Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Pojokan

Stereotip Nggak Perlu yang Dilekatkan pada Orang Bercadar

Audian Laili oleh Audian Laili
2 September 2019
A A
stereotip pada perempuan bercadar MOJOK.CO
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Menuduh-nuduh seseorang hanya berdasarkan apa yang ia kenakan tentu tidak adil. Termasuk pada orang bercadar.

Adanya prasangka atas apa yang kita kenakan, ternyata masih saja ada. Sepertinya, simbol-simbol fisik pada diri kita memang masih sangat mudah langsung dikait-kaitkan dengan identitas tertentu, beserta stereotip kepribadian yang mengikutinya.

Sebuah akun Twitter @AmbarwatiRexy mem-posting video yang memperlihatkan perempuan-perempuan bercadar. Dalam video tersebut, para perempuan bercadar sedang bebarengan berjalan keluar dari sebuah tempat. Lantas, ia menyematkan caption, “Mana Jubaedah, mana Maemunah?”

Lalu ia juga berkomentar bahwa membuka cadar di beberapa negara bisa dibunuh, untuk memperlihatkan besarnya doktrin pengenaan cadar di sebuah negara. Tidak sampai di situ, ia juga mengungkapkan fakta sebaliknya. Kalau beberapa negara juga melarang penggunaan cadar untuk alasan keamanan. Katanya, banyak perbuatan kriminal yang berlindung di balik cadar.

 

Mana Jubaedah, mana Maemunah? pic.twitter.com/5TDXTOVc6d

— Rexy Ambarwati (@AmbarwatiRexy) August 31, 2019

Apa yang ia sampaikan itu, sebetulnya sangat menyedihkan. Di saat kita sedang semangat-semangatnya berkoar-koar tentang “kebebasan soal apa pun pilihan kita” termasuk apa yang kita kenakan. Ternyata, ada yang dengan terlalu terang-terangan melabeli sebuah pakaian dengan stereotip tertentu. Seperti bahwa pakaian tersebut adalah hasil doktrin, teroris, bom, radikal, dsb.

Mohon maaf nih, bukankah akhir-akhir ini kita sedang menggembar-gemborkan untuk tidak menilai seseorang hanya berdasarkan dari pakaian yang ia kenakan? Misalnya, seperti yang sering terjadi pada kasus-kasus pelecehan atau kekerasan seksual. Kita selalu bilang kalau pakaian sama sekali tidak berkaitan dengan kejadian terkutuk itu. Kalau itu terjadi, bukan karena pakaian yang dikenakan korban. Akan tetapi, itu karena otak-otak mesum pelaku aja yang nggak bisa dikontrol.

Harusnya, konsep kebebasan atas apa pun pakaian yang dikenakan, juga berlaku sama bagi orang yang memilih bercadar, dong? Lagian ya, nggak ada satu pun orang yang mau di-judge berdasarkan pakaian yang ia kenakan.

Maksudnya begini. Kenapa sih, kita hobi banget melanggengkan pakaian dengan karakter tertentu? Dengan suka mengkait-kaitkan identitas semacam itu, justru bikin stereotip terus berlanjut. Prasangka terus ada. Akhirnya, kita malah saling mencurigai satu sama lain.

Padahal, kita tidak bisa dinilai hanya berdasarkan apa yang kita pakai, kan? Sederhananya, kalaupun kita mengenakan pakaian yang sama dengan seseorang, belum tentu kepribadian kita akan sama begitu saja. Ya dari pemikirannya, perasaannya, emangnya bisa sama, gitu? Nggak juga, toh?

Lagian, ngapain sih kita harus ribet-ribet ngurusin seseorang yang bercadar? Toh, mereka waktu beli juga nggak nyusahin orang lain. Nggak ngabisisn duit orang lain juga. Ngapain justru kita yang ribet-ribet?

Apalagi kalau sampai menganggap bahwa setiap orang yang memilih bercadar itu karena hasil doktrin, itu juga nggak adil. Pasalnya, nggak semua orang melakukan sesuatu karena doktrin, kan? Memangnya, seburuk apa sih orang bercadar sampai-sampai, seolah nggak bakal ada seseorang dengan akal sadarnya memilih untuk mengenakannya.

