Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Pojokan

Sudahlah, Tak Perlu Sensi Kalau Ditanya Kapan

Audian Laili oleh Audian Laili
10 Oktober 2018
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Ada hati yang sebelumnya memang telah terluka, sehingga merasa sensitif dan sakit hati dengan pertanyaan kapan. Padahal, kalau sudah punya jalan hidup yang diyakini, seharusnya nyantai aja.

Kenapa ya, generasi kita jadi mudah sensitif ketika ditanya kapan? Kok kayaknya kalau ada orang yang tanya-tanya terkait dengan kapan, kelihatannya langsung baper. Kemudian menganggap orang yang bertanya itu nggak punya sopan santun, dan mengusik ranah privasinya.

Masalah kapan didaku menjadi urusan pribadi dan tidak boleh diganggu oleh siapa pun. Bahkan oleh keluarga terdekatnya, yakni orang tua.

Padahal, dulu sepertinya orang tua kita nggak gampang baper ya dengan pertanyaan semacam itu. Saya kira, mereka lebih bisa menghadapi berbagai pertanyaan yang datang dengan baik, dan tidak menjadikan hal itu sebagai masalah berarti.

Hidup sudah berubah? Iya, saya tahu. Dulu emang nggak ada teknologi kayak sekarang. Yang bisa bikin kita belajar dengan mudah dari belahan dunia mana pun. Dulu sih memang hampir semua pemikiran orang tua kita, direcokin sama orang tuanya. Jadi ya, pantes-pantes aja, kalau jatuhnya bakal nurut.

Disuruh ini dan itu bakal inggih-inggih mawon. Ya, gimana ya, orang tua memang dianggap lebih berpengalaman, lebih tahu banyak hal, lebih banyak merasakan asam garam. Halah.

Nah, sekarang, karena bisa belajar dari mana aja, jadinya, ehm, boleh dibilang lebih mudah berontak, nggak?

Jadi, saya mau nyalahin si teknologi terkait hal ini. Maaf ya, Beb. Habisnya kamu sih bikin orang-orang semakin sok individualis. Pertanyaan simpel semacam itu, dianggap sebagai basa-basi tendesius nan menyakitkan. Tidak ada pikiran bahwa itu adalah bentuk perhatian. Hidupku ya hidupku. Nggak usahlah kamu sok-sokan ikutan ngurusin.

Ya gitu. Namanya udah sensitif. Jadi semuanya dilihat dengan negative thinking muluk. Sebenarnya nih, yaudah lah ya. Nyantai aja kalau ditanya kapan. Justru ini menjadi trigger-mu untuk menunjukkan diri.

Lagian, dunia ini bukan tentang kamu doang. Kok seakan-akan semua harus ngertiin kamu. Dunia ini udah keras, woy! Jadi jangan ikutan keras juga. Santai aja lah dengan setiap pertanyaan yang datang.

BTW, jangan-jangan, setelah ini, karena pertanyaan semacam itu dianggap sensitif. Bakal bikin orang takut buat bertanya. Ya gimana, katanya pertanyaan kayak gitu menyakitkan. Terus yang terjadi kemudian–ntah kapan–orang-orang jadi memilih untuk tidak bertanya.

Nah loh. Yaudah ngobrol aja di chat. Saling komentar aja di sosial media. Perang dan debat aja sekalian di sana. (Ah kamu lebay, deh!) Lah, kalau tanya ini atau tanya itu, katanya serba sensitif. Gimana, sih!

Pertanyaan semacam, kapan Lulus? Kapan dapat kerja? Kapan Nikah? Kapan Punya Anak? Kapan Punya Anak Lagi? Katanya sensitif.

Lalu pertanyaan semacam, kamu pilih siapa di Pilpres? Atau pendapat kita tentang politik, juga bisa jadi sensitif kalau ternyata beda pandangan politik.

Iklan

Jangan-jangan, habis ini cuma tanya, “Udah makan, belum?” Bisa jadi sensitif. Karena dianggap terlalu menganggu ranah privasi saluran pencernaannya.

Saya pernah nih, ketemu dengan teman saya yang udah lama nggak ketemu. Saking takutnya basa-basi yang ingin saya keluarkan bakal nyinggung dia, saya memilih diam dan menunggu untuk ditanya.

Saya memilih berhati-hati karena sebelumnya di sosial media–sebut saja Instagram Story–dia habis nyinyirin temen dia karena banyak tanya tentang kapan ke dia.

Nah, saya kan jadi keder, ya. Takut kalau tanya-tanya, nanti juga bakal dinyinyirin di sosmednya. Apalagi kalau nyinyir di sosmednya sambil bilang sok-sokan pake kata, “No mention, ya”. Ha, mbel. Itu menyakitkan sih. Kalau saya membaca sendiri, tentang diri saya yang dianggap menyebalkan.

