Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Pojokan

Dulu Merantau Menyebalkan, Kenapa Sekarang Nagih?

Aprilia Kumala oleh Aprilia Kumala
16 Juni 2019
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Pergi merantau itu cuma sebentar doang nggak enaknya. Kalau sudah terbiasa dan keasyikan, siap-siap saja nggak betah di rumah!

Sebagai orang yang lahir di sebuah kota kecil di Jawa Tengah, saya terpaksa cabut dari kampung halaman saat akan menempuh pendidikan tinggi. Saya ingat, kota pertama yang berperan sebagai tanah rantau bagi saya adalah Bandung Sumedang, tepatnya di negara bagian Jatinangor.

Sebagai mahasiswi baru yang tengah mengalami pengalaman nyata jauh dari rumah setelah seumur hidup selalu bangun gara-gara diteriakin Ibu dan hampir disiram air sama Bapak, saya cukup menikmati pengalaman rantau pertama di Jatinangor. Namun, perlu diakui, pengalaman ini nggak membuat saya merasa cukup mandiri soalnya kamar kos sebelah saya adalah milik seseorang yang sudah saya kenal baik sejak berusia 0 tahun: kakak saya.

Yang Kami Alami Sebagai Perantau

Merantau bersama Kakak dianggap oleh teman saya sebagai sesuatu yang “mendingan”. Teman saya, perantau dari Jakarta, mengaku harus menangis setiap hari karena merasa rindu pada rumah. Ia menilai, rindu yang saya alami nggak akan terlalu besar karena ada kakak saya di sebelah.

Yang tidak ia ketahui, hampir setiap malam, kakak saya ngetawain saya sampai guling-guling karena saya selalu menangis setiap kali ibu saya menelepon.

Iya, saya selemah itu: langsung nangis begitu Ibu bilang, “Halo, Dek?” di ujung telepon.

Saya cuma bertahan dua seperempat semester di Jatinangor (terima kasih, ya, Alergi Dingin!) dan memutuskan pindah ke kota di mana hampir 97,34% teman-teman SMA saya melanjutkan pendidikan di sini: Jogja.

Jogja adalah kota rantau sungguhan bagi saya. Saya tidak lagi ngekos di sebelah kamar Kakak, meskipun setiap lima hari sekali kekasih saya saat itu datang dan mengajak makan di Olive Chicken. Namun begitu, tetap saja, saya berangkat ke universitas yang berbeda dengan Kakak dan berkenalan dengan orang yang tidak akan tahu-tahu bertanya, “Loh, kamu kan adeknya Anu, ya?” waktu saya lagi beli timun di pasar swalayan.

Bagaimana Rasanya Merantau Sungguhan?

Bagi saya, merantau adalah hal yang menyenangkan, sekaligus menyebalkan. Saya rasa, kamu bakal sepakat kalau saya bilang tinggal terpisah dengan keluarga akan membuat kita merasa lebih mandiri dan bebas, tapi bakal jadi sangat menyedihkan saat rindu tiba-tiba datang tanpa permisi, persis kayak gebetan yang hobi datang dan hilang.

Bahkan, saya yakin, kita semua pasti familier dengan adegan ini:

Sebagai anak yang hidup merantau, sesekali kamu pun dikunjungi oleh orang tuamu dari kota asal. Bersama keluarga, kamu bakal menghabiskan waktu keliling kota rantau, makan bersama (yang berarti “pengiritan” bagimu), lalu pergi ke tempat-tempat tertentu berdasarkan rekomendasimu.

Hari itu berlangsung sempurna hingga tiba waktunya keluargamu harus kembali ke rumah. Saat berpamitan, kamu pun merasakannya: rasa haru karena bakal ditinggal keluarga dan kembali hidup merantau sendirian.

Kamu pengin nangis, tapi malu. Iya, kan?

Benar, deh, dulu, merantau itu rasanya sungguh menyebalkan.

Iklan

Pulang ke Rumah atau Pulang Merantau?

Saya sempat “berhenti” merantau setelah lulus kuliah dan kembali ke kampung halaman selama satu caturwulan. Jogja kembali “memanggil” saya selepas saya mengirimkan surat lamaran kerja hingga pada hari ini saya menuliskan apa yang sedang kamu baca.

Kalau dihitung-hitung, perantauan saya sudah berjalan selama sembilan tahun. Selama masa itu, saya sudah pernah nangis kejer gara-gara ditinggal Ibu dan Bapak di Jogja atau bahkan jatuh sakit dan harus opname selama hampir tiga minggu gara-gara stres merantau!

