Baca cerita sebelumnya di sini.
Aku belum berhasil mengajakmu ngopi From: Andangsaki Kalasan <[email protected]> Date: data system errors (configuration doesn’t show absolute time) To: Witfana Aulia <[email protected]>
Fana yang masih muda,
Selamat hari kasih sayang. Aku mengucapkannya khusus untukmu, seorang gadis di satu dekade silam, hanya untuk memastikan perayaan Valentine masih berlangsung di duniamu. Di sini, jauh-jauh hari, perayaan hari kasih sayang dilarang keras karena tidak sesuai dengan hukum syariah yang berlaku. Jika sekumpulan para remaja ketahuan saling bertukar cokelat dan membungkus kado mereka dengan kertas merah jambu, polisi syariah akan menangkap mereka untuk dikarantina selama satu tahun ke depan di sebuah pesantren milik negara.
Banyak protes mengenai aturan ini, beberapa orang bahkan mengancam pindah negara. Tapi bukankah negara ini tak pernah merasa kehilangan segelintir pembangkang, segelintir orang murtad, dan segelintir orang tak bertuhan?
Aku termasuk dari segelintir itu. Aku perlu mengakui hal ini padamu. Kamu masih bisa menikmati kebaikan agama, sementara aku tidak. Tak perlu kuceritakan di sini bagaimana awal mulanya. Keputusan ini kuambil jauh sebelum mengenalmu. Dan harus kuakui, mungkin ini salah satu akar penyebab yang membuat kami berpisah—aku dan mantanku itu. Ia meninggalkanku sendirian karena rasa skeptisku yang terlalu tebal pada sistem agama.
Aku terbangun pagi ini tanpa bermimpi buruk. Kepalaku agak berat. Pertama yang kuingat adalah dirimu dan tiga lusin pertanyaanmu tentang masa depan yang belum sempat kujawab. Lantas, tatapanku tertumbuk pada kalender duduk di meja belajar, dan aku tersadar hari ini hari ulang tahunku. Apakah bentuk kasih sayang yang diungkapkan secara terang-terangan tetap kubutuhkan di umur 22 tahun?
Oke, itu jelas pertanyaan melankolis. Aku juga sempat menertawakan pertanyaan tadi. Tapi sejujurnya, aku masih berharap mantan kekasihku diam-diam meninggalkan kartu ucapan selamat ulang tahun yang ia letakkan di balik keset depan pintu kamar kosku, seperti tahun-tahun yang sudah berlalu.
Setelah mandi, sarapan, dan membaca sekilas beberapa berita di portal media internasional, aku segera mengecek apa yang ada di balik keset berwarna oranye yang tak pernah kucuci itu. Tidak ada apa-apa—hanya lapisan tipis debu yang membuatku bersin saat kukibas-kibaskan kesetnya. Aku memilih menyapu lorong depan kamarku, menata ulang keenam pasang sepatuku, dan mengosongkan keranjang sampah. Aku berjalan menuruni tangga dengan satu kantong berisi sampah dan—mendadak—aku berpapasan dengannya.
“Aku mau ambil bukuku yang masih tersimpan di rak bukumu.”
Mantan kekasihku bahkan tidak mengucapkan selamat ulang tahun ataupun selamat hari kasih sayang. Ia tak mungkin lupa. Tentu saja, ia pura-pura lupa. Aku hanya mengangguk dan membawa kantong berisi sampah kembali ke depan pintu kamarku bersamanya. Ia meraup buku-bukunya tanpa mengucapkan apa pun.
“Kuharap kita masih bisa berteman. Bekerja sama untuk beberapa hal yang bermanfaat. Peradaban ini masih membutuhkan kita,” ujarnya, sebelum pamit pergi.
Kepalaku mengangguk. Jika mulutku bersuara, aku takut yang keluar hanya sumpah serapah, caci-maki, dan umpatan-umpatan tak senonoh. Segera kututup pintu kamarku dengan amarah. Sekarang ada satu hari penuh yang bertepatan dengan ulang tahunku. Apakah aku akan tetap masuk kuliah dan tetap bertemu orang-orang yang selalu kutemui lima hari dalam seminggu?
