MOJOK.CO – Seandainya ada buku “20 Tokoh Politik Paling Berpengaruh di Indonesia”, nama Luhut Binsar Panjaitan pasti masuk. Karena apa? Karena beliau itu orang baik.
“Luhut Panjaitan lebih berbahaya dari coronavirus COVID-19,” demikian tweet Faisal Basri beberapa hari lalu.
Kicauan itu tidak muncul tiba-tiba, melainkan kelanjutan dari perubahan iklim warga Twitter yang gerah terhadap beberapa kebijakan Pak Luhut Binsar Panjaitan, Menko Maritim dan Investasi (Marves).
Sebelum tweet Faisal Basri itu, Said Didu sudah memanaskan lantai dansa dengan video provokatif berjudul, “MSD: Luhut Hanya Memikirkan Uang, Uang, dan Uang,” yang terkait soal persiapan pemindahan ibu kota negara (IKN) dengan penanganan COVID-19. Menurut Said Didu dalam video tersebut, pemerintah terkesan lebih mementingkan artefak berupa istana ketimbang persoalan lainnya.
Sudah barang tentu pernyataan provokatif dari Pak Said Didu segera ditanggapi sangat serius oleh jubir Luhut Binsar Panjaitan.
“Bila dalam 2 kali 24 jam tidak minta maaf, kami akan menempuh jalur hukum sesuai perundang-undangan yang berlaku,” kata Jodi Mahardi, sang jubir.
Tentu perundang-undangan yang berlaku maksudnya adalah UU ITE yang begitu tenar di jagat medsos itu. Iklim yang semakin panas itu kemudian melahirkan tanggapan dari ekonom Faisal Basri, sebagaimana yang saya kutip di awal tulisan tadi.
Jika Said Didu bisa digertak akan dibawa ke jalur hukum, maka bukan tidak mungkin nama Faisal Basri juga akan bakal jadi sasaran berikutnya.
Di sisi lain, harus diakui, Luhut Binsar Panjaitan merupakan politisi paling berpengaruh di Indonesia. Saya sangat yakin, seandainya ada buku berjudul “20 Tokoh Politik Paling Berpengaruh di Indonesia 2014-2020” yang baru mau diterbitkan besok pagi, sudah pasti Pak Luhut masuk di dalamnya.
Jika sampai nama Pak Luhut tak masuk, berarti penulis buku itu sedang mabuk berat, sengaja menyelundupkan nama lain, atau mungkin memang ingin menurunkan prestasi demi prestasi Pak Luhut yang sudah sangat baik.
Tak percaya dengan prestasi seorang Luhut Binsar Panjaitan? Oke, saya kasih beberapa.
Kalau kamu mau mundur ke belakang, Pak Luhut ternyata merupakan salah satu sosok yang paling berjasa untuk menunda upaya revisi UU KPK pada 2015 silam. Revisi yang waktu itu—tentu saja—sedang digodok diam-diam oleh anggota DPR RI.
Saat itu, Pak Luhut menjadi tokoh yang melobi Pak Setya Novanto secara langsung. Dan sesuai dugaan banyak orang, lobi ini berhasil: UU KPK tak jadi direvisi pada 2015 kala itu.
Coba ngana bayangkan, jika bukan Pak Luhut yang turun tangan, Setya Novanto mungkin tak jadi ditangkap gara-gara korupsi E-KTP karena UU-nya udah kadung direvisi beberapa tahun sebelumnya.
Nah lho, kurang baik apa coba Pak Luhut ini? Kalau beliau nggak turun tangan, nggak bakal rilis drama-semi-thriller tiang listrik dan benjol sebesar bakpao di republik ini.
Selain itu, Pak Luhut juga sudah berjasa karena membuat republik ini punya presiden bernama Joko Widodo. Sejak Jokowi maju di Pilkada DKI Jakarta 2012, sampai kemudian jadi R1 selalu ada sosok Luhut Binsar Panjaitan yang setia menemani Pak Jokowi.
Bahkan kedekatan Pak Luhut dengan Pak Prabowo pun konon menjadi salah satu faktor kunci terjadinya rekonsiliasi politik paling akbar sepanjang satu dekade ini. Hal ini menandakan bahwa Indonesia yang pernah mengalami “perang saudara” antara cebong vs kampret, ternyata hanya bisa disatukan oleh sosok bernama Pak Luhut Binsar Panjaitan.
Coba, kurang baik apa Pak Luhut ini? Jadi kunci perdamaian kita semua ternyata.
