Jadi, mana yang benar? Prabowo Subianto yang bilang ambang batas pencalonan presiden (presidential treshold) 20 persen adalah “lelucon politik yang menipu rakyat”, atau Presiden Joko Widodo yang membela keras itu keputusan dan bilang itu penting untuk visi politik Indonesia mendatang?
Kalau dia orang yang tukang perang dan sarjana kehutanan boleh bicara soal ini, saya yang meliput secara intens rerupa pemilu daerah, nasional, legislatif dan presidensial sejak 2008 ini mau juga dong …. Saya ndak bilang itu pekerjaan paling menyenangkan atawa sudah jadi ahli betulan, tapi ia membuat mudah saya melihat argumen politik yang konyol.
Sayangnya, kemarin keluar argumen semacam itu dari Yang Mulia Bapak Presiden. Kebetulan, komentar-komentar Presiden ini bisa membantu menjelaskan logika (nanti kita buktikan terpelintir atau tidak) di balik itu ambang batas.
“Kita sudah mengalami dua kali presidential threshold 20 persen sejak pemilu 2009 dan 2014, kenapa dulu tidak ramai?” kata Jokowi, Jumat (28/7). Yang sedikit saja tahu politik mestinya paham bahwa itu argumen cacat karena pemilihan-pemilihan terdahulu tak serentak jadi orang-orang “dulu tidak ramai”.
Tepatnya, pemilu legislatif (pileg) berselang empat bulan sebelum pemilihan presiden (pilpres). Dengan model itu, agak wajar kalau pemeroleh suara-suara terbanyak jadi yang paling pantas mengajukan calon presiden supaya tak terlampau banyak yang cawe-cawe di parlemen.
Sementara MK pada 2014 mengabulkan gugatan Koalisi Masyarakat Sipil dan memutuskan bahwa pemilu sekarang harus serentak. Artinya, hari kita memilih calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten sama dengan hari kita mencoblos calon presiden.
Jika untuk mencoblos satu kertas suara saja banyak yang masih malas, silakan berdamai dengan keadaan bahwa dua tahun lagi kita harus mencoblos kertas suara untuk lima kotak sekaligus. Bayangan para penggugat, semestinya tak ada ambang batas untuk mencalonkan presiden. Dengan begitu, presiden diharapkan bisa terlepas dari politik kepentingan parpol.
Meski begitu, yang namanya politikus tak kehabisan akal. Anggota parlemen dari parpol pendukung pemerintah berkeras bahwa ambang batas tetap mesti 20 persen. Tapi bagaimana bisa perolehan suara dari pileg yang belum diketahui hasilnya dipakai mengajukan calon presiden.
Mereka bikin akal-akalan, persentase ambang batas yang bakal dipakai adalah dari pemilu sebelumnya. Lima tahun sebelumnya! Yang bikin ini solusi tampaknya lupa soal demikian fluktuatifnya peta politik Indonesia. Presiden tampaknya terlampau yakin bahwa peraih suara besar pada pemilu lalu masih bertahan periode kali ini.
Ini jadi bangunan argumen Presiden yang kedua. “Saya ingin berikan contoh, kalau (partai dapat suara) nol persen, kemudian satu partai mencalonkan (presiden) kemudian menang. Coba bayangkan nanti di DPR, di parlemen. Kita (koalisi pendukung pemerintah) dulu yang 38 persen saja kan, waduh. Ini proses politik yang rakyat harus mengerti,” kata dia.
Tapi bagaimana kalau sebelum pemilu yang dua tahun lagi, misalnya saja lho, ada menteri dari PDIP, partai pembela wong cilik, bikin pernyataan dan kebijakan yang bikin sakit hati rakyat, semacam meminta orang miskin diet di tengah mahalnya pangan serta mendukung kenaikan harga BBM dan pencabutan subsidi tarif dasar listrik? Bagaimana seandainya Partai Golkar yang kabarnya antikorupsi itu tiba-tiba ketua umumnya jadi tersangka kasus megakorupsi?
Bagaimana kalau Nasdem, sekali lagi masih dalam kerangka berandai-andai, dipimpin oleh bos yang medianya dianggap kerap menyerang mayoritas umat Islam? Bagimana kalau PPP, sebuah partai dengan lambang Kabah, mendukung calon gubernur yang dinilai sebagian umat Islam menodai agama mereka?
