MOJOK.CO – Berkali-kali topik tentang orang kaya selalu ramai dan jadi obrolan. Kenapa sih kita suka kepo sama kehidupan orang kaya, emangnya beda banget ya?
Beberapa waktu yang lalu, rumah Hari Tanoesudibjo jadi topik obrolan pemuda-pemuda tanggung di Twitter. Bersama jiwa miskin yang bergetar, mereka bahkan sempat bikin jokes menggelitik seperti,
“Tukang sapu di rumah HT mulai nyapunya subuh, kelarnya pas magrib.”
Ketika bekerja di salah satu media daring sebelum di Mojok, saya kadang suka senang kalau ada kabar tentang gaya hidup Bill Gates atau desas-desus seputar anaknya. Bukan karena saya kagum, tapi karena menulis tentang mereka hampir dipastikan ramai pembaca. Sekadar kebiasaan berpakaiannya Mark Zuckerberg aja sudah cukup bikin engagement media sosial jadi ramai.
Sebuah pertanyaan kocak muncul di Quora, menunjukkan betapa kepo kita sama kehidupan orang kaya. Pertanyaan itu berangkat dari rasa penasaran. Kira-kira seperti apa WhatsApp Story konglomerat?
Pertama, saya mau mengucapkan terima kasih pada Mbak Kinta Kusumah yang walau kawan-kawannya konglomerat, beliau masih sempat buka dan jawab Quora. Kedua, jawaban seputar rasa penasaran akan kehidupan orang kaya memang nggak ketebak dan bikin speechless. Pantesan ya orang-orang selalu bilang, “orang kaya mah bebas!” ternyata karena perilaku orang kaya di media sosial itu sama sekali berbeda dengan rakyat jelata.
Konon, orang miskin kerap ngocok-ngocok botol sampo pakai air sebelum cairan di dalamnya benar-benar habis. Demi irit, Bro, mau beli lagi nanggung. Sementara orang kaya bisa sekaligus beli Indomaret dan nggak pernah risau lagi kalau perlengkapan mandinya tinggal seuprit. Perihal sepele kayak sampo aja udah beda banget, apalagi yang lainnya?
Kepo tentang kehidupan orang kaya itu wajar adanya kawan-kawan. Terutama jika kalian masih menyandang predikat sobat misqueen, saya juga sih. Kita kerap memimpikan punya uang infinity, kayak The Sims kalau udah motherlode. Membangun rumah saja nggak risau habis berapa duit untuk bangun temboknya.
Berkhayal jadi orang kaya sungguh menyenangkan. Punya mobil yang ada sunroofnya lalu melambai-lambai di jalan dekat pasar. Menyewa Chef Arnold buat masakin menu andalan di rumah kita sendiri. Sampai berkhayal untuk jalan-jalan ke luar negeri naik jet pribadi dengan dandanan perlente. Pakai topi dan kacamata hitam, nggak lupa mantel bulu ya kawan, biar kayak Syahrini.
Kalau berhasil meraih segala surga duniawi itu, kita akan kepikiran buat pamer. Menunjukkan ke orang-orang kalau kita ini kaya raya. Unggah status di media sosial dengan begitu gemilang. Bikin followers pada iri dan berbalik jadi hormat karena tahu kita sejatinya orang kaya.
Sayangnya nggak semudah itu sih. Orang-orang yang pamer harta justru kebanyakan adalah OKB yang nggak amanah dalam menyandang predikat orang kaya. Bagi mereka, kehidupan sudah begitu moncer dan layak jadi konsumsi publik. Padahal secara logis, semakin terbiasa seseorang dengan kekayaan, maka semakin mereka nggak mengumbarnya.
Kepo sama kehidupan orang kaya juga terwujud lewat hebohnya berita tentang Sandra Dewi. Fitrop sebagai sahabat Sandra Dewi pernah mengatakan pada publik bahwa ART Sandra Dewi nggak kembali bekerja di rumahnya karena diberikan THR terlalu banyak sehingga jumlah cukup untuk tidak bekerja selama satu tahun. Sebuah fakta yang bahkan nggak kepikiran di benak sobat misqueen bukan?
Fakta tentang kehidupan orang kaya memang seringnya nggak ketebak. Kita yang selalu kepo dengan jalan pikiran orang-orang berduit ini kemudian menjadi terhibur dan terpancing untuk kagum. Sambil menyelaraskan skenario di kepala kita andai kita beneran kaya, otak akan bertindak secara refleks atas pembearan perbuatan nyentrik yang kita rencanakan di masa depan.
Nia Ramadhani yang nggak bisa mengupas salak melegitimasi pemikiran kita bahwa untungnya rata-rata orang menganggap kupas salak adalah perkara mudah. Jika tidak saya nggak bisa kupas salak, betapa malunya. Sudah tak berduit tak bisa mengupas salak pula, maka tamatlah harga diri ini.
Alasan lain mengapa kepo dengan kehidupan orang kaya itu lazim disebabkan anggapan bahwa normal is boring. Sebagai rakyat jelata, mau dibilang miskin banget juga nggak, dibilang kaya raya pun nggak bisa. Kondisi sosial ekonomi tengah-tengah ini selalu mencari hiburan dengan berjalan-jalan melihat nasib orang. Nasib baik dikagumi, nasib buruk dikasihani.
Rasa penasaran terhadap kehidupan dan perjuangan orang miskin juga selalu laris. Kalau nggak begitu nggak mungkin ada acara bedah rumah dan acara-acara menjual kesedihan lainnya. Menyimak cerita kesengsaraan dan kebahagiaan selalu jadi hal yang ‘menarik’. Nggak heran kalau Shakespeare kemudian mengolah yang kaya dan yang miskin yang bahagia dan yang menderita dalam arya-karya bernapaskan tragedi dan komedi.
BACA JUGA Nia Ramadhani Nggak Tahu Harga Tiket KRL dan Ngupas Salak, 7 Hal Ini Mungkin Menyusul atau artikel lainnya di POJOKAN.