Sebenarnya, saya mau tanya, skripsiannya sudah sampai mana. Tapi takut, cuma dianggap basi-basi, toh juga nggak bisa bantuin apapun. Saya mau tanya, kok putus sama pacarnya sejak SMA–karena kondisi terakhir, foto-foto bersama sang kekasih di Instagram sudah dihapus. Tapi takut, dikira cuma pengin cari bahan gosip.

Mau nyeritain tentang teman kami lainnya, nanti jatuhnya ghibah. Kalau mau nyeritain tentang diri sendiri dulu, nanti dikiranya sombong. Dan dianggap ‘dunia harus tertuju padaku’. Nah loh, serba salah kan jadinya.

Saya mau tanya apa coba? Sedangkan saya dan dia, bener-bener nggak ada keterkaitan lainnya yang kira-kira bisa dibahas. Lantas, harus bagaimana mencairkan suasananya?

Jadi, untuk kamu-kamu yang menganggap kalau ditanya kapan itu sensitif lalu merasa sakit hati, sudahlah. Akuin aja kalau kamu emang belum bisa mencapainya. Harusnya nih, kalau kamu emang punya jalan hidupmu sendiri yang tidak sesuai dengan standar mereka, yaudah sih. Nyantai aja pas ditanya macem-macem kayak gitu.

Kalau kamu merasa sakit hati, itu tandanya, EMANG KAMU GAMPANG BAPER!!1!!1! Maksudnya gini, itu tanda sejak sebelumnya, di dalam hati kamu itu, sudah ada yang terluka, dan kamu belum sanggup untuk menerima dirimu sendiri.

Nah, pas ditanya, lukanya itu semacam kebuka lagi dan nggak sengaja kena air jeruk. Perih kan jadinya? Duh, sumpah jadi ngilu bayanginnya. Hahaha.

Sudahlah, jangan terus-menerus persalahkan orang lain. Ini hanya tentang dirimu sendiri. Kita tuh nggak bisa mengontrol orang lain harus gimana-gimana. Yang bisa kita lakukan, hanyalah mengontrol diri sendiri. Please ya, nggak usah lagi sok-sokan sakit hati karena ucapan orang lain.

Yang perlu kita sadari sekarang, pertama, kita nggak bisa terus menerus membahagiakan mulut tetangga ataupun tetangganya tetangga. Kedua, kita nggak bisa hidup untuk semua orang. Tuh, diinget dua hal simpelnya. Biar kita nggak gampang sakit hati dengan pertanyaan yang dianggap kurang sopan itu.

Jadi, tak perlu melarang orang lain untuk bertanya kapan. Dampak sakit hati itu, masalahnya bukan pada orang yang bertanya. Tapi pada kita, yang ternyata belum menerima diri sendiri.

 

Terakhir diperbarui pada 23 Februari 2019 oleh

Tags: Baperkapan lulusKapan Nikahsensitif
Audian Laili

Audian Laili

Redaktur Terminal Mojok.

Artikel Terkait

Karen’s Diner Sudah Sesuai Budaya Indonesia, Body Shaming Misalnya MOJOK.CO
Esai

Karen’s Diner Sudah Sesuai Budaya Indonesia, Body Shaming Misalnya

18 Desember 2022
Lebaran 2022: Menanti Ibu Bertanya Kapan Nikah MOJOK.CO
Esai

Lebaran 2022: Menanti Ibu Bertanya Kapan Nikah

3 Mei 2022
Kolom

Habib Kok Gitu? Udah Nggak Pakai Jubah, Malah Aktif YouTube-an Lagi

15 April 2021
ketakutan orang indonesia hal yang sering ditakuti bikin takut orang indonesia daftar mojok.co
Pojokan

5 Hal yang Paling Sering Jadi Ketakutan Orang Indonesia

15 Januari 2020
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

'Aku Suka Thrifting': Dari Lapak Murah hingga Jejak Ketimpangan Dunia dan Waste Colonialism.MOJOK.CO

‘Aku Suka Thrifting’: Dari Lapak Murah hingga Jejak Ketimpangan Dunia dan Waste Colonialism

1 Desember 2025
Kuliah Jurusan Pendidikan Bahasa Mandarin di Unesa. MOJOK.CO

Sulitnya Masuk Jurusan Bahasa Mandarin Unesa, Terbayar usai Lulus dan Kerja di Perusahaan Tiongkok

3 Desember 2025
Lulus S2 dari UI, resign jadi dosen di Jakarta. MOJOK.CO

Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar

5 Desember 2025
Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

30 November 2025
pendidikan, lulusan sarjana nganggur, sulit kerja.MOJOK.CO

Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada

5 Desember 2025
waspada cuaca ekstrem cara menghadapi cuaca ekstrem bencana iklim indonesia banjir longsor BMKG mojok.co

Alam Rusak Ulah Pemerintah, Masyarakat yang Diberi Beban Melindunginya

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.