Bagaimana jika misalnya pimpinan Hanura dengan semangat mengumumkan perppu yang membatasi kebebasan berserikat warga—perppu yang berpotensi dibatalkan Mahkamah Konstitusi? Bagaimana jika menteri dari PKB, kita bayangkan saja, membekukan pendanaan untuk organisasi yang anggotanya jutaan warga siap memilih?
Saya tentunya tak mendoakan parpol-parpol di atas dapat kejadian semacam itu. Tapi jika seapes-apesnya hal-hal itu kejadian, tentu perolehan suara mereka di pileg mendatang amat sangat terancam. Ini terjadi dengan Demokrat yang sempat anjlok dari perolehan 20 persen pada Pileg 2009 menjadi 10 persen pada Pileg 2014.
Nah, semisal pada pileg mendatang suara parpol koalisi pemerintah anjlok perolehannya dan katakanlah hanya mendapat 100 dari 575 kursi di DPR, sementara dengan keajaiban tertentu calon presiden yang mereka dukung menang, bukankah pemerintah akan semakin tersandera di parlemen?
Jika skenario ini dinilai musykil terjadi, coba pertimbangkan lebih mustahil mana ia dengan imajinasi “kalau (partai dapat suara) nol persen, kemudian satu partai mencalonkan (presiden) kemudian menang.”
Namun selain arogansi, sukar tak mencium ada ketakutan juga dalam jerih payah mereka meloloskan PT dengan prosentase tinggi yang mengacu pemilu terdahulu. Dengan langkah itu, mereka semacam ingin menjamin kekuasaan bakal langgeng setidaknya selama sepuluh tahun.
Buat yang malas baca beleid negara, saya kasih tahu: hal itu berpotensi inkonstitusional karena masa jabatan presiden dalam konstitusi kita adalah lima tahun per periode dengan “kemungkinan” perpanjangan satu periode lagi. Jadi, berupaya mengubah “kemungkinan” tersebut jadi “kepastian” secara tak langsung adalah aksi melawan undang-undang.
Saya tak bilang bahwa Prabowo juga politikus yang paling masuk akal dalam kasus ini. Hanya yang delusional yang memercayai dengan tulus bahwa komentarnya lahir dari keberpihaan pada rakyat dan akal sehat.
Begini, sepanjang masa awal pemerintahan Jokowi, kita sudah melihat tiga parpol mantannya Prabowo pindah ke lain hati. PPP, Golkar, dan PAN yang dulu ikut mengusung Prabowo di Pilpres 2014, semuanya sudah menyatakan baiat pada Presiden Joko Widodo. Masing-masing parpol itu juga sudah diberi jatah menteri oleh Presiden untuk mengunci dukungan.
Jika keadaan tetap seperti itu, tinggal PKS dan Gerindra yang masih setia berkawan. Nah, persoalannya, raihan suara dua biji ini tak cukup buat mencalonkan presiden. Total prosentase yang diperoleh keduanya pada Pileg 2014 hanya 18,6 persen. Artinya, jika hendak maju nyalon lagi, Prabowo harus merayu Demokrat, satu-satunya yang belum menyatakan dukungan ke Jokowi serta punya modal 10 persen suara.
Dan bukan rahasia, berkompromi dengan ahli strategi yang punya kepentingan dan agenda sendiri macam Susilo Bambang Yudhoyono kerap bikin sakit kepala. Tapi apa boleh buat, demi maju pilpres, nasi goreng tetiba jadi makanan paling nikmat.
Jika Prabowo benar-benar berpihak pada rakyat dan akal sehat, yang semestinya ia pertanyakan adalah urgensi pemilu serentak. Mengapa pileg dan pilpres tak dibuat dengan jeda separuh periode pemilihan, misalnya 2,5 tahun? Dengan begitu, bakal ada mekanisme reward and punishmet yang efektif dari pemilih terhadap parpol-parpol.
Jika dalam setengah masa jabatan pemilih tak puas dengan presiden dari parpol tertentu, mereka bisa menghukum dengan memenuhi parlemen dengan anggota dewan yang bakal jadi oposisinya dan jadi penghalang untuk dia punya kebijakan. Sebaliknya, jika masyarakat puas, mereka bisa memilih lebih banyak anggota dewan guna memuluskan kebijakan pemerintah.
Sistem tersebut salah satu praktisinya adalah Amerika Serikat. Tentu yang namanya politik, dia tak selalu bekerja untuk kepentingan rakyat alih-alih parpol. Tapi setidaknya ia dibangun dengan argumen yang lebih masuk akal.
Sayangnya, kita bersama paham bahwa rasionalitas bukan bahan utama perpolitikan kita ….