MOJOK.CO – Di Indonesia, hanya karena sebuah jenis makanan, bisa dianggap berbeda dan sulit diterima begitu saja. Seperti halnya orang yang tidak bisa makan nasi.
Jika ada warga negara Indonesia yang dari lahir hidup di Indonesia namun tidak bisa makan nasi, pasti dia akan menjadi bulan-bulanan oleh mayoritas orang yang mengenalnya. Pertanyaan semacam, “Kok bisa sih nggak makan nasi? Apa ya kenyang kalau makan?” akan menjadi pertanyaan yang muncul setiap ia mengungkapkan bahwa dia tidak makan nasi.
Bagaimana tidak? Indonesia adalah sebuah negara yang menjadikan beras sebagai bahan makanan utama. Lantas, memiliki kebiasaan bahwa, “Jika belum makan nasi—padahal sudah makan mie ayam dan dan gado-gado, itu artinya belum makan.” Bukan begitu?
Tidak mengherankan jika kemudian konsumsi nasi di Indonesia disebut-sebut menjadi yang terbesar di dunia.
Lalu, bagaimana jika kebiasaan yang sudah mendarah daging itu, tidak menjadi kebiasaan bagi sebagian orang Indonesia yang tergolong, “tidak makan nasi”, “takut makan nasi” atau “hanya makan nasi dalam kondisi tertentu”?
Ya tidak ada masalah apa-apa.
Meskipun nasi memang menjadi makanan pokok orang Indonesia yang selalu cocok disandingkan olek lauk apa saja—bahkan steak sekalipun—namun kita masih punya begitu banyak bahan makanan lainnya yang dapat mengganti nutrisi yang dimiliki oleh si nasi ini.
Begini, nasi merupakan jenis makanan, di mana kalau dalam piramida makanan, dia berada di bagian kedua dari bawah—setelah air putih—karena harus selalu dikonsumsi setiap hari oleh tubuh. Di balik semua nutrisi dan manfaatnya, bukan artinya dia tidak dapat digantikan. Cek saja tabel piramida makanan yang biasanya ada di kartu KMS (Kartu Menuju Sejahtera) punya bayi dan balita yang biasanya dibawa pas imunisasi. Si nasi ini juga bersanding dengan biji-bijian lain semacam jagung dan gandum. Itu artinya apa, Sayang? Tak ada masalah jika ia digantikan dengan biji-bijian yang lain.
Sesungguhnya, sebuah pergaulan yang seperti mengharuskan tiap-tiap orang Indonesia makan nasi, semacam menganggu hak asasi manusia dalam menentukan makanannya sendiri. Lha wong teman-teman kita di Timur makan sagu juga nggak masalah. Lantas, kenapa harus dipaksa untuk makan nasi, lalu harus membuka lahan pertanian yang cuma bikin hutan mereka rusak? Itupun ketika sudah ditanam padi, masih belum tentu panennya berhasil.
Saya perhatikan, jika ada seseorang dalam sebuah perjamuan yang tidak nampak mengambil nasi untuk menemani lauk lainnya, maka orang lain akan mengatakan, “Kenapa nggak makan nasi? Lagi diet, ya? Takut gendut?” Dengan nada yang terkadang menjengkelkan.
Memang sih, nasi ini termasuk jenis makanan yang mengandung indeks glikemik yang tinggi dan sering dihindari oleh seseorang dengan diabetes ataupun orang yang sedang ingin diet. Pasalnya, indeks glikemik yang tinggi ini membuat nasi putih mudah dan cepat untuk dipecah menjadi gula yang akan diserap oleh tubuh. Namun, seringkali perkataan, “Lagi diet, ya?” ini bukan benar-benar ingin menanyakan pada orang yang dimaksud. Namun, justru lebih terdengar, “Aku sih nggak perlu diet, makan nasi banyak pun nggak masalah.”
Mungkin perasaan seperti ini, sering dirasakan oleh teman kantor saya, yang memilih tidak makan nasi karena memang sedang diet. Lalu menjadi guyonan teman yang lain, sebab dia dianggap menyiksa dirinya sendiri karena tidak makan nasi. Padahal dia telah menggantinya dengan biji-bijian lain dan lauk yang tidak kalah enak dan sehat. Kurang apa, coba?
Justru bagi sebagian orang yang lain, makan nasi adalah bentuk penyiksaan itu sendiri.
Saya sulit makan nasi sejak saya kecil hingga remaja. Kata Ibu, hal ini karena ketika kecil saya minum susu rasa madu ditambah gula, yang cukup membuat saya kenyang dalam waktu yang lama. Lantas, ini membuat saya tidak mau makan nasi, karena saya sudah kenyang, toh bagi saya nasi itu tidak enak dan nggak ada rasanya. Sebagai anak pertama, ibu tidak mempermasalahkan itu. Justru beliau memberikan saya makanan yang lain sebagai pengganti nasi.
Meski saya tumbuh dengan sehat dan tidak pernah menderita penyakit yang aneh-aneh karena tidak makan nasi, ternyata apa yang dilakukan ibu kepada saya ini tidak dapat dianggap sebagai sesuatu yang dapat diterima begitu saja. Ibu dianggap sebagai orang tua yang tidak becus karena tidak membiasakan saya makan nasi sejak kecil. Mereka seperti berkata, “Saya mau jadi apa nanti?” Hanya karena saya tidak makan nasi.
