MOJOK.CO – Mengupas (agak) tuntas perihal pasangan serasi dan mengapa mereka pantas mendapatkan kartu nikah.
Teman saya menikah tahun lalu, sementara teman yang lain justru dikabarkan gagal meneruskan hubungan. Saya dan teman-teman lain yang masih belum dilamar-lamar jomlo mengikuti berita pasangan-pasangan ini melalui cerita dari mulut ke mulut dan foto-foto yang diunggah sekaligus dihapus di Instagram. Komentar yang sering muncul kala itu adalah “Wah, mereka serasi banget! Pantesan nikah cepat, ya!” dan “Ya ampun, kok mereka putus, sih? Padahal aku rasa mereka serasi banget!”
Perkara serasi atau tidak serasinya sepasang manusia memang suka muncul begitu saja di mata kita masing-masing. Keserasian sebuah pasangan pun dinilai pantas menjadi tolok ukur kecepatan mereka mendapatkan buku nikah. Padahal nih ya, ada dua hal yang mengusik pendapat tersebut.
Pertama, tahu apa kamu kita soal hubungan percintaan yang serasi dan langgeng, lah wong pacaran aja putus-putus melulu?!
Kedua, FYI aja, pasangan serasi ini sudah tidak lagi mengejar buku nikah (doang). Kini, mereka juga bakal mendapatkan dokumen baru, yaitu…
… kartu nikah!!!
Iya, Saudara-saudara, selagi kita mengelu-elukan julukan Relationship Goals pada pasangan-pasangan serasi itu, kita juga harus menerima kenyataan bahwa akan bertambah lagi satu dokumen negara yang bakal menciptakan jurang pembeda antara kita dan sahabat kita yang sudah jadi istri orang: kartu nikah. Ramai diberitakan, kartu nikah ini malah bakal menjadi pengganti buku nikah.
Tapi, tenang, tulisan ini tidak akan mengajak kamu-kamu sekalian untuk meratapi kesendirian. Sebaliknya, kita justru akan mengupas (agak) tuntas perihal pasangan serasi dan mengapa mereka pantas mendapatkan kartu nikah.
*JENG JENG JENG*
Pertama-tama, mylov, alasan kenapa pasangan serasi ini tampak sejalan dengan ide pengadaan kartu nikah adalah karena mereka menyadari betul bahwa pasangan mereka bukanlah sekadar pengganti mantan kekasih.
[!!!!!!11!!!!1!!!!]
Dalam sebuah hubungan yang gagal, ada dua kemungkinan yang dialami seseorang: 1) bersedih dan berkembang, atau 2) bersedih dan berusaha melakukan apa pun agar kesedihan itu seakan-akan tertutupi. Proses move on yang naudzubillah susahnya pun menjadi penentu: apakah seseorang akan dengan ikhlasnya melepas masa lalu untuk bertemu dengan orang baru yang lebih baik, atau justru memenuhi kebutuhan dirinya sendiri yang tidak ingin merasa terlupakan.
Naaaah, di sinilah, mylov, kualitas pasangan baru kita (hah, kita???)—maksud saya, mereka—akan terlihat. Pasangan serasi akan tampak serasi karena mereka adalah pasangan yang saling membutuhkan, bukan saling menginginkan semata. Hiya hiya hiya~
Prinsip ini senada dengan munculnya kartu nikah dalam belantara dokumen resmi negara. Ia hadir bukan sebagai pengganti buku nikah, melainkan sebagai pelengkap yang dibutuhkan untuk mendukung adanya sistem informasi manajemen nikah digital bernama Simkah. Disebutkan, aplikasi ini dapat diunduh di simkah.kemenag.go.id dan terintegrasi langsung dengan sistem kependudukan dan pencatatan sipil.
See? Mereka ada sebagai pelengkap yang dibutuhkan bagi satu sama lain. Uwuwuwu, so sweet~
Kedua, pasangan serasi merupakan pasangan yang saling memahami tanpa banyak bicara. Hal ini sejalan dengan keadaan yang ditawarkan oleh kartu nikah: menyimpan informasi pasangan secara ringkas.
Apa maksudnya, Ferguso???
Jadi begini. Dalam suatu momen, pasangan serasi mungkin tak butuh banyak bicara untuk tahu bahwa partner-nya tengah dirundung masalah. Yang bisa mereka lakukan adalah menawarkan bahu satu sama lain sebagai tempat bersandar. Singkatnya, mereka paham betul apa yang dirasakan pasangannya hanya dengan sekali memandang ke dalam matanya.
Halah.
Yhaaa, pokoknya, pemahaman ini juga ditawarkan langsung oleh kartu nikah. Menurut Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, kartu nikah nantinya akan berbentuk seperti kartu (YAIYALAH!) dengan sebuah barcode. Fungsi dari barcode ini sendiri ternyata cukup vital: menyimpan data berupa wajah, nama, dan tanggal pernikahan pasangan.
Ketiga, pasangan serasi dan kartu nikah memiliki sebuah prinsip yang sama (dan paling penting): tidak show off alias tidak pamer dan tidak suka umbar-umbar aurat kemesraan!!!
Pernah menekan tombol Instagram Story orang-orang dan membuat diri sendiri disuguhi kemesraan sepasang insan manusia yang dimabuk cinta? Saya sering—rasanya antara pengin marah dan pengin nangis, sekalipun saya ikut bahagia untuk tokoh cinta dalam Instagram Story tersebut. Tapi, ayolah, seberapa pentingnya, sih, dunia tahu betapa kita punya pacar/tunangan/suami yang masakin kita mi goreng waktu malam-malam kelaparan? Tidakkah mereka berpikir ada orang di luar sana yang baru patah hati dan rindu setengah mati pada mantan kekasihnya yang dulu juga selalu menemaninya makan malam? :(((
Berangkat dari prinsip untuk tidak mengumbar-umbar inilah, kartu nikah dilahirkan. Ia berbentuk kartu biasa, persegi panjang kecil, serupa dengan KTP atau ATM, sehingga mudah dibawa-bawa dan dimasukkan ke dalam dompet. Artinya, ia tidak menuntut seseorang untuk menonjolkannya karena bisa duduk diam di antara selipan-selipan dompet. Sungguh bijaksana.
Namun begitu, perlu kita ingat baik-baik: jika suatu hal memiliki sisi positif, besar kemungkinan ia juga punya sisi negatif, begitu juga sebaliknya.
Kabarnya, kartu nikah akan diberikan kepada pasangan yang menikah tahun 2018, lalu diberikan pula secara bertahap pada pasangan-pasangan yang menikah di tahun-tahun sebelumnya. Pertanyaannya, bukankah itu justru bakal jadi lebih ribet dan lebih banyak menggunakan uang ya?
Sialnya, pertanyaan tadi pun sesuai pula dengan konsep hidup berpasangan. Punya pasangan—mau serasi ataupun nggak—juga kadang sama saja: membuat hidup lebih ribet dan njelimet. Boro-boro mikir kartu nikah, mikir nikahnya aja udah males duluan, Sis!