MOJOK.CO – Rancangan Perda Poligami Aceh mau dibikin katanya untuk menyelamatkan perempuan dari nikah siri. Hmmm, apa betul menyelamatkan?
Beberapa waktu yang lalu, saya membaca berita yang isinya sering saya dengar. Sesering itu pula saya tetap terkejut, heran, dan tak habis pikir. Konon, Pemerintah Aceh sudah menyerahkan draf Perda yang juga mengatur tentang poligami. Maksimal empat istri, jika ingin lebih, ceraikan satu dahulu.
Tentu, dan sudah sangat tentu, saya tidak akan membahas tentang dalil-dalil, lha wong saya nggak menguasai dalil. Saya juga tidak akan nyerempet hal-hal yang relijies karena takut digeruduk dan dihujat, meski harusnya jika memang mau dakwah, bukan dengan dihujat, tapi dibanjiri oleh siraman rohani yang menyejukkan.
Di sini, saya hanya akan menyampaikan uneg-uneg sekaligus rasa terheran-heran, kok bisa di zaman 4.0 ada perempuan yang kuat batinnya dipoligami? Bisa jadi kuat, mungkin selongsong batinnya terbuat dari adamantium atau vibranium, logam terkuat di alam semesta: semesta Marvel Comic Universe (MCU). Bagi saya, mereka-mereka itu endurance batinnya malampaui Wonder Woman, Okoye, dan Xena The Warrior Princess.
Namun, ketika membahas perempuan-perempuan hebat (bukan kuat, ya) saya teringat seorang sufi perempuan yang tersohor: Rabiah al-Adawiyah. Rabiah seorang sufi besar, seorang wali yang punya banyak karomah. Akan tetapi, entah mengapa namanya tidak setenar sufi laki-laki.
Dalam sebuah riwayat, diceritakanlah percakapan Rabi’ah al-Adawiyah dengan Hasan Basri. Mereka sama-sama berasal dari Basrah, Irak. Rabiah bertanya pada Hasan: “Berapa jumlah akal yang diberikan Allah pada manusia?” Jawab Hasan, “Sepuluh. Diberikan pada laki-laki sembilan, dan satu untuk perempuan.” Lalu Rabiah melanjutkan pertanyaannya: “Berapa jumlah syahwat yang diberikan Allah?” Hasan menjawab, “Sepuluh. Yang sembilan untuk perempuan, dan satu untuk laki-laki.”
Dengan raut datar, Rabiah memberikan pertanyaan retoris: “Kamu ini bagaimana, Hasan, satu syahwat dikawal oleh sembilan akal saja masih nggak sanggup. Aku, satu akal untuk mengontrol sembilan syahwat saja sanggup.” Rabiah al-Adawiyah adalah perempuan sufi yang menghabiskan sisa hidupnya dengan berzuhud. Dalam dadanya hanya diisi dengan cinta kepada Allah.
Percakapan di atas adalah percakapan insinuatif. Rabiah menghendaki laki-laki belajar mengontrol syahwatnya agar tidak “brangasan” atau ugal-ugalan. Ini gambaran yang masih sangat relevan hingga sekarang. Dipupuk oleh tradisi patriarki selama ribuan tahun, makin mapanlah hak istimewa laki-laki atas perempuan di wilayah publik maupun domestik. Hingga muncul aturan poligami yang di-Perda-kan. Lantas, sepenting apa kok sampai di-Perda-kan?
Salah satu anggota DPR Aceh mengatakan kira-kira begini: Daripada nikah siri, ya mending poligami yang dicatatkan. Berdasarkan itu pula, diselundupkanlah pembelaan artifisial bahwa poligami bisa menyelamatkan perempuan dari nikah siri. Ya, intinya sama-sama permaduan, sih. Begitu kira-kira salah satu alasannya, selain segudang alasan dalil relijies yang tidak akan saya lawan karena saya belum cakap ilmu.
Penyelamatan Hipokrit
Perempuan yang sadar, sepanjang hidupnya akan berjuang keluar dari arus patriarki dan bebas dari hak istimewa laki-laki. Kebudayaan patriarkis ini sebenarnya kebudayaan yang dikondisikan agar perempuan terus tergantung pada laki-laki, terutama setelah berpasangan. Pengkondisian itu melahirkan situasi yang membuat perempuan sulit mengakses hak publiknya seperti pendidikan dan kesejahteraan. Sehingga posisi perempuan masih dinomorduakan, ditambah dengan situasi lain tentang peran negara dalam kesejahteraan rakyatnya.
