dan tenggang rasa terhadap hak hidup manusia.
Ocehan fans yang meledek klubnya sendiri karena mendukung Joshua itu baru aneh. “Gimana kalau terjadi kontak fisik? Ngaceng, dong.” Kalimat tersebut bukan hanya jahat, tapi meniadakan hak hidup seseorang. Oleh sebab itu, saya lega melihat sepak bola ramah kepada semua orang.
Namun, di sisi lain, khususnya Arsenal, ketika mengapresiasi Joshua, artinya mereka menunjukkan sisi munafik paling paripurna. Bagaimana bisa Arsenal mendukung hak hidup untuk bahagia, tapi menutup mata kepada suara Mesut Ozil dan penderitaan muslim Uighur di Cina?
Kita sama-sama tahu, kalau mau mengapresiasi preferensi seksual seseorang, seharusnya Arsenal mengamplifikasi suara Mesut Ozil, bukan? Itu namanya keseimbangan.
Namun, Arsenal “dijebak” banyak aspek, salah satunya bisnis. Pasar Cina (dan Asia) adalah pasar potensial untuk entitas bisnis klub sepak bola profesional. Mereka memutuskan menutup telinga dari suara Mesut Ozil. Mereka “memberangus” Ozil dan menjauhkan diri dari penderitaan muslim Uighur.
Salah satu godaan terbesar manusia adalah uang. Bagi klub profesional yang mengandalkan cuan dari pasar Asia, terutama Cina, mereka tidak bisa memilih. Kemunafikan ini menyebalkan. Namun, itulah yang terjadi.
Jika Arsenal semunafik itu, jangan kita Mesut Ozil tidak. Ketika Mesut Ozil menyuarakan penderitaan muslim Uighur, dia menerima berkat dari Erdogan dengan tangan terbuka. Presiden Turki itu menjadi wali nikah mantan pemain Real Madrid tersebut.
Erdogan bukan presiden yang bersih. Dia dikenal sebagai salah satu pemimpin otoriter di dunia. Banyak orang yang mengasihi beliau, banyak juga yang membencinya. Ada yang menyebutnya Presiden hebat, ada pula yang membencinya karena anti terhadap kritik. Bahkan mereka yang mengkritik Erdogan bisa masuk penjara.
Jika Mesut Ozil membenci penindasan, kenapa dia menerima berkah dari seorang penindas? Latar belakang kehidupan Ozil yang membuatnya seperti itu. Meskipun berpaspor Jerman, Ozil adalah native Turki. Identitasnya itu yang membuatnya bisa menerima Erdogan sebagai “bapak wali”.
Kemunafikan ada di setiap lini kehidupan. Bahkan mungkin hari ini saya atau kamu sudah membuat keputusan yang mengarah ke sifat negatif itu. Namun, kita permisif karena banyak alasan.
Mencintai sebuah klub dan pemainnya adalah usaha untuk memisahkan hal-hal negatif dari rasa kasih. Sebuah usaha yang sangat berat. Ketika kita jatuh hati kepada mereka yang munafik, bukankah kita juga tengah menjadi sosok munafik?
Mendukung Arsenal yang mengapresiasi kejujuran seseorang, mungkin sedikit mengganggu kepercayaan dan iman kamu. Namun, ketika mau berpaling ke klub lain, kamu menemukan kemunafikan lainnya. Pada akhirnya, kita terjebak dalam kemunafikan itu sendiri.
Rumit. Bikin bimbang. Dilema. Namun, bukankah yang namanya kehidupan memang seperti itu? Sebuah perdebatan yang tidak ada ujungnya. Sekian renungan Jumat kali ini.
BACA JUGA Ingatan Soal Hagia Sophia dan Si ‘Poker Face’ Sultan Erdogan dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.