[MOJOK.CO] “Keputusan MK mengakomodir kolom agama penghayat ini berbahaya.”
Mahkamah Konstitusi memutuskan mengabulkan permohonan uji materi para penghayat kepercayaan untuk mendapatkan kesetaraan dalam dokumen administrasi kependudukan. Dengan demikian, kini para penganut aliran kepercayaan boleh mengisi identitas keyakinan sesuai yang dijalani dalam dokumen kependudukan.
Bagi manusia beradab, berpikiran maju, dan punya hati nurani, seharusnya ini menjadi kabar baik. Tapi, maaf-maaf aja nih ya, itu kan ciri orang liberal. Sebagai umat yang kaffah, saya menolak hal ini.
Kok menolak? Katanya social justice warrior?
Jadi gini: mengabulkan keinginan orang untuk bisa declare dan terang-terangan atas apa pun yang ia yakini itu berbahaya. Hari ini orang-orang penghayat minta keyakinan mereka diakui negara di kolom KTP, besok-besok apa? Mereka minta hak membangun rumah ibadah? Minta agar tidak mengalami diskriminasi? Enak amat.
Umat muslim yang mayoritas saja masih didiskriminasi. Coba pake cadar, disindir; pake janggut dan celana cingkrang, dibilang teroris; pake otak, dibilang liberal; memuliakan ahlul bait, dibilang syiah. Woh… enak bener para penghayat ini minta diakui. Antre dong. Wong orang muslim Ahmadiyah saja bikin masjid masih disegel, ini kok minta hak buat diakui negara.
Saya meyakini apa yang diucapkan oleh Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) DPP PPP Ahmad Baidowi atau Awiek yang menyayangkan putusan MK. Beliau beralasan, putusan MK yang memperbolehkan penghayat kepercayaan menuliskan aliran mereka di kolom agama e-KTP bisa menyebabkan konflik horizontal di masyarakat. Selain itu ia takut kolom kepercayaan ini jadi alat terselubung bagi paham-paham terlarang di negeri ini untuk berkembang dengan berdalih sebagai aliran kepercayaan.
“Jangan sampai paham-paham agama atau paham lain yang dilarang dimasukkan dalam aliran kepercayaan. Bisa jadi misalnya paham komunis, agar nggak terdeteksi, ditulis aliran kepercayaan,” kata Awiek.
Meski nggak bisa membedakan antara agama dan ideologi, omongan beliau ini benar adanya. Jangan sampai kita ditipu: ngakunya penulis, ternyata pencopet; bilangnya lahir di Paris, padahal asli Pare. Kan bahaya.
Oleh karena itu, ke depan kita perlu mengawasi lebih ketat siapa-siapa dan apa saja yang diisi dalam kolom komentar. Jangan sampai ada badut yang jadi politisi partai dan bikin statement kurang pintar.
Kolom agama di KTP itu penting karena akan jadi alat ukur pemeriksaan umat di akhirat. Malaikat sudah tak perlu lagi nanya, “Ma dinuka?” Tinggal tunjuk KTP, sudah jelas tetek bengek perkara agama, tuhan, dan nabi. Kita sebagai manusia harus bantu Tuhan dan malaikatnya untuk mendeteksi keyakinan, kalau perlu dengan memaksa sesama manusia memilih agama yang sudah ada. Pilihannya kan jelas ada enam, masak enam belum cukup juga.
Ketua Bidang Tarjih, Tajdid, dan Tabligh PP Muhammadiyah Yunahar Ilyas sudah bilang tho, “Aliran kepercayaan bukan agama, bagaimana bisa ditulis di KTP menempati kolom agama? Seharusnya yang ditulis adalah salah satu di antara agama-agama yang diakui di Indonesia.” Agama ini kan kayak makan di restoran, adanya lauk lodeh, ikan mujaer, bakwan, dan telor, lha kok ada yang minta bœuf bourguignon, escargots de bourgogne, dan jambon persillé? Dikira warteg apa ya, semua bebas milih?
Wajar kalo Mas Yunahar khawatir dan curiga MK menganut paham HAM liberal. Bisa-bisa nanti semua aliran, ideologi, paham akan menuntut hak yang sama dengan aliran kepercayaan. Bayangkan nanti kalau simpatisan DI/TII, ISIS, HTI, Al-Qaeda, atau NII menuntut agar keyakinan yang mereka bawa diakui negara. Sungguh berbahaya. Di Indonesia sudah jelas, kita nggak boleh menuntut hak yang sama dengan yang lain. Itulah kenapa Ahmadiyah, Syiah, atau yang agak beda dikit dengan Islam kebanyakan harus dilenyapkan. Kalau perlu diusir seperti yang sudah terjadi di Sampang dan Lombok.
Pemerintah Indonesia ini kan udah dengan baik hati mengimpor banyak agama, masak masih mau pake keyakinan lama buat ditaati?
Kenapa sih harus mengakomodasi 187 organisasi kepercayaan dengan 12 juta orang penghayat yang tinggal di Indonesia? Emang mereka ini mesti diakomodir konstitusi? Sudah jelas yang begini merepotkan. Apa susahnya sih ngaku Islam, ngaku Hindu, ngaku Buddha, atau ngaku Kristen? Buat apa hak asasi manusia, nggak penting itu. Sama kayak pengungsi Timur Tengah di Eropa, apa susahnya sih mereka buka jilbab, pindah agama, dan masuk kristen? Pake ngotot keyakinannya sebagai muslim harus diakui pemerintah Eropa. Itu kan nyusahin, paling bener itu asimilasi, agama mayoritas di Eropa apa, itu yang harus diikuti.
Kita tahulah di Indonesia agama ini perkara serius. Punya agama disusahin; harus ikut yang mayoritas. Lha piye: beda dikit, dibilang bid’ah; nggak sama tafsirnya, dibilang sesat; punya pandangan berbeda, dianggap liberal. Mau beragama aja syaratnya susah minta ampun. Kalau nggak punya agama? Ya dituduh komunis.
Sebenarnya, ngapain sih orang jadi penganut kepercayaan segala? Jadi penghayat? Orang-orang ini kan peninggalan jaman dulu. Selama ini, penghayat adat dikenal sebagai orang yang mengenal lingkungan dan menjaga kelestarian alam lingkungan hidupnya. Saya kasih tahu aja, itu gaya hidup primitif.
Gaya hidup modern adalah dengan membabat hutan buat industri sawit, menggali perut bumi untuk tambang, atau melakukan reklamasi untuk dibuat hotel mewah. Dikira orang-orang yang yang bangun segala macam tadi ateis? Beragama semua, coy!
Para penghayat adat biasanya memiliki aturan yang tak memperbolehkan penggundulan hutan karena bertentangan dengan ajaran leluhur. Mereka memuliakan hutan, menghormati lingkungan, dan menjaga alam raya. Ini perbuaan melawan kemajuan, peradaban zaman batu, jangan diteruskan. Sekarang coba lihat Arab Saudi, negara beragama, baru saja memberi ijin bagi perempuan untuk mengendarai mobil, memberikan hak lebih banyak pada robot ketimbang perempuan, dan satu ulamanya percaya bumi dikelilingi matahari. Jelas lebih mulia daripada penghayat di Indonesia.