Penomorduaan perempuan juga hadir di sistem peradilan (Pengadilan Agama). Dalam peradilan agama, satu saksi perempuan tidak bisa dinyatakan sebagai saksi sehingga jika saksi itu seorang perempuan maka harus ada dua saksi perempuan. Sedangkan laki-laki boleh satu saja. Perempuan sudah dikepung oleh banyak hal. Dari kamar tidur (privat) hingga urusan kebijakan publik sebagaimana Perda yang mengatur poligami.
Di bagian ini, saya sedikit mengungkap keanehan cara berpikir tentang penyelamatan perempuan. Dalam pelajaran bahasa kita mengenal namanya logika. Dalam logika dikenal dengan banyak sekali ragam kesalahan logika. Pernyataan dan kesimpulan bahwa poligami itu “menyelamatkan” perempuan, bagi saya adalah kekeliruan logika. Pasalnya, logika penyelamatannya berdiri di atas perahu bocor.
Daripada nikah siri maka poligami. Hipotesis semacam ini penuh keseolah-olahan: menyelamatkan perempuan dari sesuatu hal yang tak-selamat (nikah siri) untuk diselamatkan dengan sesuatu yang tak bisa menyelamatkan (poligami). Jelas, ini bukanlah penyelamatan yang sejati.
Alur logika pemikirannya hanya berhenti sebagai antitesis (izin poligami) tanpa sintesis. Ketiadaan sintesis (sebagai jalan keluar objektif) tidak ditemukan karena akar penyebabnya disimpulkan secara keliru. Ketika tesis permasalahannya adalah nikah siri, lalu menjadikan poligami sebagai antitesis (jalan keluar) di situ pemikiran mulai terperosok dalam kubangan logika falasi.
Tentang poligami, saya juga teringat Zeus. Bukan karena Zeus pernah berselingkuh dengan Themis. Meski perselingkuhan itu juga seharusnya menyakitkan bagi saya sebagai seorang advokat (kaum yuris). Pasalnya, menerima kenyataan bahwa Dewi Keadilan (Themis) bukannya menegakkan keadilan, malah berselingkuh. Tapi bukan itu yang mau saya ceritakan tentang Zeus.
Dalam mitologi Yunani paska era Titan, manusia pada awalnya hidup sudah berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan (abaikan hubungan binernya dalam mitologi ini, ya). Sejak manusia mulai sombong, Zeus marah, lalu memisahkan semua yang sudah berpasang-pasangan, berpencar di tempat yang saling menjauh. Sehingga, sejak saat itu, muncul kebutuhan manusia untuk mencari pasangannya.
Jika disambungkan dengan sistem perkawinan permaduan (poligami), pendapat saya kepada laki-laki yang detik ini belum menemukan pasangannya, mungkin pasanganmu berkumpul dengan pasangan orang lain dalam satu perkawinan poligami dengan satu laki-laki.
Nabi Muhammad Melarang Ali bin Abi Thalib Berpoligami
Saat ini, jarak hidup kita sudah sangat jauh dengan era kenabian, seharusnya segala sesuatu berkaitan dengan ajaran tidak dibaca hanya secara tekstual, dan meninggalkan konstekstualnya. Karena pembacaan atas konteks juga tidak bisa dipisahkan dengan teks.
Jika hanya tekstual, kenapa tidak merujuk pada sikap Nabi Muhammad yang melarang menantunya, Ali bin Abu Thalib, berpoligami? Memang, legitimasi harus diarahkan agar tidak merugikan kepentingan subjektif. Itu yang membuat logis mengapa Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual masih ngos-ngosan masuk ke prolegnas.
Atau, jika data Komnas Perempuan mengatakan setiap hari ada 35 perempuan yang menjadi korban kekerasan dan pelecehan seksual (berarti tiap dua jam ada tiga perempuan menjadi korban). Mengapa tidak membuat Perda yang melindungi perempuan dari kekerasan seksual dan pelecehan (pencabulan)? Mengapa justru Perda yang salah satu isinya mengatur poligami yang didahulukan?
Merujuk kembali pada kisah Ali bin Abu Thalib dan Fatimah az-Zahra, perempuan yang dimintakan izin poligami boleh menolak. Apalagi poligami hukumnya tidak wajib. Dan jika suami memaksa, sedangkan istrinya tidak mau, ya, lebih baik berpisah. Toh, selongsong hati tidak terbuat dari adamantium atau vibranium yang sanggup menerima gempuran perkawinan permaduan.
Katakan saja: Sakit hati adek, Bang!