Ide itu tiba-tiba terbit begitu saja: ya, aku akan menemuimu! Fana yang sudah dewasa! Witfana, seorang perempuan berusia 27 tahun! Witfana Aulia yang mungkin akan memandangku sebagai mahasiswa ingusan yang tak tahu apa-apa tentang dunia yang keras! Seorang pemuda oleng yang mengetuk pintu rumahnya dan bilang, “Halo, saya Kala. Kita berteman melalui app lintas waktu. Boleh saya masuk?”
Aku segera mencari informasi tentangmu di mesin pencari. Tubuhku dipenuhi rasa gairah dan antusias. Aku bertanya-tanya apakah kamu, di masaku, telah menjadi seorang dokter? Apakah kamu akan mengenaliku? Apakah kamu telah berkeluarga? Apakah kamu telah bersuami? Seperti apa lelaki itu? Apa ia tipe lelaki mobil-seks-mobil-seks? Hahaha. Bisa jadi. Segala kemungkinan bisa terjadi.
Holy shit!
Aku menemukan alamat rumahmu di masa kini. Tidak jauh dari alamat kosku. Hanya berjarak dua kilometer, terpisah satu persimpangan dari sini. Kamu tinggal di apartemen berlantai 78. Kamu bukan seorang dokter. Kamu seorang pialang saham. Apakah kamu pernah bilang sebelumnya kalau kamu menyukai pelajaran ekonomi dan semacamnya, Fana? Sepertinya kamu pialang saham yang sukses. Kamu tinggal di apartemen paling mewah di kawasan ini! Nyaliku tiba-tiba menciut. Apa yang harus kukatakan padamu jika bertemu denganmu nanti?
Anehnya, saat aku berusaha menggali informasimu di media sosial, aku tak menemukan satu pun jejakmu. Seorang perempuan sukses tanpa akun media sosial? Terdengar janggal. Aku memutuskan mengunjungimu. Segera kukenakan jaket dan masker wajah. Aku berjalan kaki ke apartemenmu. Di sana, aku menanyakan persisnya alamat tinggalmu pada seorang resepsionis berwajah plastik—maksudku, terlalu penuh riasan dan menor.
“Ibu Witfana telah pindah sejak dua bulan yang lalu.”
Ia tidak memberiku informasi lebih lanjut. Sebenarnya, aku bisa saja merayunya demi sedikit cerita, misalnya tentang bagaimana kesannya selama ini saat bertemu denganmu. Tapi, aku memilih keluar dari lobi apartemen dan berjalan gontai. Mungkin tidak seharusnya aku menemuimu di masa depan. Toh, kemungkinan besar, kamu tidak mengenaliku. Atau, seperti teori-teori sains yang kubaca selama ini: menemuimu di masa depan dan menceritakan “keanehan” hubungan kita akan berdampak tidak baik buatmu di masa lalu dan masa kini.
Tiba-tiba saja, memang terdengar tidak bijak memaksa bertemu denganmu sekarang. Fana, kalau menurutmu, bagaimana? Apakah masih ada kemungkinan buat kita untuk duduk bersama di sebuah kafetaria?
Aku berjalan kembali ke kosku. Bayangan bertemu denganmu, Witfana, seorang perempuan matang 27 tahun masih tergambar dalam kepalaku. Mungkin, aku hanya perlu memastikan keberadaanmu secara nyata dan diam-diam mengamatimu dari jarak yang aman. Mungkin, sebenarnya kita pernah bertemu tanpa kita sadari. Di jalan, di mal, di lift, di basement area parkir, atau di satu antrean panjang saat membeli segelas es teh di tengah food court yang padat? Entahlah.
Sesampainya di kamar, aku menarik kerai jendela yang bisa kugunakan sebagai pengganti layar komputer. Aku menonton Her untuk kelima kalinya sambil mengudap Happytos rasa ayam geprek. Jujur saja, aku tidak suka cara Spike Jonze menggambarkan masa depan dalam film itu. Theodore, tokoh utama itu, lebih mirip manusia lemah yang tak punya kesadaran untuk melawan manipulasi teknologi atas dirinya. Maksudku, film itu memang manis, tapi jatuh cinta dengan komputer? Duh.
