MOJOK.CO – Bagaimana sih karakter berpikir masyarakat kita soal razia kendaraan bermotor yang dilakukan pihak kepolisian?
Kebetulan baru kemarin saya posting foto-foto razia kendaraan ke dalam grup facebook Info Cegatan Jogja (ICJ), sebuah grup yang awalnya didirikan untuk informasi seputar razia yang belakangan berkembang menjadi grup informasi penting lainnya juga (dari kecelakaan sampai dompet jatuh).
Saya memposting foto-foto berisi gambar razia yang tidak tampak papan pengumunannya. Saya bertanya di grup itu, “Nggak ada plangnya, apakah razia ini resmi?”
Awalnya saya hanya membutuhkan jawaban “resmi” atau “tidak resmi”. Namun ternyata tanggapan netizen sudah mencapai 700-an dalam beberapa jam dengan isi jawaban yang jauh lebih bervariasi dari yang saya butuhkan—meski sudah saya duga.
Dari komentar dan jawaban dari postingan saya tersebut, bila dikelompokkan, setidaknya ada tujuh varian komentar yang menunjukkan cara atau karakter berpikir masyarakat kita—khususnya terhadap pekerjaan aparat. Variasinya sebagai berikut:
Pertama, kelompok yang membela apapun yang dilakukan aparat, entah sesuai aturan atau tidak. Atau bahkan nggak peduli apakah ada aturannya atau tidak, pokoknya nurut. Berikut beberapa komentar yang setidaknya menunjukkan hal tersebut:
“Buat menindak pelanggaran kasat mata ? jgn suudzon dulu ?.”
“Resmi ra resmi udu urusanmuuuuuuu (resmi atau nggak itu bukan urusanmuuuuuuu).”
“Resmi ora resmi kui wes gaweane pak polisi.. (Resmi atau nggak, itu sudah pekerjaan polisi).”
Lucunya, dalam varian masyarakat ini, ada yang justru menyalahkan kelompok masyarakat lain yang menanyakan kesesuaian kegiatan aparat dengan aturan yang ada.
“Postingan seperti ini sudah sangat sering… hampir tiap hari ada.. tujuannya hanya satu yaitu penggiringan opini.”
“Dan teruntuk anda si pemosting… perlu sampean ketahui setelah seseorang itu dilantik menjdi polisi selesai pendidikan otomatis sudah sah bertugas di satuannya masing2 secara uu sampai pensiun… anda mempertanyakan resmi ato tidaknya itu tidak bedanya dengan “PELANGGAR” yng slalu memggunakan alibi tsb untuk membela diri…. !!!!”
Demikian saya copas komentar seorang netizen yang dalam profilnya berseragam aparat. Saya tidak tahu dia polisi atau bukan—atau cuma orang iseng pakai foto profil seorang polisi.
Kedua, kelompok yang tetap fokus pada topik utama dengan menunjukkan aturan melakukan razia. Salah satunya bahkan mengutipkan undang-undangnya sekalian di kolom komentar. Dalam kelompok ini ada yang lebih jauh berusaha melakukan penyadaran bersosial media yang baik.
“Padahal si TS hanya menanyakan ‘apakah resmi?’ Tinggal di jawab saja YA ato ENGGAK, lbh baik dibtambahkan alasan, nggk usah muter2 njawabnya…,” salah satu netizen seraya membela saya dari bully-an kelompok pertama.
Ada juga yang menyarankan, “Untuk menghilangkan kecurigaan masyarakat alangkah baiknya papan pemberitahuan dipasang.”
Menarik, ada salah satu akun yang sepertinya dari sebuah kantor pengacara komen: “Jika sebelum adanya cegatan tidak ada plang beberapa meter sebelumnya, dapat kita curigai bahwa cegatan tsb ilegal. Cegatan ilegal bisa dijadikan modus utk meraup keuntungan pribadi maupun ada juga kemungkinan modus penjahat yg menyamar jadi polisi.”
Ketiga, kelompok always kontra aparat. Jadi dalam komen mereka banyak ngedumel terhadap perilaku polisi selama ini.
Secara satire ada yang bilang, “Polisi tidak pernah salah.” Ada juga yang sedikit sarkastik, “Razia mah semangat pada tuch, giliran macet sepi gak ada yg ngatur.. apa polantas dididik untuk razia doank!!?”
Keempat, kelompok “yang penting selamat”, nggak peduli apakah itu razia kendaraan resmi atau tidak, yang penting kita pakai helm yang benar, kelengkapan kendaraan yang baik dan surat-surat lengkap, biar nggak ditilang.
Kelima, kelompok “sebodo amat”. Banyak juga yang komen singkat. “Aluweh (ah, biarin),” atau “Urip kok digawe susah, mikiri wong liyo (hidup kok dibikin susah, mikirin orang lain).”
