MOJOK.CO – Tren mengisi template di Instagram Story sesungguhnya berpotensi menjadi solusi atas permasalahan birokrasi. Mari sini, saya jelasin.
Mati satu, tumbuh seribu.
Peribahasa di atas sepertinya paling cocok menggambarkan keadaan Instagram. Setelah digoncang dengan kekecewaan pengguna karena algoritmanya yang sulit dipahami, tren-tren media sosial tetap saja muncul di sana.
Terbaru, di Instagram Story, sebuah tren kini sedang ramai bermunculan. Kalau kamu lagi lihat-lihat Instagram Story teman-temanmu, coba perhatikan: apakah ada jenis-jenis Story yang tampaknya hampir semua temanmu pun memasangnya?
Mungkin, Instagram Story seperti ini?
Atau Instagram Story yang ini?
Yak, selamat datang di Indonesia-waktu-pamer-kepribadian-dan-pilihan-hidup-lewat-Instagram-Story.
Tren Instagram Story yang formatnya mengisi “formulir” ini kian menjamur di mana-mana. Lebih akrab, “formulir”ini disebut dengan template Instagram Story yang kemudian diunggah ulang siapa saja yang tertarik. Mula-mula, template ini memungkinkan pengguna Instagram untuk memberikan GIF agar lebih menarik. Tapi karena GIF di Instagram menghilang tanpa pamit pas lagi sayang-sayangnya, template ini pun lebih menggandalkan tulisan, my lov~
Entah apa motivasinya, sepertinya orang-orang yang mengikuti template-template-an Instagram Story ini sangat ingin dunia tahu bahwa dirinya lebih suka makan jamur krispi daripada terong rebus, lebih doyan lotek daripada gado-gado, sekaligus ingin mengabarkan pada dunia bahwa pacarnyalah yang jatuh cinta duluan padanya, bukan sebaliknya. Pokoknya, dunia kudu tahu hal-hal ini, which is very important!
Tapi kenapa??? Kenapa itu penting??? Kenapa kita harus nemu template Instagram Story yang gitu-gitu terus setiap kali kita tap untuk menghilangkan rasa bosan???
Ternyata, hal ini menjadi bukti dari sebuah penelitian yang pernah dilaksanakan beberapa psikolog. Dalam dunia media sosial, orang-orang memang ingin menunjukkan keeksisannya pada dunia. Namun sesungguhnya, fenomena Instagram Story ini tyda hanya untuk menunjukkan eksis-eksis ini, gaes~
Pengguna Instagram, yang sebagian besar merupakan anak muda yang sehat dan ceria, sebenarnya tetap memahami konsep privasi di kepala mereka. Yang mereka lakukan lewat adanya template ini adalah: membangun sendiri “rumah” mereka di dunia maya.
Ibaratnya, pengguna-pengguna Instagram ini sedang memilah bagian mana dari dirinya yang ingin ditunjukkan, bagian mana yang tidak. Mereka mungkin tyda merasa ada masalah jika dunia tahu bahwa dirinya jauh lebih emosian dibanding partner-nya, atau dirinya lebih suka malak daripada nabung.
Artinya, mereka sedang menunjukkan identitas mereka. That’s it. Sesimpel itu.
Selain analisis psikologis, sebenarnya bisa saja fenomena ini muncul karena alasan klasik, yaitu kangen. Ya, mungkin saja, orang yang memulai tren ini adalah orang yang sesungguhnya…
…lagi kangen sama masa kecilnya.
Betul, betul. Ingat-ingat, deh, masa-masa kita tukeran buku diary untuk diisi mafa dan mifa, alias makanan favorit dan minuman favorit, hobi, sampai arti nama, semacam ini:
M: Mojok namanya
O: Oh… Mojok namanya
J: Juara anaknya
O: Oh… Juara anaknya
K: Keren anaknya
Di zaman milenial ini, template Instagram Story muncul dan menjelma menjadi kegiatan “mengisi buku diary secara online”. Maka, biarkan saja mereka ngisi “formulir” ini sampai njebot, sampai bosan dan kangennya terpuaskan.
Tapi, gaes-gaesku, siapa tahu, fenomena template ini sebenarnya adalah solusi yang kita nanti-nantikan. Kemudahan dan kepraktisan pun menjadi nilai utama dari tren ini. Coba bayangin deh kalau kita mau ngelamar kerja atau nikah, kita cukup ngisi formulir lewat IG Story: simpel!
Atau, seperti yang diajukan oleh seorang netizen, kita bisa juga mengunggah surat resign berikut ini:
Masya Allah. Persetan dengan birokrasi, kita punya Instagram Story.
BACA JUGA Instagram Sedang Menggali Kuburannya Sendiri! dan tulisan lainnya dari Aprilia Kumala.