Tapi lihat; apa yang terjadi berikutnya?

Liburan Lebaran kemarin, saya sengaja pulang lebih awal. Niatnya, sih, membayar “utang” pulang yang selalu ditagih orang tua gara-gara saya mulai jarang kembali ke rumah. Di bayangan saya, pasti rasanya nikmat, deh, menyelesaikan tanggungan pekerjaan di kamar sendiri, sementara makanan masakan Ibu bisa saya santap kapan saja.

Tapi nyatanya, baru juga tiga hari di rumah, saya sudah kangen kosan. Kangen working space tempat saya biasa begadang sampai Subuh. Kangen kantor dan ikan di kolam belakangnya. Kangen kena macet di Jalan Kaliurang. Kangen ini. Kangen itu.

Teman-teman saya di kampung halaman kebanyakan sudah menikah, sudah punya anak pula. Tempat nongkrong susah ditemui, terlebih karena kota saya bukanlah kota besar. Orang tua dan adik saya masing-masing punya urusan sendiri-sendiri, yang kadang membuat saya harus pasrah di rumah sendirian. Belum lagi tekanan yang mendadak menyerang saya setiap kali pertanyaan basa-basi yang berulang selalu keluar dari mulut keluarga besar: “Mana pacarnya?”, “Nggak mau pindah kerja di sini aja?”, “Kapan nikah?”, dan lain sebagainya.

Bukan, tentu saja ini bukan berarti saya—dan kamu-kamu sekalian—tidak merindukan ibu, bapak, dan semua saudara yang menunggu di rumah. Tentu saja, rindu itu ada dan letaknya masih di posisi utama, tapi…

…oh, ayolah, kadang-kadang, seminggu berada di rumah rasanya terlalu lama dan membuat kita ingin cepat-cepat pulang merantau, kan?

Terakhir diperbarui pada 14 Juni 2019 oleh

Tags: JatinangorJogja. perantauanmerantaupulang ke rumah
Aprilia Kumala

Aprilia Kumala

Penulis lepas. Pemain tebak-tebakan. Tinggal di Cilegon, jiwa Banyumasan.

Artikel Terkait

Tinggalkan ibunya demi kuliah di PTIQ Jakarta untuk merantau. MOJOK.CO
Ragam

Kerap Bersalah di Perantauan karena Alasan Sibuk, Tangis Ibu Pecah Saat Saya Akhirnya Pulang dari Jakarta

27 November 2025
Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta (UNJ) nyaris drop out usai ibu tiada. MOJOK.CO
Ragam

Sibuk Skripsian sampai Abaikan Telpon Ibu dan Jarang Pulang, Berujung Sesal Ketika Ibu Meninggal

14 November 2025
menangis, perantau, perantauan.MOJOK.CO
Ragam

Karyawan Tidak Bercerita tapi Diam-Diam Menangis di WC Tempat Kerja, Cara Terbaik Istirahat dari Hari yang Lelah

5 November 2025
Sesal dulu bersikap kasar hingga menghina bapak. Kini ditampar realitas di perantauan dan mewak tiap pulang ke rumah MOJOK.CO
Ragam

Sesal Dulu Sering Kasar dan Hina Bapak, Kini Sadar Cari Duit di Perantauan dan Berkorban untuk Keluarga Tak Gampang!

28 Oktober 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Bencana Alam Dibuat Negara, Rakyat yang Disuruh Jadi Munafik MOJOK.CO

Bencana Alam Disebabkan Negara, Rakyat yang Diminta Menanam Kemunafikan

3 Desember 2025
banjir sumatra.mojok.co

Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?

4 Desember 2025
S3 di Bandung, Istri PNS Makassar- Derita Jungkir Balik Rumah Tangga MOJOK.CO

Jungkir Balik Kehidupan: Bapak S3 di Bandung, Istri PNS di Makassar, Sambil Merawat Bayi 18 Bulan Memaksa Kami Hidup dalam Mode Bertahan, Bukan Berkembang

1 Desember 2025
8 tahun merantau di Jakarta akhirnya resign. MOJOK.CO

Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama

4 Desember 2025
Maybank Cycling Mojok.co

750 Pesepeda Ramaikan Maybank Cycling Series Il Festino 2025 Yogyakarta, Ini Para Juaranya

1 Desember 2025
Lulus S2 dari UI, resign jadi dosen di Jakarta. MOJOK.CO

Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar

5 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.