Keenam, kelompok OOT. Rupanya ada yang mencoba tetap ingin mengikuti thread tapi belok bicara lain tanpa nyalakan lampu sein lebih dulu. Misalnya, “Jadwal Sekaten sampai kapan, ya?”—benar-benar sama sekali nggak bahas soal razia. Atau malah posting foto kupat sambel dan ketela goreng dengan caption; “ayo ngopi.”
Ketujuh, kelompok provokator. Kalau ada sebuah postingan ramai, hampir selalu saja ada yang mencoba memperkeruh suasana. Di antaranya ada yang secara bersemangat ngomong, “Ayo TS dibuli wae, lurrrrr (Ayo yg posting dibully aja, saudara-saudara).”
Dan bajigurnya, ternyata yang komen begitu Iqbal Aji Daryono, si lulusan Sastra Jepang yang nggak bisa bahasa Jepang itu! Entah apa motifnya, tapi dugaan kuat saya, dia iri karena jumlah bully yang dia dapatkan jauh lebih kecil dari yang saya dapatkan.
Dari tujuh varian tersebut, setidaknya kita bisa mengamati bagaimana cara berpikir masyarakat terhadap persoalan yang ada, bahkan bisa menjadi cermin sikap masyarakat terhadap persoalan yang lebih luas, kondisi sosial politik ke pemerintahan—misalnya.
Ada yang bela mati-matian dan menjadi pelindung pemerintah. Apa pun yang dilakukan pemerintah, itulah yang terbaik, harus dibela. Mereka siap sedia untuk melawan siapa pun yang mengkritisi pemerintah.
Sepertinya, mereka memosisikan diri sebagai pihak yang tidak lebih tahu dari pemerintah, bahkan soal nasib hidupnya. Kritis bisa jadi menjadi hal tabu atau dianggap sebagai upaya makar.
Meski berbeda cara dalam sikapnya terhadap pemerintah, kelompok ini dekat dengan kelompok “sebodo amat” dan kelompok “yang penting selamat” dalam menjalani hidup.
Bagi kelompok ini, yang penting bekerja keras, cari uang, hidup sebisa mungkin nyaman. Bila tidak nyaman, berarti cobaan. Tak terbayang dalam pikiran mereka bahwa hidup rakyat amat dipengaruhi oleh apa yang dilakukan pemerintah.
Di seberangnya kelompok ini, ada kelompok yang kontra pemerintah. Pemerintah di matanya selalu buruk atau busuk. Kalau ada yang baik, stempel “pencitraan” selalu dipakai. Hidupnya miskin, sulit belanja, dan melimpahkan segala kesialan hidupnya pada pemerintah. Disebutnya PKI lah, thoghut lah, macam-macan.
Bagi mereka, pemerintah haruslah sempurna seperti dalam benak mereka. Kalau tidak sempurna, harus ganti segera. Pada titik tertentu sampai ngotot ingin (tidak cuma) ganti presiden, melainkan sampai harus ganti bentuk pemerintahan atau bahkan ganti ideologi negara segala.
Yang bagus, setidaknya menurut saya, adalah kelompok yang kritis transformatif. Kelompok yang tidak asal pokoknya, baik pokoknya pemerintah salah maupun pokoknya pemerintah benar.
Kalau salah ya dibilang salah secara argumentatif, sukur-sukur ilmiah; kalau benar ya dibilang benar. Transformatif artinya mau secara aktif menjadi bagian dari persoalan bangsa. Terlibat juga ikut urun kasih pandangan baru—syukur-syukur sebuah solusi, bukan cuma asal ngomong saja.
Kalau dihitung dari percakapan di grup ICJ alias Info Cegatan Jogja tadi, secara sekilas persentase jumlah kelompok yang terakhir ini adalah yang paling sedikit dari kelompok-kelompok lain.
Apa artinya netizen kita lebih banyak orang yang melampiaskan hasrat emosionalnya ketimbang memandang medsos sebagai tempat untuk bertukar informasi dan cara pandang?
Terlepas dari hal itu, yang asyik dari ribut-ribut postingan saya itu, adalah akun-akun yang sebetulnya OOT tadi. Mau pemerintah jungkir balik lah, mau rebutan jadi presiden lah, mau ribut-ribut bendera dibakar lah, yang penting, “Ayo ngopi.”
Lho, tapi kan itu nggak menyelesaikan masalah bangsa? Nggak bener itu!
Lha ketimbang cari yang bener terus bikin ribut-ribut, ajakan ngopi justru merupakan ajakan damai paling paripurna. Membicarakan perbedaan dengan haha-hihi tanpa perlu saling ngotot atau jotos-jotosan.
Dan ketika ajakan semacam ini masih saja muncul di komentar-komentar media sosial kita, saya pikir Indonesia masih dan akan terus baik-baik saja—setidaknya sampai tahun 2030. Eh.