MOJOK.CO – Sikap orang yang nggak mengakui kota kelahirannya itu sejatinya mirip dengan sikap seorang Malin Kundang yang enggan mengakui ibunya sendiri.
Saya orang asli Batang, salah satu kabupaten yang terletak di daerah Jawa Tengah. Tapi, rumah saya berada di desa yang pelosok. Jalan menuju desa saya penuh lubang dan bebatuan tajam layaknya sungai kering. Nggak ramah dengan ban kendaraan pokoknya. Kalau malam pun gelap gulita dan sunyi mencekam seperti daerah-daerah dalam film A Quiet Place. Untung, saya sekarang merantau di Jogja. Jadi, bisa merasakan gemerlapnya kehidupan kota. Cuma, ada satu hal yang sampai sekarang masih nggerundel di hati saya terkait identitas.
Sejak awal merantau, saya heran kenapa jarang ada orang yang mengenal Kota Batang. Rata-rata, orang yang baru berkenalan dengan saya pasti bertanya, “Batang itu daerah mana?” Kalau nggak gitu ya mereka ngiranya “Batang” itu “Batam” versi mulut saya yang nggak terlalu jelas penyebutannya. Kadang, ada juga yang saking nggak percayanya kemudian berusaha memastikan, “Batang itu maksudmu Batanghari, kan?”
Masalahnya, ini nggak sekali dua kali. Dulu, pas saya mondok di daerah Jombang, teman-teman saya juga menyiratkan ekspresi heran begitu mengetahui saya tinggal di kota bernama Batang. Nggak cuma luar Jawa, orang-orang sekitaran Jawa Tengah seperti Kudus, bahkan Temanggung saja banyak yang masih belum tahu soal Batang. Kan sungguh terlalu. Seolah Batang itu Wakanda yang letaknya tersembunyi dari dunia.
Sementara teman-teman saya yang sudah tahu Kota Batang, kadang bikin saya jengkel. Mentang-mentang namanya Batang, kerap ada teman saya yang mempelesetkannya jadi batang dalam artian “bangkai”. Padahal, orang yang mbabat Batang sudah bertaruh nyawa kala melawan dedemit Alas Roban. Lha kok, sekarang malah diece “bangkai”. Asem tenan!
Akibatnya, karena ingin menghindari pertanyaan dan potensi ejekan yang menyakiti hati, saya terpaksa ngaku sebagai orang Pekalongan setiap berkenalan dengan orang-orang di perantauan. Soalnya, secara pamor Pekalongan jauh lebih terkenal gara-gara Slank yang dulu nyanyi, “Kota Batik di Pekalongan, bukan Palembang bukan Jakarta…” Jadi, kalau sudah bilang Pekalongan, biasanya nggak ada yang heran atau mengejek-ngejek lagi.
Sikap ini, tak pelak, membuat saya merasa senasib dengan orang Sidoarjo yang terpaksa ngaku orang Surabaya, dan orang Wonogiri yang ngakunya dari Solo atau orang Godong yang ngakunya orang Purwodadi. Sebetulnya, nggak enak pakai identitas palsu begini. Soalnya, kalau nanti ada yang nanya, “Pekalongannya mana, Mas?” Saya pasti gelagepan dan kadang terpaksa jujur.
Masalahnya, kalau mau jujur saya nggak bisa memastikan orang yang kenalan dengan saya ini tahu soal Batang atau nggak. Kalau ngaku di depan orang yang sama sekali nggak tahu Batang, itu mending. Saya masih bisa ngibul dikit, bilang Batang itu sama aja dengan Pekalongan. Lha kalau yang nanya kebetulan tahu soal Batang, biasanya saya malah diejek, “Halah, orang Batang saja ngaku-ngaku Pekalongan!”
Ternyata, nasib serupa juga dialami oleh teman-teman kampung saya yang merantau. Salah satunya, sebut saja Imin. Dia bilang pada saya kalau di tempat kerjanya, Bekasi, sama sekali nggak ada yang tahu tentang Batang. “Dikira Batang itu kecamatan sempilan Pekalongan,” katanya. Seperti halnya saya, Imin akhirnya juga terpaksa mengaku sebagai orang Pekalongan.
Sepupu saya, Wati, yang sempat ikut pesantren kilat di Jogja tahun 2002 juga bilang banyak orang yang nggak paham soal Batang. “Alas Robannya sih yang lebih terkenal, tapi ya terkenalnya sebagai hutan yang penuh dedemit dan preman-preman sakti mandraguna,” ujar sepupu saya.
Memang, Alas Roban lebih terkenal dari kabupaten Batangnya. Ini juga yang membuat saya dan beberapa teman sempat berencana mengaku orang Alas Roban saja. Biar, nggak ada yang mengejek. Tapi, ya masa mau memperkuat citra negatif Alas Roban untuk kepentingan pribadi. Terus, buat apa dong Ki Bahurekso dulu mati-matian mbabat hutan itu.