Fyi, ya, lagi-lagi, ini adalah pilihan. Nggak seharusnya kita mengecam pilihan orang lain selama itu tidak merugikan kita.

Iklan

Melogikakan mengenakan cadar sama dengan membawa bom, rasanya sangat disesalkan. Kok seolah-olah bom itu hanya dapat disembunyikan di dalam cadar? Di dalam pakaian yang lebar-lebar? Memangnya style fashion yang lain nggak ada yang bisa menandingi untuk memiliki risiko ini? Memangnya tas ransel orang yang nggak berpakaian semacam itu nggak punya risiko bahaya? Hah?

Menganggap akar masalah hanya dari printilan simbolis yang kita kenakan, sungguh sangat tidak bijak. Bukannya menyelesaikan masalah, justru menimbulkan masalah-masalah yang lain.

Hadeeeh, udah deh, ya. Tolong dicamkan baik-baik, yang kriminal itu bukan pakaiannya. Tapi orangnya. Kalau setiap orang berpakaian tertentu identik dengan kejahatan tertentu, tugas polisi buat nangkepin penjahat jadi gampang banget, dong?

BACA JUGA Cadar Mbak Dian dan Fobia Atribut dan tulisan Audian Laili lainnya

Terakhir diperbarui pada 2 September 2019 oleh

Tags: bomdoktrinperempuan bercadarradikalstereotip
Audian Laili

Audian Laili

Redaktur Terminal Mojok.

Artikel Terkait

Menjadi Radikal Bisa Diawali dari Kebiasaan Membatasi Teman
Pojokan

Harus Diakui, Potensi Jadi Radikal Ada di Setiap Orang

16 Januari 2022
Fortuner atau Pajero Itu Bukan Mobil Mewah
Pojokan

Fortuner atau Pajero Itu Bukan Mobil Mewah meski Kena Stereotip Arogan

3 Januari 2022
Kamu Bukan Takut saat Mereka Bilang Musik Haram, Kamu Takut sama Ketidaktahuanmu
Khotbah

Kamu Bukan Takut saat Mereka Bilang Musik Haram, Kamu Takut sama Ketidaktahuanmu

17 September 2021
Zara, Posting Video Pribadi Emang Hak Kamu, tapi Hak Itu Nggak Bebas Konsekuensi perempuan edgy kalis mardiasih mojok.co
Kolom

Apa Salah dan Dosa Perempuan Edgy

8 Agustus 2021
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

banjir sumatera. MOJOK.CO

Bencana di Sumatra: Pengakuan Ayah yang Menjarah Mie Instan di Alfamart untuk Tiga Orang Anaknya

1 Desember 2025
Lulus S2 dari UI, resign jadi dosen di Jakarta. MOJOK.CO

Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar

5 Desember 2025
Kuliah Jurusan Pendidikan Bahasa Mandarin di Unesa. MOJOK.CO

Sulitnya Masuk Jurusan Bahasa Mandarin Unesa, Terbayar usai Lulus dan Kerja di Perusahaan Tiongkok

3 Desember 2025
S3 di Bandung, Istri PNS Makassar- Derita Jungkir Balik Rumah Tangga MOJOK.CO

Jungkir Balik Kehidupan: Bapak S3 di Bandung, Istri PNS di Makassar, Sambil Merawat Bayi 18 Bulan Memaksa Kami Hidup dalam Mode Bertahan, Bukan Berkembang

1 Desember 2025
Guru sulit mengajar Matematika. MOJOK.CO

Susahnya Guru Gen Z Mengajar Matematika ke “Anak Zaman Now”, Sudah SMP tapi Belum Bisa Calistung

2 Desember 2025
Judi Online, judol.MOJOK.CO

Pengalaman Saya 5 Tahun Kecanduan Judol: Delusi, bahkan Setelah Salat pun Doa Minta Jackpot

2 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.