MOJOK.CO – Jika rasa kemanusiaan Bonek dan LA Mania tidak mengendap di hatimu, ingat selalu kalimat-kalimat indah dari Ustaz Abdul Somad dan Cak Nun.
Tanggal 5 Agustus yang lalu, Persebaya Surabaya menjamu Persela Lamongan di Stadion Gelora Bung Tomo. Derbi Jawa Timur itu berakhir untuk kemenangan Persebaya dengan skor 3-1. Namun, bukan kemenangan itu saja yang patut dirayakan. Ada satu hal membahagiakan yang perlu untuk terus dirawat.
Yang saya maksud adalah sejuknya persaudaraan Bonek dan LA Mania yang bersepakat untuk mengakhiri pertikaian. Setelah 15 tahun berseteru, Bajul Ijo dan Joko Tingkir saling berangkulan mesra, menonton sepak bola dengan bahagia. Keduanya melupakan luka, dan memutuskan berjalan bergandengan bersama-sama.
Perdamaian antara Bonek dan LA Mania adalah contoh konkret bagi semua elemen suporter yang tengah bertikai. Tinggal mencotoh saja proses rekonsiliasi Bonek dan LA Mania. Keduanya melupakan dendam dan bersatu. Uniknya, bukan sepak bola murni yang menyatukan mereka, melainkan rasa kemanusiaan yang tinggi.
LA Mania bersimpati kepada perjuangan Bonek yang tengah mencari keadilan pada tahun 2016 yang lalu. Rasa kemanusiaan itulah yang melandasi perdamaian. Suporter, pada dasarnya adalah manusia biasa. Oleh sebab itu, rasa kemanusiaan yang harus dinomorsatukan, bahkan sebelum sepak bola atau identitas suporter itu sendiri. Namun, yang namanya manusia, yang seharusnya paham dengan makna kemanusiaan, terkadang enggan menempuh jalan sejuk itu. Lebih banyak yang suka merawat bara dendam dan api permusuhan atas nama “identitas”.
Nah, jika contoh sejuk yang ditunjukkan Bonek dan LA Mania masih gagal mengendap di hati para suporter, mari kita tengok wejangan dari orang-orang yang kompeten lainnya. Saya berbicara soal agama, yang saya yakin bisa mempersatukan suporter apabila disampaikan dengan pas. Ustaz Abdul Somad dan Muhammad Ainun Nadjib atau Cak Nun pernah menyampaikan dakwah yang begitu berkesan soal sepak bola. Paling tidak untuk saya.
Dalam sebuah acara Maiyah bulan April yang lalu, Cak Nun menyebutkan bahwa tidak ada orang yang bertengkar karena agama. Begitu pula dengan suporter sepak bola yang sebetulnya tidak bertengkar karena satu pihak “Jogja” sementara lainnya “Solo”. Yang beliau maksud tentu pendukung PSIM Yogyakarta dan Persis Solo.
Menurut Cak Nun, manusia (suporter) bertengkar karena ada, “Ada yang tidak jujur, ada yang tidak adil, ada yang serakah, ada yang memanipulasi, ada yang menikam dari belakang. Jadi, sebenarnya ada yang merusak keseimbangan di antara manusia.”
Dari kalimat Mbah Nun tersebut kita (sebagai suporter) seharusnya sadar bahwa sebetulnya banyak orang yang lebih suka menonton sepak bola dengan perasaan damai ketika berangkat menuju stadion. Namun, lantara karena ada yang memanipulasi dan menikam dari belakang, bara api permusuhan awet terjaga.
Memanipulasi bisa dianalogikan seperti provokator yang mendorong orang lain untuk terus bertengkar. Media sosial menjadi lahan yang provokator ini gunakan untuk terus berbicara, memperbincangkan tentang permusuhan yang harus terus dijaga karena alasan identitas.
Bagian “menikam dari belakang” tentu tidak bermakna harafiah. Menikam dari belakang adalah kebiasaan para provokator yang memanas-manasi orang lain kemudian menjadi yang pertama lari ketika kerusuhan pecah. Mereka akan kembali ke media sosial dengan identitas yang tersamar untuk bertepuk tangan ketika orang lain di lapangan terluka karena kerusuhan.
Marilah jaga kewarasan. Sudahi pertengkaran, permusuhan. Ingat kembali Bonek dan LA Mania yang berdamai karena kemanusiaan. Cak Nun juga pernah menegaskan lewat sebuah forum Maiyah bersama BCS, suporter PSS Sleman. Mbah Nun berkata:
“Di manakah sebenarnya posisi sepak bola dalam hidup kita? Jawaban atas pertanyaan ini harapannya bisa membuat kita menempatkan sepak bola sebagai sumber energi untuk bebrayan, untuk persaudaraan, untuk kegembiraan, serta untuk kelegaan dalam hidup. Sehingga, kita tidak gampang kerengan.”
Sepak bola adalah sumber kegembiraan, bahkan persaudaraan. Mari kita letakkan “tanda titik” di akhir kalimat tersebut. Jangan tambahi dengan konflik identitas, yang kamu tahu sendiri selalu menelan korban jiwa. Sudah cukup. Satu nyawa jauh tidak ternilai dibandingkan konflik identitas yang semu itu.
Lain Cak Nun, lain pula Ustaz Abdul Somad. Ustaz berusia 44 tahun tersebut menegaskan bahwa hiburan berupa sepak bola atau olahraga lainnya itu boleh saja. Namun, sebaiknya jangan sampai melupakan Tuhan.
“Boleh nggak anak muda menjadi suporter sepak bola? Anak muda jam dua malam salat Itikaf bersama Ustaz Hanan Attaki. Tiba-tiba di sana ada “Goooooolll!” Manchester United, Liperpool, Jupentuuss, Real Madrid. Boleh apa nggak boleh? Ini permainan, hiburan. Hiburan boleh nggak dalam Islam? Main bola? Silakan! Tapi waktunya kapan? Ini main bola dari jam tiga sore sampai jam sembilan malam. Salat Ashar hilang. Salat Maghrib delete. Salat Isya error. Gimana mau menghadap Allah SWT? Anak muda harus tetap berolahraga, asal tidak melalaikan salat.”
https://youtu.be/9w94D_PwIUc
Ada dua penekanan penting dari kalimat Ustaz Abdul Somad di atas. Pertama, soal permainan atau hiburan. Sepak bola adalah olahraga yang kompetitif. Ada suporter yang terlibat di dalamnya. Ada aura persaingan dan “harga diri” di sana. Namun, meskipun persaingan itu panas, makna hiburan dan permainan tidak boleh hilang. Orang datang ke stadion untuk mencari hiburan. Tentu yang menyenangkan hati, bukan memukuli orang lain.
Penekanan kedua adalah “tidak melalaikan salat”. Kalimat ini penting karena “tidak melalikan salat” artinya tidak lalai dengan Tuhan. Mengingat Tuhan, merasa Tuhan selalu dekat dengan kita adalah cara ampuh untuk meredam amarahmu. Sebelum melempar batu di tangan kananmu, ingat bahwa Tuhan ada di belakangmu. Ingat perasaan kecewa Beliau karena kamu memilih mengingat amarah ketimbang cinta kasih yang diajarkan Tuhan.
Jika rasa kemanusiaan Bonek dan LA Mania tidak mengendap di hatimu, ingat selalu kalimat-kalimat indah dari Ustaz Abdul Somad dan Cak Nun.