Jadi gini sejarahnya, pada 1600-an, Joko Bahu atau Ki Bahurekso (Bupati Kendal yang pertama), mendapat mandat dari Sultan Agung Mataram, Prabu Hanyokrokusumo, untuk menyerbu VOC di Batavia. Dalam perjalanannya menuju Batavia, Bahurekso kemudian membuka Alas Roban untuk persawahan guna mengumpulkan perbekalan perang.
Jelas nggak mudah buat Bahurekso menaklukan Alas Roban. Sebab, demit, peri perayangan, dan siluman-siluman hutan itu memang sakti. Beberapa prajurit Bahurekso saja sampai mati gara-gara bangsa lelembut itu. Untung Bahurekso bisa mengalahkan pimpinan mereka yang bernama Dadung Awuk.
Namun, terornya nggak berhenti sampai di situ. Ketika Bahurekso dan para prajurit hendak membuat bendungan di sungai, airnya nggak bisa mengalir karena tersumbat sebuah batang kayu besar. Batang itu rupanya jelmaan para demit Alas Roban, sehingga prajurit-prajurit Bahurekso pun tak mampu mengangkatnya.
Alkisah, untuk mengangkat batang kayu itu, Bahurekso sampai harus mengeluarkan seluruh kesaktiannya. Barulah batang tersebut bisa diangkat. Nah, peristiwa itu yang menjadi cikal bakal nama Batang. Jadi, Batang itu akronim dari “ngambat watang” atau bisa diartikan juga mengangkat batang kayu besar. Sebetulnya ada beberapa versi terkait asal-usul nama Batang, ya namanya juga cerita rakyat. Namun, versi yang saya tuturkan ini yang paling terkenal di daerah saya. Konon begitu.
Sampai sekarang saya pribadi masih bingung perihal Batang yang kurang terkenal. Padahal kabupaten saya ini punya peran sejarah yang nggak bisa disepelekan. Pun saat ini, Batang melahirkan dua tokoh besar yang diakui di Indonesia: sastrawan Goenawan Mohammad dan Imam Besar Masjid Istiqlal, almarhum Kiai Musthofa Ali Yaqub.
Teman saya, Josi Guntara, punya teori soal itu. “Kata nenekku, Batang itu ditirakati leluhur supaya nggak dikenal. Supaya alamnya nggak dieksploitasi,” ujarnya, pada saat kami sedang ngopi beberapa waktu lalu.
Teori Josi tersebut bikin saya agak jengkel, “Buktinnya mana Jos? Alam Batang tetap saja banyak yang dieksploitasi untuk kebutuhan pembangunan yang nggak ada habisnya. Lagian, mana ada leluhur yang mendoakan anak-cucunya supaya terasing dari dunia. Leluhur jenis apa itu?”
Josi sama sekali nggak menanggapi saya. Dia malah melamun dengan mulut ternganga. Saya ingin mengagetkannya, namun melihat muka Josi yang mblawus (kusam) dan berminyak akibat kebanyakan menelan gorengan, saya jadi nggak tega.
“Solusinya gimana ya Jos, biar Batang bisa dikenal masyarakat luas? Aku bingung,” kataku, sembari menepuk pundak josi dengan pelan.
“Mungkin solusinya gini Sul,” ucap Josi yang mulai sadar dari lamunan. “Kita mesti berhenti ngaku sebagai orang Pekalongan. Kalau memang kita mencintai Batang dan ingin supaya Batang dikenal masyarakat luas. Kita harus jujur dengan identitas kita. Bukan malah mengingkarinya gara-gara takut diejek.”
Omongan Josi kala itu, saya pikir ada benarnya juga. Sudah terlalu lama saya nggak mengakui Batang sebagai identitas asal saya. Walaupun, alasan saya ngaku orang Pekalongan supaya nggak dihina dan nggak ditanyain terus, tapi ini bukan sikap yang benar.
Kalau memang saya mencintai Batang dan ingin kota ini dikenal masyarakat luas dari mulai sejarah sampai wisatanya, saya harus berusaha mewujudkan itu. Minimal, dimulai dari menerima diri saya sebagai orang Batang. Lalu, jika ada orang yang bertanya soal Batang, saya harus menjawabnya dengan jelas. Bila perlu akan saya jawab rinci sejak dari asal-usulnya, layaknya seorang pemandu museum.
Pada akhirnya, saya menyadari bahwa sikap saya yang nggak mengakui Batang itu sejatinya mirip dengan sikap seorang Malin Kundang yang enggan mengakui ibunya sendiri.