Kecerdasan buatan memang teknologi yang menakjubkan sekaligus mengerikan. Tapi, betapa pun canggihnya, komputer tak akan pernah punya gairah, mimpi, bahkan tujuan. Ia hidup dan berkembang hanya berdasarkan satu rumus algoritma tertentu yang semakin rumit dan terlampau rumit, sehingga ada titik di mana manusia tidak bisa memahami caranya berkembang.
Di 2029, kecerdasan buatan bisa menggantikanmu mengemudi mobil, tapi bukan berarti tak ada lagi kecelakaan di jalan raya. Kecerdasan buatan juga bisa membantumu memasak, membersihkan rumah, menjadi guru les privat piano, sekaligus menghitung pajak dan zakat yang harus kamu bayar.
Tapi, kecerdasan buatan tidak akan pernah bisa membuatmu jatuh cinta. Ia hanya bisa memilihkan teman kencan dari referensi shio, zodiak, primbon, dan rata-rata nilai akademismu sejak SD. Banyak orang di masa kini yang memilih hidup dengan seorang pasangan virtual, seorang soliter dan hanya cukup ditemani kucing atau burung peliharaan tanpa perlu bertemu dengan pasangannya secara nyata.
Begitulah. Aku sebenarnya bisa menjawab beberapa pertanyaanmu sebelumnya dengan panjang lebar di sini. Tapi sebaiknya kujawab di app saja, ya. Chatting seperti biasa. Sampai jumpa—
—tunggu, bapakku barusan menghubungiku. Ia mengucapkan selamat ulang tahun. Tumben ia ingat! Sudah empat tahun kami tak pernah bertemu. Ia pindah ke Panama dan menjadi semacam makelar—entah makelar apa. Mungkin ganja. Atau bisa jadi makelar senjata api. Hahaha.
Ia bilang ia merasa tua hari ini, menyadari aku sudah umur 22 tahun. Ia tanya aku ingin kado apa. Aku jawab, aku ingin ibu kembali. Tapi ia tertawa mengejekku. Katanya, aku terdengar sangat kekanak-kanakkan jika masih berharap mendiang ibuku hidup kembali. Perempuan kuat itu meninggal karena virus mematikan sepuluh tahun lalu.
Aku tahu mungkin ucapanku yang asal bunyi terdengar cengeng. Ibuku tidak akan pernah kembali. Ia telah menyatu dengan tanah dan jasadnya sudah lama diurai mikroba. Sialnya, detik ini aku merindukannya.
Oh ya, kalau begitu aku pesan saja paket doa anak berbakti kepada orang tua ke agen doa. Aku mulai mencari jasa agen doa—ini profesi baru yang resmi diakui negara. Orang-orang ini dibayar khusus untuk berdoa siang dan malam, sesuai pesanan. Mereka memiliki sertifikat yang menyatakan telah mendalami ilmu agama dengan baik. Aku memang tidak memercayai kehidupan sesudah mati dan semacamnya, tapi ibuku percaya, bapakku pun percaya. Karena mereka masih percaya, aku kira mereka masih membutuhkan doa tanpa putus.
Aku buka situs-situs layanan doa—biasanya satu naungan dengan agen travel umroh. Kupilih asal, dari tampilan situs web yang terlihat paling rapi dan bersih tanpa papan-papan iklan. Saat aku hendak mengeklik salah satu juru doa di daftar panjang petugas yang siang-malam berdoa—aku terkesiap, ada namamu.
Witfana.
Bukan Witfana Aulia.
Nur Witfana Jameela.
Ada berapa banyak perempuan bernama Witfana di dunia ini?
Jantungku berdebar. Mungkinkah selama ini kamu memberiku nama orang lain? Siapa kamu sebenarnya di 2029?
Salam,
Kala
Baca cerita berikutnya di sini.