Jika berkendara ke arah Kaliurang, tepatnya di depan Rumah Sakit Jiwa Grhasia atau utara pasar Pakem, akan terlihat aneka pisang yang dijual di pinggir jalan. Keberadaan pasar pisang di tempat itu menyimpan sekelumit cerita sekaligus penjualnya yang sebagian besar simbah-simbah atau nenek-nenek.
Pisang di tempat itu biasanya dijual dalam bentuk sisir maupun tandan. Ada banyak jenis pisang yang dijual di tempat itu. Ada yang memang khusus untuk buah segar, pisang untuk digoreng atau untuk syarat ritual atau adat, misal pernikahan. Beberapa jenis di antaranya, ada pisang raja, pisang kepok, ambon dan pisang emas.
Pasar pisang tersebut mulai muncul di tahun 2010. Penjual di tempat itu merupakan orang-orang yang dulunya kerap ditemui di sekitar kawasan wisata Kaliurang, tepatnya di bawah pohon beringin dan seputaran objek wisata Tlogo Putri, Kaliurang. Sejak status Merapi dinyatakan Awas pada tahun 2010, mereka mulai turun gunung mencari tempat lain yang dirasa banyak pengunjung.
Jalan Kaki dari Deles di Klaten Hingga ke Kaliurang di Sleman
Tidak banyak yang tahu, saat mereka berjualan di kawasan wisata Kaliurang, mereka membawa pisangnya dengan jalan kaki dari rumah mereka di Deles, Klaten. Jika melihat aplikasi Google Maps, jarak antara Deles, di Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah ke kawasan Tlogo Putri, Kabupaten Sleman, Provinsi DIY, sejauh 16 kilometer. Itu jika menggunakan jalan umum yang biasa digunakan.
Namun, jika menggunakan jalan pintas, di aplikasi yang sama, jaraknya bisa dipangkas menjadi 4 kilometer. Rute jalan kaki yang diambil dari Desa Ngarang di Deles ke barat melewati Balerante – Srunen- Kaliadem – Ngrangkah – Kaliurang.
Mbah Manto (80) penjual pisang di Pakem berkisah, dulu sebelum erupsi Merapi mereka secara berombongan berangkat bersama-sama dari Deles, Klaten. Masing-masing membawa pisang di punggungnya. Jumlahnya sesuai dengan kemampuan. Dengan beriringan mereka berjalan kaki menyusuri rute dengan menaiki bukit dan lereng hingga sampai di Kaliurang.
“Berangkat jam 6, sampai Kaliurang sekitar jam 10.” Kini rute itu hanya menjadi kenangan yang tidak mungkin bisa diulang. Selain karena usia yang menua, jalur tersebut sebagian besar sudah hilang diterjang erupsi Merapi.
Pedagang di tempat yang sama Mbah Parno Ngatiyem (60) mengungkapkan sebelum erupsi Merapi, pengunjung Kaliurang masih banyak. Sehingga pisang-pisang mereka banyak yang terbeli. Kalaupun tidak habis, sebagian dari mereka akan menginap di warung-warung yang ada di Kaliurang.
Status Merapi yang kerap naik turun di tahun 2010 membuat penunjung jauh berkurang. Selain itu ada larangan untuk berada di kawasan yang tak jauh dari puncak Merapi. Sejak itulah, berbondong-bondang penjual pisang di Kaliurang mulai boyongan ke Pakem, tepatnya depan RSJ Grhasia.
Resep awet muda simbah penjual pisang
Mbah Parno Ngatiyem mengatakan, pembeli pisang di kawasan Pakem relatif lebih ramai dibandingkan kawasan Kaliurang dulu. Karena itu mereka lebih betah berjualan di tempat baru hingga saat ini. Untuk membawa pisang-pisang yang mereka ambil dari daera Klaten, Mbah Parno dan teman-teman lainnya mengandalkan angkutan truk sebagai angkutan bersama.
Setiap orang berbeda-beda membayar ongkosnya, pemilik truk meminta ongkos dari jumlah tandan pisang yang dibawa. Pertandan pisang mereka diminta membayar rata-rata Rp 2.500 per tandan pisang.
Sedang harga pisang di tempat itu dijual antara Rp 5.000 hingga paling mahal Rp 200.000, tergantung jenis dan besarnya pisang. Pisang biasanya dijual dalam bentuk per sisir hingga pertandan. Jenis-jenis pisang yang dijual antara lain ada pisang raja, pisang kepok, ambon dan pisang emas.
Tidak setiap hari, penjual pisang ini kulakan pisang. “Pulang setiap lima hari sekali. Selain untuk melihat rumah juga untuk kulakan lagi,” kata Mbah Parno Ngatiyem. Jika tidak pulang, mereka tidur di tempat mereka berjualan. Di kursi kayu itu mereka menghabiskan malam-malam. Melihat panjang kursi, saya yakin simbah ini tidur dalam posisi meringkuk atau mungkin selonjor, dengan kaki-kaki melewati panjang kursi.
Ketika saya tanya apakah tidak dingin saat malam tiba. Mereka bilang tidak. “Mboten adem, wonten niku,” kata Mbah Parno Ngatiyem menunjuk tirai bambu.
Ketika ditanya resep tetap sehat di usia sepuhnya. Mbah Manto menyahut. “Pirhatine sik ageng, (prihatinnya yang besar), ” katanya setelah terlebih dulu melayani pembeli di lapaknya.
Ketika ditanya berapa jumlah cucunya. Mbah Manto sedikit berpikir. Bahkan bertanya pada Mbah Parno.
“Putuku piro yo, Yu?”
“Lah kok takon aku..”
“Nek ra salah 15 mas, nek anakku 6,” kata Mbah Manto.
Mbah Parno Ngatiyem sendiri punya anak 3 dan cucu 5. Ia tinggal bersama suaminya yang tidak ikut berjualan karena tidak mungkin meninggalkan ayam piaraan. Setiap 5 hari sekali ia pulang. Setelah sehari beristirahat, ia maupun penjual lainnya berangkat lagi. Berapa uang yang dibawa pulang?
“Rata-rata dua juta,” kata Mbah Parno Ngatiyem tanpa menjelaskan apakah itu omset atau keuntungan.
Salah satu penjual yang terbilang paling muda dibanding simbah-simbah yang saya temui adalah Ny Deni (37). Ia bahkan sudah mulai berjualan sejak masih SD. Saat usianya baru 11 tahun. Ia biasanya ikut orang tuanya pada hari Sabtu atau Minggu. Ia masih mengalami saat berjalan kaki dari rumahnya di Deles, di Kabupaten Klaten hingga kawasan Tlogo Putri, Kaliurang, Kabupaten Sleman.
Ia masih mengingat bagaimana bersama orang-orang dewasa yang lain ikut mengendong pisang di punggungnya. “Setiap ke Kaliurang jalan kaki 3-4 jam. Sebelum erupsi (2010) gayeng, pengunjung Kaliurang banyak yang beli,” kata Ny Deni.
Berbeda dengan simbah-simbah yang menginap di tempat itu, Ny Deni pulang setiap hari. Ia pulang karena harus mengurus anak semata wayangnya yang kini menginjak kelas 3 SMP.
BACA JUGA Kaliku: Ngopi Asyik di Pinggir Kali dan artikel SUSUL lainnya.