Nah, melihat betapa strategisnya peran Luhut di dunia politik Indonesia, maka wajar kalau orang-orang yang kehilangan pengaruh politik belakangan ini akan berusaha nyinyir ke beliau. Fadli Zon—misalnya—pernah menyindir kalau Pak Luhut merupakan “The Real President” di Indonesia.
Sayangnya, pernyataan Pak Fadli Zon itu bukannya mencerahkan, tapi malah bikin publik semakin bingung dengan peta konfigurasi politik Indonesia: Luhut determinan atas presiden, atau Megawati yang determinan atas presiden? Yang mana ini yang bener, Pak Zon?
Namun saya yakin, Pak Luhut tak mungkin sama seperti yang dituduhkan Pak Fadli Zon itu, apalagi ketika Pak Jodi Jubir Pak Luhut, menyatakan bahwa atasannya sedang fokus bekerja seperti biasa. Tak terpengaruh meski ada pernyataan-pernyataan dari tokoh lain yang mencoba memprovokasi.
“Pak Luhut fokus aja bekerja seperti biasa,” kata Pak Jodi, ketika mengumumkan permasalahan pernyataan Said Didu.
Ini sebuah indikasi bahwa Pak Luhut memang tak mau mengklarifikasi tudingan yang ada. Ini bukan karena tudingan itu ada unsur kebenarannya lho ya, ini hanya bukti kalau Pak Luhut justru menunjukkan sikap sosok sebagai negarawan. Tetap bekerja meski ada tuduhan macam-macam. Bahkan belakangan justru Said Didu yang akhirnya bikin klarifikasi.
Selain itu, dengan tetap bekerja dan tidak memerhatikan tuduhan itu, Pak Luhut menunjukkan betapa besar komitmennya terhadap demokrasi. Biarkan orang lain ngomong, beliau tetap kerja-kerja-kerja. Dengan begitu, Pak Luhut juga memperlihatkan bahwa dirinya menjunjung tinggi perbedaan pendapat di negaranya.
Sebentar, sebentar. Bukannya Said Didu dan Faisal Basri akhirnya terancam kena masalah hukum? Lalu di mana menjunjung tinggi perbedaan pendapatnya?
Lho ingat, yang membawa perkara Said Didu dan Faisal Basri ke meja hukum ini bukan Pak Luhut lho, tapi jubirnya. Hm, kamu harus paham bahwa antara Luhut Binsar Panjaitan dengan jubirnya itu adalah dua orang yang berbeda. Luhut ya Luhut, Jodi ya Jodi.
Kenapa bisa seperti itu? Oke, akan saya jelaskan.
Ingat, tidak semua yang dilakukan oleh bawahan itu merupakan perintah langsung dari atasannya. Pak Luhut sudah memberi contoh nyata selama ini. Tanpa perlu menunggu perintah, ketika ada masalah yang dihadapi oleh Presiden Jokowi, beliau bakal langsung bertindak responsif. Benar-benar Menko yang sangat peduli dengan presidennya.
Nah, karena terbiasa mempraktikkan ritme kerja seperti ini, maka bukan tidak mungkin Pak Luhut menerapkan cara serupa ke bawahannya, ke jubirnya. Jadi ketika ada masalah yang dihadapi Pak Luhut (seperti provokasi dari Said Didu dan Faisal Basri ini), sang jubir akan langsung bertindak responsif, tak perlu menunggu intruksi langsung dari atasannya.
Dengan begitu, sosok yang tak bisa menghargai perbedaan pendapat itu hanya jubirnya Pak Luhut, bukan Pak Luhut itu sendiri. Lagian mana mungkin Pak Luhut bisa sampai agresif begitu, beliau kan sibuk kerja.
Nah lho, gimana? Kurang baik apa coba Pak Luhut ini?
Oleh karena itu, semakin ke sini saya yakin kalau nanti betulan ada buku “20 Tokoh Politik Paling Berpengaruh di Indonesia 2014-2020”, nama Luhut Binsar Panjaitan bakal sangat layak untuk masuk. Bahkan pantas untuk menempati posisi tiga besar. Setelah Megawati nomor satu dan Jokowi nomor dua.
Sebentar, atau malah setelah Megawati aja ya kayaknya?
Ah, tapi itu tidak penting. Karena yang penting Pak Luhut Binsar Panjaitan orang baik. Itu.
BACA JUGA Inilah Lima Profesi Baru yang Sangat Cocok untuk Luhut atau tulisan Ang Rijal Amin lainnya.