MOJOK.CO – Chelsea dan Liverpool memberi pelajaran soal keberanian dan determinasi. Contoh bagus untuk tim bekas papan atas: Arsenal.
Mendengarkan Piyu bernazar untuk sukses sebelum Padi terbentuk, saya jadi yakin bahwa entitas butuh titik balik. Satu momen yang tak terduga, mengubah jalan kehidupan. Chelsea dan Liverpool menemukannya, titik balik yang mewarnai drama akhir musim Liga Inggris.
Drama itu juga terjadi di papan tengah. Arsenal, untuk kali pertama dalam 25 tahun, tidak akan bermain di kompetisi Eropa. Sebuah drama komedi, mirip opera sabun murahan, kesialan yang dibikin sendiri. Arsenal terjerembab, terlempar dari habitatnya di papan atas.
Lewat 2 paragraf di atas kamu bisa menarik satu benang merah, yaitu titik balik. Chelsea dan Liverpool, dengan segala daya dan pengorbanan, menemukannya. Arsenal, tak juga menemukan titik balik itu, tak punya daya untuk merangsek ke papan atas lagi.
Saya masih ingat betul ketika masa-masa Chelsea dan Frank Lampard hampir habis. The Blues merasa legendanya bukan sosok yang tepat untuk mengembalikan kejayaan mereka beberapa musim silam. Di satu sisi, The Blues menunjukkan diri bahwa mereka bukan tim yang main-main dengan ambisi. Di sisi lain, mereka dihujat karena tak punya cadangan kesabaran untuk legendanya sendiri.
Namun, sepak bola berjalan dengan langkah angkuh. Terkadang, sepak bola tak punya sisi romantis untuk tema-tema kembalinya seorang legenda. Ketika tak memberi hasil yang diharapkan, sepak bola industri ini tak akan memberi kesempatan kedua. Kejam? Bisa jadi. Namun, ambisi dan masa depan kudu dijaga.
Keberanian itu yang membantu Chelsea berjumpa dengan Thomas Tuchel. Dia diragukan, sosok pelatih yang masyhur dengan konfrontasi dengan pemain. Namun, ternyata, sosok keras itu yang memicu titik balik Chelsea musim ini. Tuchel, seperti berhasil “menjahit” para pemain branded. Kerja budaya yang gagal dilakukan Lampard.
Titik balik. Seperti mesin perang yang sudah panas, Chelsea menerjang Liga Inggris. Memang, di akhir musim, mereka butuh “keajaiban”. Konyolnya, keajaiban itu lahir dari “blunder Leicester City”, tim yang mengalahkan mereka di final FA Cup di mana salah satu pemainnya melecehkan nama Chelsea. Dan ingat, saat ini, The Blues sudah di final Liga Champions.
Titik balik Liverpool. Setelah Liga Inggris usai, salah satu yang ramai di timeline adalah keajaiban Alisson Becker. Gol sundulannya di menit akhir, seperti memantik kembali api Liverpool. Gelora yang membantu mereka mendominasi Liga Inggris musim lalu dan berbuah manis juga di Liga Champions.
Mungkin banyak yang menyelepelekan gol Alisson. Gol yang “hanya” dibikin kiper apa hebatnya? Namun, bagi Liverpool, senggolan kepala Alisson dan bola adalah wujud determinasi. Melewati separuh musim dengan skuat compang-camping, badai cedera, pemain baru yang tak jua beradaptasi, satu sundulan Alisson mengingatkan rekan-rekannya bahwa determinasi bisa menyelesaikan separuh masalah.
Sebagai fans sepak bola, menyimak drama di akhir musim ini membuat saya bersyukur. Sekali lagi, sepak bola memberi inspirasi. Chelsea mengajarkan arti keberanian mengambil keputusan. Kadang seperti berjudi, tapi setidaknya judi yang terukur. Liverpool, untuk kesekian kali, mempertontonkan bahwa hidup butuh determinasi.
Bagi Liverpool, kalah adalah hal yang wajar. Satu hal yang tidak wajar adalah lupa caranya bangkit… dan kesadaran ini seperti menampar saya sebagai fans Arsenal.
Arsenal seperti tak punya daya untuk bangkit dari masalah yang sebetulnya sudah terpetakan. Misalnya lini depan, di mana Arsenal sering kesulitan untuk mencetak skor ketika kondisi sebetulnya memihak mereka. Ketika lini belakang sudah agak membaik, lini depan butuh suntikan tenaga.
Di ujung Liga Inggris, seharusnya Arsenal sadar bahwa solusi mereka ada di dalam diri. Nicolas Pepe, ketika bermain dengan bek kanan yang “bisa mendukung”, menjadi lebih produktif. Kemampuan menembak dan mencari ruang di kotak penalti sudah membaik. Bukankah ini solusi?
Arsenal sudah pernah menemukan solusi seperti ini dalam diri Robin van Persie, salah satu striker produktif pada zamannya. Tidak ada salahnya, revolusi itu dibidani dari pergeseran peran Pepe, dari winger ke striker. Setengah masalah bisa dikatakan sudah terpecahkan.
Memang, semua ini tidak memberi jaminan. Namun, solusi tanpa dicoba tidak akan menjadi solusi. Aksi mencari solusi adalah soal keberanian “untuk mencoba”, bukan cuma beretorika. Bukankah Arsenal membutuhkan titik balik seperti Chelsea dan Liverpool?
Keberanian mengubah Pepe menjadi striker seperti Chelsea berani berpisah dengan legenda. Determinasi “untuk mencoba”, seperti Liverpool yang melewati separuh musim dengan “skuat yang cacat”.
Pada akhirnya, Liga Inggris musim ini adalah soal keberanian untuk mencoba. Jago saja tidak cukup. Tanpa keberanian untuk mencoba, saya rasa, Manchester City dan Manchester United tak akan mendominasi liga. Keduanya punya masalah masing-masing. Namun, keduanya berani mencoba hal yang baru demi perubahan nasib.
Catatan akhir musim ini saya akhiri dengan rasa lega. Sebuah musim yang penuh drama. Musim yang tidak mudah karena pandemi dan drama-drama tak perlu. Sampai jumpa musim depan, di mana drama baru pasti tersaji.
BACA JUGA Liverpool Menjadi Manusia Unggul Bersama Jurgen Klopp dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.