Saya masih mengingat betul, bagaimana ketika kecil, saat sedang menghadiri kondangan, tasyakuran, dan semacamnya. Jika orang lain menganggap ‘piring datang’ adalah saat-saat yang paling ditunggu. Tidak begitu dengan saya. Saya justru menganggap itu adalah saat yang menakutkan. Lantas saya berlindung di balik ibu. Meminta perlindungan dari pertanyaan basa-basi orang lain, yang sebetulnya sudah tahu bahwa saya memang tidak makan nasi.
Dulu, hanya ada tiga jenis makanan yang dimakan dengan nasi yang dapat saya makan. Yakni, nasi goreng, nasi soto dan nasi rawon. Bagi saya, rasa nasi tidak lagi terasa jika dihidangkan bersama kuah soto, rawon, atau dijadikan nasi goreng. Maka, senanglah hati saya, jika ‘piring’ yang keluar di antara ketiga jenis makanan itu.
Jika hidangan tersebut disajikan dalam bentuk prasmanan, tentu saya akan lega sejak awal. Pasalnya, saya dapat memilih sendiri makanan yang saya mau. Meskipun omongan semacam, “Kok nggak pakai nasi.” Masih sering saya dengar.
Ketika saya beranjak remaja, masalah tidak dapat makan nasi ini, secara bertahap berprogres menjadi sulit makan nasi. Ketika saya remaja, saya sudah mulai makan nasi dengan syarat yang cukup ribet. Hanya dengan lauk yang digoreng atau dibakar dan nggak dibumbu macam-macam, serta pakai kecap dan sambel. Jenis makanan seperti ini, bertahan hingga saat ini. Bahkan, untuk berjaga, saya membawa botol kecap kecil ketika berpergian.
Masalah tidak dapat makan nasi ini, memang cukup sering membuat saya takut dan sangat gicik untuk melakukan beberapa hal. Diantaranya,
Pertama, saya sebetulnya senang menjelajah. Saya senang pergi ke tempat-tempat yang cukup bikin dag dig dug. Oleh karena itu, ketika SMA saya pernah bercita-cita ingin menjadi reporter acara semacam Jejak Petualang. Dalam imajinasi saya, hal itu akan sangat keren. Namun, saya urungkan niat itu. Ketika memahami, bahwa menjadi reporter yang harus liputan di berbagai pelosok, maka juga harus bisa makan apa saja, khususnya yang disajikan oleh masyarakat setempat. Apalagi jika harus diambil gambarnya, maka saya harus betul-betul terlihat menikmati hidangan tersebut. Tentu saja, hal ini akan sulit bagi saya, dan saya mengakhiri mimpi saya tanpa usaha apa-apa.
Kedua, hampir semua anggota keluarga besar saya, pernah mencicipi kehidupan di pondok pesantren. Namun, ketika usia saya beranjak remaja dan harusnya saya masuk pondok, saya betul-betul menolaknya. Saya dengan keras tidak mau hanya karena saya berpikir akan sangat sulit bagi saya menyesuaikan diri dengan makanan di pondok, di mana nasi menjadi makanan utama.
Ketiga, hal pertama yang saya takutkan untuk mengikuti ospek, bukanlah tantangan fisik dan semacamnya. Yang saya takutkan dari ospek, hanyalah bagian makan bersamanya. Saya takut, jika sesi makan itu ternyata mengharuskan saya makan nasi bungkus, makan bersama-sama dan tidak ada yang boleh tersisa. Sungguh, saya benar-benar tidak dapat melakukan itu. Untungnya, ketika ospek, fakultas saya menggunakan nasi kotak. Di mana jika ada makanan yang tersisa, tidak akan terlihat yang lainnya. Bagi saya, nasi kotak lebih punya privasi.
Keempat, saya selalu sungkan ketika bertamu ke rumah orang lain dan waktu makan sudah tiba. Apalagi semakin dewasa saya, ibu tidak lagi selalu membersamai saya. Saya selalu cemas menebak-nebak menu apa yang akan dihidangkan oleh pemilik rumah. Sungguh saya tidak ingin melukai hatinya karena tidak dapat memakan hidangan yang mereka sajikan. Pernah, saat KKN, saya dan teman-teman satu subunit, diundang makan oleh Bapak Camat di rumahnya. Dalam suasana makan bersama yang sungkan itu, saya tetap mengambil nasi. Namun, nasi yang sudah saya ambil itu, saya taruh ke piring teman saya lewat bawah meja. Sebetulnya, saya bisa saja jujur pada pemilik rumah bahwa saya tidak makan nasi. Namun, menjelaskan hal semacam itu pada orang baru, bukan sesuatu yang mudah.
Kelima, sejak kecil, saya takut jika keluarga calon suami saya, ketika mengetahui saya tidak makan nasi, mereka menganggap saya tidak normal. Saya dianggap tidak akan becus untuk merawat anak saya nanti—khususnya dalam membiasakan makan anak. Lantas, mereka tidak menerima saya sebagai menantu. Untuk yang terakhir, semoga saja tidak terjadi.
Buat kamu yang juga sulit makan nasi dan sering mendapat pertanyaan yang menyebalkan dari lingkunganmu, udah, iyain aja apapun yang mereka labelkan padamu. Sambil dikasih tahu pelan-pelan, kalau nggak makan nasi juga nggak bakal bikin kita mati.